oleh

Keris Pusaka Jawa di Masa Damai

ORANG orang Jawa menempatkan keris di punggung sebagai penanda bahwa negara sedang berada di masa damai. Menempatkan di punggung juga dalam rangka menghilangkan sikap ancaman pada siapa pun. Menghormati orang lain. Khususnya tamu. 

Filosofi lain yang diajarkan membawa keris di belakang tubuh adalah pantang bagi orang Jawa untuk menunjukkan kesaktiannya.

Di masa kini,  pemandangan itu – pakai keris di depan atau terhunus –   tak pernah nampak kecuali dalam adegan sendra tari

PADA MASA perang, keris ditempatkan di pinggang depan. Bahkan terhunus. Siaga.  Membawa keris di depan, artinya orang tersebut sudah siap mati dalam membela apa yang dipercaya dan dimiliki. Sebagaimana nampak pada lukisan Pangeran Diponegoro yang senantiasa menaruh kerisnya di depan dalam menghadapi Belanda. Hal tersebut menunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro sedang melawan penjajahan Belanda .

Pada zaman kerajaan dulu, meletakkan keris di belakang merupakan simbol kepatuhan kawula dan bupati  terhadap raja. Sebab meletakan keris di depan artinya sedang menunjukkan sikap perlawanan. Bahkan memberontak kepada raja.

Keris diletakkan di belakang juga karena faktor kenyamanan. Dahulu kala, mereka yang menghadap raja harus berjalan jongkok. “Mbebek”. Agar lebih mudah maka keris diletakkan di belakang, sehingga prosesi “mbebek” tidak terganggu.

Di masa damai, kini, orang orang Jawa menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran, acara adat, acara seni budaya atau saat temu pengantin. Maka keris yang ada punggung di balik jas hitam berlobang pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris.

Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya.

Keris juga dihiasi dengan untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris dengan filosofi, dengan membawa keris agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri.

DALAM BUDAYA JAWA, keris merupakan salah satu dari lima benda yang harus dimiliki oleh laki laki dewasa, sebagai simbol kemapanan

“Lima prakara kanggo jaka mardhika yaiku : garwa, wisma,turangga, curiga lan kukila” (lima hal untuk lelaki sejati adalah : rumah, istri, kuda, senjata dan burung “

Keris (curiga) merupakan simbol kesaktian dan keperkasaan ini berdampingan dengan empat benda lainnya yaitu Turangga (kuda atau kendaraan), Griya (rumah, tempat tinggal), Garwa (istri), dan Kukila (burung atau sarana hiburan).

Tentu saja di era milenial fungsi keris sebagai senjata telah digantikan oleh perangkat yang lebih sakti seperti smartphone, laptop, ballpoint parker yang dengan tanda tangan ditorehkan bisa menghasilkan miliaran rupiah, mengucurkan pinjaman bank,  atau bisa mengubah nasib banyak orang, mengantarkan ke sel penjara, membebaskan dari tahanan, lolos di imigrasi, atau membunuh orang .

Di sisi lain, keberadaan keris di masa kini menjadi karya artistik, benda koleksi bernilai tinggi,  komoditi bisnis yang mahal harganya. Juga sebagai jimat berkekuatan mistis dan diyakini bisa mendukung kekuasaan.  

Keris keris peninggalan masa Kerajaan Majapahit,mataram,pengging dll

“KERIS” sejatinya memang bukan senjata tikam

Melainkan sebagai “PIANDEL” atau “SIFAT KANDEL / PERCAYA DIRI”

Keris adalah manifestasi dari doa/harapan bagi sang pemilik karena setiap dapur,bentuk miliki arti & filosofinya masing”.

Keris juga bukan benda klenik yg selalu dikaitkan dengan hal-hal perdukunan, tapi keris adalah benda spiritual untuk meningkatkan kualitas hidup lebih baik.

Sebagai benda budaya nusantara yg resmi diakui UNESCO,

juga  sebagai produk budaya yang menandai kemajuan ilmu dan teknologi metalurgi masyarakat Nusantara di masa lalu, betapa majunya peradaban nenek moyang kita, pada masanya sudah ahli dalam metalurgi

Jadi kita wajib ber bangga, bukan malah membully bahkan anti / phobia dengan warisan leluhur,

Menjaga budaya juga salah satu bukti nyata kita mencintai bangsa,

Salam Rahayu Sagung Dumadi