oleh

Kebijakan Tarif Impor AS Terhadap Indonesia: Sikap dan Strategi Menghadapi Dampaknya

Oleh: Green Berryl

PEMERINTAH Indonesia menghadapi tantangan baru dalam hubungan perdagangan internasional setelah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump secara resmi mengumumkan penerapan tarif timbal balik (reciprocal tariff) sebesar 32 persen untuk produk ekspor dari Indonesia. Kebijakan ini akan berdampak signifikan pada berbagai sektor industri nasional dan memerlukan respons strategis untuk mempertahankan daya saing ekspor Indonesia di pasar global.

Kebijakan Tarif Trump dan Dampaknya Bagi Indonesia

Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump telah mengumumkan penerapan tarif timbal balik yang berlaku bagi lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia yang dikenai tarif sebesar 32 persen[2]. Kebijakan ini akan mulai diberlakukan pada 9 April 2025 dan berpotensi mengganggu daya saing ekspor nasional, terutama sektor riil seperti elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, kelapa sawit, karet, furnitur, hingga produk perikanan laut[3].

Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, tarif yang dikenakan pada Indonesia relatif tinggi. Singapura dikenakan tarif 10 persen, Malaysia 24 persen, dan Filipina 17 persen, sementara Indonesia dikenakan tarif 32 persen[5]. Alasan yang dikemukakan Amerika Serikat untuk pengenaan tarif ini adalah bahwa Indonesia menerapkan tarif sebesar 30 persen yang lebih tinggi dari AS sebesar 2,5 persen untuk produk etanol[2].

Dampak langsung dari kebijakan ini adalah penurunan volume ekspor Indonesia ke pasar AS secara signifikan, yang dapat menjadi tekanan baru bagi pertumbuhan ekonomi nasional[3]. Selain itu, terdapat risiko Indonesia akan kebanjiran barang impor, terutama dari China, yang beralih dari pasar AS akibat kebijakan tarif tersebut[6].

Sikap Formasi Kagama: Waspada Namun Tidak Reaktif

Forum Penyelamat Eksistensi Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Formasi Kagama) memberikan perspektif penting dalam menyikapi kebijakan tarif perdagangan luar negeri Amerika Serikat. Menurut Koordinator Formasi Kagama, Defiyan Cori, Indonesia tidak perlu bersikap reaktif, namun tetap harus berhati-hati dan waspada terhadap potensi dampak dari kebijakan tersebut[7].

“Indonesia tidak perlu reaktif, namun tetap hati-hati dan waspada atas gejala yang mungkin ditimbulkan, termasuk dampaknya terhadap kelompok masyarakat tertentu,” ujar Defiyan[7].

Formasi Kagama juga menyoroti potensi spekulasi di pasar keuangan, khususnya Bursa Efek Indonesia (BEI), yang dapat mempengaruhi opini publik. Mereka menyarankan pemerintah untuk cepat tanggap melalui tim ekonomi dan moneter guna meredam gejolak yang mungkin terjadi, bahkan jika perlu mempertimbangkan pemberhentian atau suspensi perdagangan saham di BEI[7].

Selain itu, pendiri Formasi Kagama yang juga Ketua Umum Pengusaha dan Profesional Nahdliyin (P2N), Alven Stony, menilai krisis ekonomi yang sedang melanda Amerika Serikat dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri melalui kebijakan keberpihakan (afirmatif)[7].

Strategi Pemerintah Dalam Menghadapi Kebijakan Tarif AS

Presiden Prabowo Subianto telah mempersiapkan tiga strategi utama untuk menghadapi perubahan kebijakan global dan menjaga optimisme serta ketahanan ekonomi Indonesia[2]. Ketiga strategi tersebut adalah:

Memperkuat Hubungan Dagang Internasional

Pemerintah Indonesia akan terus melakukan negosiasi dengan AS di berbagai tingkatan untuk memastikan ekspor nasional tetap kompetitif[3]. Sejak awal tahun, tim lintas kementerian/lembaga telah melakukan koordinasi intensif dengan perwakilan Indonesia di AS serta pelaku usaha nasional[3].

Indonesia juga menjalin komunikasi dengan Malaysia selaku Ketua ASEAN 2025, guna menyusun langkah kolektif menghadapi tarif AS. Pasalnya, kebijakan ini juga berdampak pada negara-negara ASEAN lain seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina[3].

Mengoptimalkan Potensi Sumber Daya Alam Dalam Negeri

Strategi kedua adalah mengoptimalkan potensi sumber daya alam dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor dan impor[2]. Hal ini sejalan dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 yang menekankan pengembangan industri hulu dan industri antara berbasis sumber daya alam serta pengendalian ekspor bahan mentah dan sumber energi[9].

Meningkatkan Konsumsi Dalam Negeri

Strategi ketiga adalah meningkatkan konsumsi dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik[2]. Dengan memperkuat pasar dalam negeri, Indonesia diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor ke pasar global dan membangun ketahanan ekonomi yang lebih baik.

Perlindungan Industri Lokal dan Penguatan Daya Saing

Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menilai kebijakan tarif AS berisiko mengancam industri lokal dan meminta pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pasar domestik[8]. Mengingat posisi Indonesia yang memiliki pasar besar dan daya beli yang relatif kuat, terdapat risiko Indonesia menjadi tujuan ekspor bagi banyak negara yang terkena dampak kebijakan tarif AS[8].

“Hal ini dapat menyebabkan banjir barang impor yang dapat merugikan industri dalam negeri, mengancam keberlangsungan dan daya saing sektor-sektor strategis seperti kimia dan petrokimia,” ujar Wakil Ketua Umum Inaplas, Edi Rivai[8].

Untuk itu, Inaplas menekankan pentingnya mempertahankan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebagai strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan impor, memperkuat penggunaan bahan baku lokal, dan membangun ekosistem industri yang berkelanjutan[8].

Penguatan Industri Nasional Sebagai Solusi Jangka Panjang

Dalam konteks yang lebih luas, pengembangan industri nasional merupakan solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada perdagangan internasional dan membangun ketahanan ekonomi Indonesia. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 telah menetapkan visi Indonesia menjadi negara industri tangguh dengan tiga ciri utama: struktur industri nasional yang kuat, dalam, sehat, dan berkeadilan; industri yang berdaya saing tinggi di tingkat global; dan industri yang berbasis inovasi dan teknologi[9].

Menurut Prof. Dr. Eng. Deendarlianto, S.T., M.Eng., Dosen Fakultas Teknik UGM, beberapa poin strategi yang perlu menjadi perhatian untuk mencapai visi tersebut adalah penguasaan teknologi dan kualitas SDM, pembangunan industri hijau, serta peningkatan produk dalam negeri[4].

Sementara itu, Prof. Ir. Alva Edy Tontowi, M.Sc., Ph.D., menuturkan bahwa meskipun tantangan industri saat ini adalah kondisi pasar yang semakin dinamis dan berat kompetisinya, Indonesia masih bisa optimis industri nasional akan bertumbuh dengan baik[4].

Kesimpulan

Kebijakan tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap Indonesia memerlukan respons yang bijak dan strategis. Sebagaimana disarankan oleh Formasi Kagama, Indonesia tidak perlu bersikap reaktif namun tetap waspada terhadap potensi dampak kebijakan tersebut. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menyiapkan strategi untuk menghadapi tantangan ini melalui penguatan hubungan dagang internasional, optimalisasi sumber daya alam dalam negeri, dan peningkatan konsumsi domestik.

Dalam jangka panjang, penguatan industri nasional menjadi solusi untuk membangun ketahanan ekonomi Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada pasar global. Strategi ini sejalan dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara industri tangguh dengan daya saing global.

Dengan pendekatan yang tepat dan kerja sama berbagai pemangku kepentingan, Indonesia dapat mengubah tantangan dari kebijakan tarif AS menjadi momentum untuk memperkuat ekonomi nasional dan meningkatkan daya saing industri dalam negeri di kancah global.

CITATIONS:

Komentar