oleh

Koperasi Desa Merah Putih: Jurus Jitu Ekonomi Rakyat atau Bom Waktu Fiskal?

Oleh:  Acep Sutrisna, (Analis Kebijakan Publik Tasik Utara)

DI TENGAH gempita janji pemerataan ekonomi, Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) digadang-gadang sebagai ujung tombak kebangkitan desa. Dengan target ambisius mendirikan 70.000 hingga 80.000 koperasi di seluruh Indonesia, pemerintah menabuh genderang perang melawan kemiskinan dan ketimpangan.

Namun, di balik sorak-sorai optimisme, benarkah inisiatif ini menjadi harapan rakyat? Atau justru menjelma beban negara yang mengintai di tikungan?

Mari kita bedah dengan pisau analisis yang tajam, berbasis fakta, tanpa embel-embel jargon politik.

Janji Manis di Balik Merah Putih

Kopdes Merah Putih lahir dari visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk menjadikan desa sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Dengan anggaran awal Rp3–5 miliar per koperasi, didukung Dana Desa dan pinjaman dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), koperasi ini dirancang multifungsi: mengelola sembako, apotek desa, simpan pinjam, cold storage, hingga klinik kesehatan. Tujuannya mulia: memutus rantai tengkulak, menekan harga pangan, dan memberdayakan petani serta UMKM lokal. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi bahkan menyebut program ini sebagai “mesin penggerak” untuk meningkatkan pendapatan desa hingga Rp7 miliar per tahun per desa.

Data memang mendukung urgensi inisiatif ini. Berdasarkan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), 24 juta orang Indonesia masih terjerat kemiskinan, dengan 39,92% di antaranya adalah buruh tani di desa. Sebanyak 9.400 desa bahkan tidak memiliki lembaga ekonomi sama sekali. Kopdes Merah Putih hadir dengan janji mengisi kekosongan ini, menciptakan lapangan kerja—diperkirakan 2–3 pekerja per koperasi, atau hingga 216.000 tenaga kerja nasional—dan memperkuat ketahanan pangan melalui distribusi yang lebih efisien.

Namun, seperti pepatah, “jalan menuju neraka sering kali diaspal dengan niat baik.” Ambisi besar ini tak luput dari sorotan kritis.

Bayang-Bayang Kegagalan di Masa Lalu

Sejarah koperasi di Indonesia bukanlah kanvas kosong. Ingat Koperasi Unit Desa (KUD) era Orde Baru? Didirikan melalui Instruksi Presiden 1973, KUD sempat menjadi bintang swasembada pangan di tahun 1980-an. Namun, pendekatan top-down yang kaku dan buruknya tata kelola membuatnya ambruk pasca-Reformasi. Krisis ekonomi 1998 menjadi pukulan telak, meninggalkan KUD sebagai monumen kegagalan yang kini hanya jadi kenangan.

Kopdes Merah Putih, meski dikemas modern, menunjukkan aroma serupa. Pendekatan sentralistiknya—dengan target peluncuran serentak pada Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2025—memicu kekhawatiran. Akademisi seperti Adrian Azhar Wijanarko dari Paramadina Public Policy Institute memperingatkan potensi tumpang tindih dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes, yang sudah berjalan sebagai penggerak ekonomi desa, memiliki fungsi serupa: mengelola UMKM, logistik, hingga sembako. Mengapa mendirikan entitas baru alih-alih memperkuat yang sudah ada? Bukankah ini boros sumber daya?

Lebih jauh, ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM) menjadi duri dalam daging. Budi Arie menyebut 210.000 orang akan dilatih untuk mengelola koperasi. Namun, dengan tenggat waktu yang ketat, apakah pelatihan ini cukup untuk membekali pengurus dengan keahlian bisnis, pemasaran, dan teknologi digital? Banyak desa masih bergulat dengan literasi manajerial rendah. Tanpa SDM mumpuni, koperasi berisiko jadi sekadar formalitas—atau lebih buruk, ladang korupsi baru.

Beban Fiskal dan Ancaman Korupsi

Mari bicara soal uang. Dengan estimasi Rp3–5 miliar per koperasi untuk 80.000 desa, total kebutuhan anggaran mencapai Rp240–400 triliun. Dana Desa, yang dialokasikan Rp70 triliun per tahun, jelas tak cukup menutupi. Pinjaman Himbara dijanjikan sebagai solusi, tapi skema cicilan 3–5 tahun ini bisa membebani desa dengan utang jangka panjang. Apa jadinya jika koperasi gagal menghasilkan keuntungan? Desa-desa kecil dengan pendapatan asli minim akan terjebak dalam jerat fiskal.

Belum lagi bayang-bayang korupsi. Sejumlah warganet di media sosial menyuarakan skeptisisme, menyebut proyek ini rawan penyelewengan. Pengalaman masa lalu menunjukkan Dana Desa kerap jadi bancakan oknum. Dengan anggaran raksasa dan pengawasan yang masih dipertanyakan, Kopdes Merah Putih berpotensi menjadi “ladang subur” bagi praktik tak sehat.

Intervensi Politik: Benarkah untuk Rakyat?

Ada pula aroma politik yang sulit diabaikan. Nama “Merah Putih” dan keterlibatan tokoh-tokoh Kabinet Merah Putih memunculkan spekulasi bahwa koperasi ini tak sekadar alat ekonomi, melainkan juga instrumen konsolidasi politik. Distribusi anggaran besar ke desa-desa bisa menjadi cara menarik simpati basis massa jelang pemilu mendatang. Jika benar, ini bukan hanya soal efektivitas, tapi juga integritas kebijakan. Bukankah ekonomi rakyat seharusnya bebas dari agenda politik?

Potensi yang Tak Boleh Diremehkan

Meski penuh kritik, Kopdes Merah Putih bukan tanpa harapan. Jika dikelola dengan tata kelola profesional dan transparan, koperasi ini bisa menjadi game-changer. Integrasi dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) berpotensi menciptakan permintaan besar untuk produk lokal, memberi petani harga jual lebih adil. Digitalisasi yang dijanjikan—seperti aplikasi administrasi koperasi—juga bisa meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas, asalkan diimbangi pelatihan memadai.

Contoh sukses koperasi di negara lain, seperti Amul di India, menunjukkan bagaimana koperasi dapat mengubah nasib petani. Amul mempersingkat rantai pasok dan memberi peternak kendali atas harga susu, sesuatu yang bisa ditiru Kopdes Merah Putih untuk komoditas lokal seperti padi, ikan, atau kopi. Kuncinya: partisipasi aktif masyarakat, bukan sekadar perintah dari atas.

Rekomendasi: Jalan Tengah untuk Sukses

Agar tak jadi beban, pemerintah perlu langkah konkret:

Pilot Project: Uji coba di 10–20 desa terpilih sebelum ekspansi nasional, untuk menyempurnakan model bisnis dan mitigasi risiko.

Sinergi dengan BUMDes: Alih-alih mendirikan koperasi baru, revitalisasi koperasi existing atau integrasikan dengan BUMDes untuk efisiensi.

Penguatan SDM: Pelatihan intensif berbasis teknologi, melibatkan pemuda desa agar koperasi tak kehabisan napas di tengah jalan.

Transparansi Anggaran: Sistem pengawasan berlapis, termasuk platform digital publik untuk melacak aliran dana, demi mencegah korupsi.

Fleksibilitas Lokal:  Biarkan desa menentukan prioritas koperasi sesuai potensi lokal—misalnya, pariwisata di desa wisata atau perikanan di pesisir.

Kesimpulan: Harapan atau Ilusi?

Koperasi Desa Merah Putih adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan harapan nyata bagi desa untuk bangkit dari kemiskinan dan ketergantungan. Di sisi lain, tanpa perencanaan matang, ia berisiko jadi bom waktu fiskal yang meledak di muka rakyat sendiri. Keberhasilan tak akan datang dari slogan atau anggaran besar, melainkan dari tata kelola yang inklusif, transparan, dan berpijak pada realitas desa.

Sebagai rakyat, kita berhak berharap, tapi juga wajib mengawasi. Karena di ujung cerita, yang menanggung akibat bukan elite di Jakarta, melainkan petani, nelayan, dan anak-anak desa yang bermimpi tentang hari esok lebih baik. (****

Penulis adalah analis kebijakan publik berbasis di Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan fokus pada ekonomi kerakyatan dan otonomi desa.

Jangan Lewatkan