oleh

Memetakan Kekuatan Politik Menurut Neuroscience

Oleh : Dede Farhan Aulawi

 

KONTESTASI  perhelatan pesta demokrasi yang berlangsung di tanah air sangat menarik untuk dicermati. Tahap demi tahap proses demokrasi ini sudah dilalui dengan tertib, meski ada beberapa kericuhan kecil di beberapa lokasi, seperti di Yogya misalnya. Tapi secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa sampai hari ini, situasi masih kondusif.

Untuk melakukan pemetaan kekuatan politik yang banyak dilakukan saat ini melalui metode survey yang dilakukan oleh beberapa survey. Metode statistik yang digunakan selama ini dianggap mampu mengilustrasikan keadaan yang sesungguhnya, meski ada kesalahan saat memprediksi pilkada tahun lalu di Jakarta. Alasan yang mengemuka kemudian adalah bahwa pilihan politik itu bersafat cair dan tidak rigid, artinya bisa saja berubah setiap saat. Fenomena salahnya lembaga survey yang memprediksi kemenangan si “A” di Jakarta yang dikalahkan oleh si “B”, telah meluluhkan bangunan  netralitas akademik pada beberapa lembaga survey. Akhirnya timbulah anggapan di sebagian masyarakat bahwa lembaga survey X, Y, atau Z bisa “dibeli” agar memunculkan kemenangan seolah – olah bagi si ‘A”.

Kenapa lembaga survey dianggap bisa dibeli ? Sebagian orang berpendapat bahwa tujuannya agar mempengaruhi psikologi massa, karena massa cenderung merapat kepada calon yang dianggap memiliki potensi menang, apalagi bagi kaum opportunis politik, karena mendekat pada pihak yang diperkirakan menang kalkulasi politiknya adalah ada ‘kemungkinan” untuk mendapatkan sediit “kue kekuasaan” atas hasil jerih payahnya selama ini ikut berjuang memenangkan si A atau si B misalnya. Jadi kalkulasi politiknya kebanyakan didasarkan atas untung rugi pribadi dalam membaca peta pertarungan, bukan karena nilai – nilai prinsip perjuangan. Tentu tidak semua orang berfikir demikian, karena mungkin saja masih banyak sebagian orang yang menjunjung tinggi nilai – nilai idealisme dalam memperjuangkan sebuah keyakinan.

Studi tentang neuroleadership sebenarnya sudah mampu membaca kekuatan politik dalam kontestasi politik yang merujuk pada otak. Hal ini pernah diungkapkan oleh Prof. Taruna Ikrar, seorang ahli otak dan neurosains Indonesia. Beliau Guru Besar di Pacific Health Sciences University, California – Amerika Serikat. Putera kelahiran Gowa Sulawesi Selatan ini pernah menuturkan tentang studi pengukuran otak dan kaitannya dengan pilihan politik sejak Barack Obama terpilih menjadi pemimpin AS tahun 2008, dimana John Hopkins University melakukan riset khusus tentang kecenderungan politik. Hasilnya mencengangkan, di mana parameternya melihat genetik dan kecenderungan pemilihan berdasarkan pada otak.

Sejak itu studi otak untuk kecenderungan pemilihan politik di Amerika Serikat makin menarik. Buktinya, pada 2016, muncul hasil riset baru yang terkenal dengan studi red and blue brain. Studi ini mampu melihat kecenderungan pemilihan politik warga Amerika Serikat sampai tujuh generasi. Hasil riset menemukan bahwa orang yang memilih Partai Demokrat itu daerah korteksnya punya densitas tinggi, lebih banyak syarafnya. Kalau di Partai Republik itu terbalik, di bagian sublimbik itu lebih tebal dibanding korteks. Pola ini menunjukkan bahwa Partai Republik lebih banyak dipilih warga dengan ekonomi kelas atas. Lihat saja saat Donald Trump terpilih jadi presiden, orang kaya Amerika mendesak pemerintahan Negeri Paman Sam agar tidak banyak memungut pajak.

Sebaliknya, Partai Demokrat merupakan pilihan warga menengah ke bawah, maka tak heran persoalan kecenderungan isu imigran luar biasa dalam kelompok ini. Jadi berdasarkan studi ini, pemilihan politik bukan hanya membentuk pattern tertentu tapi sirkuit pemilihan tertentu.

Jadi dalam membaca kekuatan politik atau kecenderungan kandidat yang akan menang tidak hanya diukur dengan metode statistik oleh lembaga survey saja, melainkan juga bisa dianalisis menggunakan pendekatan neuroscience.(***)

 

Komentar