oleh

Literasi Informasi Dalam Era Digital

Oleh : Hendri Hendarsah (Tenaga Kependidikan MTs Negeri 2 Kota Tasikmalaya)

LITERASI informasi telah disikapi oleh berbagai kalangan, termasuk pustakawan, guru, dan masyarakat dalam gerakan membaca. Literasi informasi menjadi isu penting dan mendesak untuk lebih selektif dalam menggunakan informasi yang disampaikan melalui berbagai media. Kita juga dapat melihat bahwa semakin banyak informasi yang dibuat dan disebarluaskan oleh siapa saja dan untuk tujuan apa pun saat ini.

Kemudahan dalam membuat dan mendistribusikan informasi merupakan hasil dari kemudahan yang diberikan oleh teknologi informasi yang semakin canggih. Siapapun dapat membuat semua jenis informasi dan menyebarkannya sendiri dengan mudah. Bahkan jumlah informasi yang dibagikan kepada masyarakat umum sekarang sangat banyak sehingga kita tidak memiliki cukup waktu untuk membaca semua informasi selama sisa hidup kita. Informasi yang diberikan kepada publik sangat luas dan mungkin tidak selalu berisi informasi yang benar.

Oleh karena itu, literasi saja tidak cukup untuk mengajarkan apa itu perpustakaan, apa itu buku, perbedaan buku dan majalah, dan sebagainya. Informasi yang muncul sekarang juga tidak terlalu menarik. Ini tidak selalu benar, tetapi menyebar dengan sengaja atau tidak sengaja. Untuk itu literasi informasi sangat penting dan diperlukan agar masyarakat tidak mudah tergiur dengan informasi yang menyesatkan.

Memang sekarang adalah masa atau masa yang sering disamakan dengan era informasi palsu dan informasi palsu. Informasi yang tidak benar adalah informasi yang tidak akurat atau sama sekali tidak benar dan umumnya disebarluaskan dengan cara yang dapat menimbulkan kepanikan bagi penerima informasi. Liang Wu, Fred Morstatter, dan Huan Liuada (2016) menyatakan bahwa ada lima jenis informasi palsu yang umum terjadi di masyarakat. Pertama, disinformasi atau disinformasi yang disengaja atas informasi yang tidak akurat atau tidak akurat untuk maksud dan tujuan yang berbeda melalui media yang berbeda. Kedua, rumor, yaitu cerita yang diceritakan oleh seseorang kepada orang lain sehubungan dengan suatu kemungkinan peristiwa, tidak benar, terkesan menyesatkan, dan dapat menyebar di media sosial. Ketiga, legenda urban adalah cerita fiksi yang terkait dengan budaya tempat itu, tetapi seperti yang diceritakan dalam cerita, mereka dapat dikurangi atau ditambahkan, menanamkan rasa takut atau hanya dirancang untuk mengolok-olok mereka. Keempat, spam adalah pesan yang dikirim ke banyak orang yang tidak benar dan berisi informasi yang memiliki tujuan tertentu bagi pengirimnya. Dan kelima, troll adalah informasi provokatif atau ofensif yang dikirim untuk mengecewakan atau membuat marah orang lain.

Generasi digital dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain monastik digital, imigran digital, pemukim digital, dan penduduk asli digital (Priyanto, 2016). Generasi monastik adalah generasi yang menggunakan informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber non-digital atau online. Generasi imigran digital, di sisi lain, adalah generasi yang menggunakan teknologi usia tua, membawa budaya dan perilaku analog ke dunia digital. Pemukim digital, di sisi lain, adalah generasi yang lebih tua dan dapat menghubungkan imigran digital dengan penduduk asli digital, tetapi mereka selalu mengikuti dan menggunakan teknologi dari yang lama ke yang baru. Digital native adalah generasi yang tidak memiliki pengalaman di dunia analog. Mereka hanya tahu apa yang terjadi sekarang dan tidak bisa membayangkan dunia tanpa WiFi atau gadget.

Dalam mencari, menemukan, dan memanfaatkan berita, seluruh generasi mempunyai perspektif yang tidak sama. Digital monastik cenderung memakai fasilitas analog dan berita pada bentuk cetak lantaran telah sebagai norma semenjak awal kehidupan hingga usia tua. Digital imigran mencari dan memanfaatkan berita usang dan baru menggunakan menerapkan konsep dan konduite usang, sebagai akibatnya setiap menerima berita digital, mereka akan permanen lebih senang mencetaknya sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara tradisional.

Sementara itu, pemukim digital sanggup membaca berita baik pada bentuk cetak juga digital. Tidak khsus menggunakan berita format apapun. Di sisi lain, penduduk digital mempunyai sudut pandang yg tidak sama pada konduite berita. Mereka lebih gampang menerima asal berita digital dan mereka menginginkan seluruh berita pada bentuk digital pada genggaman. Baik digital monastik, digital immigrants, pemukim digital, juga penduduk asli digital merupakan para pengguna perpustakaan dan mereka memanfaatkan layanan berita berdasarkan perpustakaan dari sudut pandang mereka sendiri-sendiri. Perpustakaan menjadi penyedia gosipormasi belajar yang bisa mengakomodasi seluruh pemustaka berdasarkan keempat kategori pemustaka tersebut. Itulah sebabnya, dibutuhkan banyak sekali taktik buat menaruh layanan terbaik pada para pemustaka berdasarkan keempat generasi tersebut.

            Jaman sekarang bukan saatnya berbicara hatihati dijalan tetapi juga harus berhatihati dalam berbicara dalam media sosial. Salam literasi digital.(****

Komentar