Oleh: Acep Sutrisna, (Pemerhati Politik Tasik Utara)
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga yang pernah dianggap sebagai simbol harapan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, kini tengah menghadapi ujian besar. Serangkaian skandal internal, kontroversi politik, hingga pelemahan sistemik melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK pada 2019 telah merusak reputasi lembaga ini. Pertanyaan serius pun muncul: apakah KPK masih layak dipertahankan? Ataukah sudah saatnya kita mempertimbangkan opsi ekstrem—membubarkannya?
KPK: Dulu Pahlawan, Kini Sarang Masalah
Sejak didirikan pada tahun 2003, KPK menjadi garda terdepan dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan terhadap para pejabat tinggi, termasuk menteri, gubernur, hingga anggota legislatif, membuat lembaga ini begitu disegani. Menurut laporan Transparency International Indonesia, antara tahun 2004 hingga 2018, KPK berhasil menyelesaikan lebih dari 1.500 kasus korupsi dengan tingkat keberhasilan penuntutan mencapai 97%. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, KPK justru lebih sering menjadi sorotan karena masalah internal ketimbang prestasinya.
Berikut adalah beberapa skandal yang mengguncang KPK:
- Dugaan Suap dan Pemerasan oleh Pegawai KPK
Beberapa oknum pegawai KPK diduga terlibat dalam praktik suap dan pemerasan. Salah satu kasus yang mendapat perhatian publik adalah dugaan suap yang melibatkan penyidik senior KPK, seperti yang dilaporkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2022. Kasus ini tidak hanya merusak integritas lembaga, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pengawasan internal.
- Pemilihan Pimpinan yang Kontroversial
Proses seleksi pimpinan KPK kerap diwarnai dugaan intervensi politik. Misalnya, dalam pemilihan pimpinan KPK periode 2019-2023, calon yang dianggap kontroversial lolos seleksi meski memiliki rekam jejak yang dipertanyakan. Hal ini memicu spekulasi bahwa independensi KPK semakin terkikis, terutama setelah revisi UU KPK pada 2019.
- Revisi UU KPK Tahun 2019
Revisi UU KPK yang disahkan pada September 2019 menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Perubahan tersebut dianggap melemahkan kewenangan KPK, seperti pembentukan Dewan Pengawas yang diangkat oleh Presiden, serta penghapusan kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan tanpa persetujuan dewan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), revisi ini secara signifikan mengurangi efektivitas KPK dalam menangani kasus korupsi.
- Fenomena “Tebang Pilih” dalam Penanganan Kasus
Kritik lain yang sering muncul adalah dugaan adanya kepentingan tertentu dalam menentukan target kasus. Sebuah studi oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2021 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat merasa KPK tidak lagi selektif dan objektif, melainkan cenderung digunakan sebagai alat politik untuk menargetkan pihak-pihak tertentu.
Apakah KPK Justru Menghambat Pemberantasan Korupsi?
Meskipun KPK awalnya dirancang sebagai lembaga independen yang kuat, kini banyak pihak yang mempertanyakan efektivitasnya. Alih-alih menjadi solusi, KPK justru dianggap sebagai bagian dari masalah. Beberapa argumen yang mendukung pandangan ini antara lain:
- Pelemahan Independensi
Setelah revisi UU KPK, posisi KPK semakin bergantung pada eksekutif. Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan signifikan atas operasional KPK, misalnya, diangkat oleh Presiden. Ini menciptakan potensi konflik kepentingan, seperti yang diungkapkan oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, dalam sebuah diskusi publik pada 2021.
- Penurunan Kinerja
Data menunjukkan bahwa jumlah OTT yang dilakukan KPK menurun drastis pasca-revisi UU. Menurut laporan Transparency International Indonesia, jumlah OTT yang dilakukan KPK pada tahun 2020 hanya mencapai 12 kasus, turun signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata mencapai 50-60 kasus per tahun.
- Kehilangan Kepercayaan Publik
Survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2022 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap KPK terus menurun. Hanya 45% responden yang menyatakan masih percaya pada KPK, dibandingkan dengan 75% pada tahun 2018. Masyarakat mulai mempertanyakan apakah KPK masih relevan jika tidak mampu menjaga integritas dan independensinya.
Alternatif: Reformasi atau Bubarkan?
Menghadapi kenyataan ini, ada dua opsi strategis yang dapat dipertimbangkan:
1. Reformasi Total KPK
Reformasi total adalah langkah yang paling realistis jika tujuannya adalah memperbaiki KPK tanpa membubarkannya. Langkah-langkah yang perlu diambil meliputi:
- Mengembalikan Independensi Penuh KPK: Revisi UU KPK harus dibatalkan atau direvisi ulang untuk memastikan KPK bebas dari intervensi politik.
- Membersihkan Lembaga dari Oknum Bermasalah: KPK perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh pegawainya untuk memastikan integritas dan profesionalisme.
- Memperkuat Sistem Pengawasan Internal*: Pengawasan internal harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi di tubuh KPK sendiri, seperti yang disarankan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
2. Bubarkan dan Bentuk Lembaga Baru
Jika reformasi dianggap tidak mungkin, opsi lain adalah membubarkan KPK dan membentuk lembaga baru yang lebih efektif. Beberapa negara, seperti Singapura dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB)-nya, telah membuktikan bahwa lembaga anti-korupsi dapat berfungsi dengan baik asalkan didesain dengan struktur yang tepat. Lembaga baru ini harus:
- Lepas dari Intervensi Politik: Struktur kepemimpinan harus sepenuhnya independen.
- Didukung oleh Anggaran yang Memadai: Dana yang cukup penting untuk memastikan operasional yang efektif.
- Transparan dan Akuntabel: Lembaga baru harus memiliki mekanisme transparansi yang jelas agar masyarakat dapat memantau kinerjanya.
Kesimpulan: Masihkah Kita Percaya KPK?
KPK adalah produk sejarah yang lahir dari aspirasi rakyat untuk memberantas korupsi. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa KPK telah kehilangan banyak elemen yang membuatnya dulu dihormati. Tanpa reformasi besar-besaran, keberadaan KPK hanya akan menjadi beban bagi anggaran negara dan harapan rakyat.
Pilihan ada di tangan pemerintah dan masyarakat. Apakah kita akan memberikan kesempatan terakhir bagi KPK untuk bangkit melalui reformasi total? Ataukah sudah saatnya kita berani mengambil langkah radikal dengan membubarkan KPK dan membangun sistem baru yang lebih efektif?
Bagaimana pendapat Anda?
Komentar