Oleh : Desi Novita Rachmi, S.Pd (Guru SDN Indihiang-Kota Tasikmalaya)
IDEALNYA sekolah itu diperuntukkan untuk semua anak dari berbagai kalangan. Tidak peduli kaya atau miskin, berkebutuhan khusus atau sempurna, yang pasti mereka (baca: anak-anak disabilitas) memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang sangat layak. Seperti yang termaktub dalam UUD 1945, pasal 31 ayat (1): “ Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan “. Ketika aturan sudah termaktub dalam sebuah UUD, maka sudah sepatutnya itu semua dijadikan acuan untuk membuat warga negara merasa “merdeka” untuk mendapatkannya. Begitupun dengan kaum difabel, mereka layak sekali mendapatkan lembaga pendidikan yang mengerti akan kebutuhan-kebutuhan mereka. Sekolah yang hadir memberikan rasa nyaman atas segala “kelebihan” yang mereka punya.
Pada umumnya, anak penyandang disabilitas kesulitan belajar di sekolah formal. Mereka lebih disarankan untuk belajar mengembangkan minat dan bakat di sekolah berkebutuhan khusus, sebut saja Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah Inklusi. Tujuan utama dari pendidikan inklusi adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya (Permediknas Nomor 70 Tahun 2009). Sekilas dengan menilai tujuan di atas, kita masih bisa melihat pengotak-ngotakkan kaum difabel dengan orang biasa.
Terlepas dari berbagai asumsi di atas, setidaknya kita patut berterima kasih, bahwa pemerintah masih memberi ruang khusus untuk mereka mengekspresikan diri lewat lembaga pendidikan yang berlabel inklusi. Setidaknya mereka punya tempat bernaung yang lebih kredibel. Ada banyak potret buram memilukan menimpa para difabel. Rentetan getir penolakan anak-anak difabel masih saja bergema di negeri ini. Beberapa bulan lalu kita memperingati Hari Disabilitas Internasional pada tanggal 3 Desember. Hal ini dijadikan sebagai pengingat bahwa hak, kesempatan, kesetaraan dan akses yang sama menjadi isu penting dalam dunia pendidikan. Begitu pun anak-anak difabel, mereka berhak memiliki pintu-pintu keseteraan yang sama seperti anak-anak lainnya. Karena mereka juga memiliki hak dan potensi yang sama.
Mengurai masalah di atas, layaknya mengurai benang kusut, yakni masalah yang tak berujung solusi. Tapi secercah harapan selalu ada, setidaknya yang tertuang dalam UU Nomor 8 tahun 2016 tentang “ Penyandang disabilitas mengamanahkan bagi penyelenggara pendidikan dasar, menengah dan tinggi untuk menyiapkan unit layanan disabilitas” (Republika.co.id). Artinya banyak layanan dan fasilitas yang diperuntukkan bagi para difabel, diantaranya menyediakan pendamping (khusus mahasiswa) agar mereka lebih mudah mengikuti proses belajarnya. Sarana dan prasarana di lembaga pendidikan pun turut serta memenuhi kebutuhan lainnya, diantaranya penyediaan kursi dan Water Closet (WC) khusus kaum difabel. Ini merupakan sebagian “wajah” pendidikan Indonesia yang mulai berkembang, merata dan bisa dinikmati oleh teman-teman disabilitas. Menjadikan Indonesia sebagai negara yang ramah disabilitas. Karena keterbatasan bukan berarti dunia terbatas. Ayo Indonesia Bisa !!
Komentar