oleh

Mengenal Kisah Jenderal G.P.H. Djatikusumo (1917-1992)

Ditulis ulang oleh: K.R.T Koes Sajid Djayaningrat

HARI Minggu Pahing 11 Ramadhan tahun 1335 H atau bertepatan dengan 1 Juli 1917 di Keraton Surakarta lahir salah seorang putra Raja Sri Susuhunan Paku Buwana X dari Garwo Raden Ayu Kironorukmi yang diberi nama Gusti Raden Mas Subandono yang kemudian ketika remaja mendapat nama dan gelar baru Gusti Pangeran Haryo Djatikusumo.

G. P. H Djatikusuma menikah pertama kali dengan BRAy Muryalitarina, putri bungsu Sri Sultan Hamengkubuwana VII .Pada tahun 1947 G. P.H Djatikusuma memiliki garwa lagi dari trah Mangkunegaran yaitu R. Ay Suharsi Widyanti Jayasana dan menurunkan tiga orang putri sbb:

1. BRAy Koes Marina

2. BRAy Koes Mariana

3. BRAy Koes Maryati

GPH Djatikusuma juga berinisiatif memindahkan Makam Sunan Pakubuwana VI dari Ambon ke Pajimatan Imogiri.

G. P. H Djatikusuma wafat pada 4 Juli 1992 dalam usia 75 tahun. Jenazah beliau dimakamkan komplek makam Sultan Agung di Pajimatan Imogiri.

Sejak kecil sebagai putra seorang raja, GPH Djatikusuma sudah dididik kemiliteran antara lain melalui pertunjukan wayang kulit, beliau pada waktu itu diijinkan nonton wayang kulit sampai pukul 11 malam, selain itu beliau juga belajar pencak silat dan naik kuda serta berlatih baris-berbaris termasuk kegiatan yang harus ditekuni sejak kecil.

Selepas sekolah dasar di Pamoelangan Kasatriyan, seperti putra Sri Susuhunan X lainnya, Djatikusumo melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan atau Hogere Burger School (HBS) Bandung sampai tamat (1931-1936). Beliau pulang ke Surakarta hanya pada waktu liburan saja.

Setelah tamat dari HBS, ayahnya Sri Susuhunan Paku Buwono X menginginkan agar Djatikusumo masuk akademi militer di Breda, seperti kakaknya GPH Purbonegoro. Akan tetapi ia memilih melanjutkan studinya di Technische High School (THS) di Delft, negeri Belanda, meskipun hanya sampai tingkat III. Dengan wafatnya Susuhunan Paku Buwono X pada 20 Februari 1939 dan meletusnya Perang Dunia Kedua maka Djatikusumo pulang kembali ke Indonesia dan kemudian melanjutkan studinya di sekolah Technische Hoge School (THS) di Bandung namun hanya sampai tingkat IV.

Situasi dunia semakin gawat, sementara itu bau mesiu telah terasa bahwa bahaya perang dunia kedua akan merambah ke Indonesia oleh sebab itu pemerintah kononial Belanda membentuk Coro (Corps Opleiding Reserve Officieren) yakni Sekolah Perwira Cadangan di Bandung. Putra Raja Surakarta ini terpaksa meninggalkan bangku kuliah di THS sebelum tamat dan pindah masuk ke Coro (1941-1942). Sebagai Taruna Coro ia ikut bertempur melawan bala tentara Dai Nippon di Ciater, Subang Jawa Barat pada 3 Maret 1942 sampai Belanda bertekuk lutut kepada tentara Jepang pada 1942.

B. Perjuangan dan Pengabdian di Bidang Militer

Perjuangan dalam Revolusi Fisik

Sesudah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno Hatta atas nama Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka dalam sidang PPKI yang ke Il tanggal 22 Agustus 1945 pemerintah memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah perjuangan, yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum di daerah masing-masing.

Pembentukan BKR diumumkan bersama-sama pembentukan KNI dan PNI pada 23 Agustus 1945. Dalam pidatonya Presiden menyerukan kepada bekas tentara PETA (Pembela Tanah Air), Heiho, Kaigun Heiho dan pemuda-pemuda lainnya untuk sementara waktu bekerja dalam BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil sebagai prajurit tentara kebangsaan jika datang saatnya.

Pidato Presiden itu mendapat sambutan spontan dari seluruh rakyat, termasuk putra raja dari Surakarta yang tidak mau ketinggalan dengan mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Surakarta pada akhir Agustus 1945. Meskipun la seorang bangsawan tinggi yang berdarah biru tanpa ragu-ragu aktif dalam revolusi membaur bersama rakyat jelata berjuang mengusir penjajah. Pada hal jika mau hidup nikmat tanpa resiko, ia dapat tinggal diam hidup tenang dalam keraton dan mungkin akan ditawari jabatan tinggi dengan gaji besar. Akan tetapi ia tidak mau hidup nikmat bersama si penjajah dan menjadi penghianat bangsa.

Kebijaksanaan pimpinan nasional untuk menunda pembentukan tentara nasional, menyebabkan situasi keamanan bertambah gawat. Perlawanan dan perebutan kekuasaan yang dilakukan BKR secara setempat-setempat tanpa adanya satu komando, tidak berhasil memenuhi sasaran perjuangan. Karena itu pemerintah mulai merasakan perlunya membentuk suatu tentara nasional. Untuk itu pada 5 Oktober 1945 melalui siaran radio dan surat kabar, pemerintah mengumumkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Sejak terbentuknya TKR maka Djatikusumo dipercaya menjabat sebagai Komandan Batalyon I Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempat di benteng Vastenburgh, Surakarta dan beliau berperan aktif memimpin pertempuran Kenpel Tal Kabupaten Surakarta. Demikian juga ketika terjadi “Pertempuran empat hari di Semarang melawan sisa-sisa bala tentara Dal Nippon (Kido Butai), beliau juga berperan aktif dalam pertempuran tersebut karena pada waktu ia menjabat sebagal Komandan sektor selatan (Srondol).

Dari Agustus sampai dengan November 1945 beliau masih berpangkat mayor, namun sudah dipercaya oleh pemerintah Indonesia untuk mengemban tugas menjadi anggota Tim Perundingan Gencatan Senjata yang diketuai oleh Oemar Slamet berhadapan dengan Brigjen Bethel (Angkatan Darat Inggris). Tidak lama kemudian tepatnya sejak November 1945 sampai Mei 1946, GPH Djatikusumo menjadi perwira menengah diperbantukan pada Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta Setelah selama setengah tahun berada di MBT Yogyakarta maka sejak Juni 1946 Djatikusumo diangkat menjadi Panglima Divisi Infanteri (IV) Tentara Republik Indonesia (TRI) di Salatiga dengan pangkat Mayor Jenderal namun hanya satu minggu, karena dari Salatiga, Djatikusumo pindah markasnya di Mantingan Blora. Sesudah itu, ia pindah lagi ke Cepu sebagai Panglima Divisi Infanteri (V) Ronggolawe Jawa Timur sejak Juni-Februari 1948.

Pada saat menjabat sebagai Panglima Divisi Ronggolawe, pertahanan divisi ini merupakan satu-satunya divisi yang sulit ditembus Belanda pada waktu Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Karenanya dengan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dalam Agresi Militer Belanda tidak ada sejengkal tanah pertahanan Divisi Ronggolawe yang berhasil diduduki musuh karena divisi ini berhasil mendesak mundur pasukan Tentara Belanda di Jawa Timur khususnya front Gresik seluruh Pantal Utara Jawa sampai Blora, dan Demak.

Agresi militer Belanda I menarik perhatian internasional Dewan Keamanan Perserlatan Bangsa-bangsa bersidang 31 Juli 1945 dan mendesak supaya kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata Dalam rangka menyukseskan perundingan gencatan senjata itu maka GPH Djatikusumo ditunjuk sebagai anggota Tim perundingan gencatan senjata berhadapan dengan Panglima Divisi Tentara Kerajaan Belanda, la ditugaskan menerima utusan Markas Besar MacArthur dari Tokyo dalam rangka untuk mengadakan penyelidikan apakah benar Republik Indonesia mendapat dukungan penuh rakyat Indonesia.

G.P.H Djatikusumo adalah tokoh penting dalam Pertempuran Ambarawa dan menjabat sebagai komandan Divisi IV. Misi utama divisi ini adalah melacak dan mengepung pasukan asing.Selama pertempuran sengit di Ambarawa, Kolonel G.P.H. Jati Kusumo menunjukkan kepemimpinan yang sangat baik. Ia menjaga pergerakan pasukan tetap pada jalurnya.

Mereka semua adalah tokoh-tokoh yang bergerak bersama dengan rakyat dalam perjuangan di Pertempuran Ambarawa. Pertempuran yang cerdik karena menggunakan taktik supit urang.

2. Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Pertama

Seiring dengan berlangsungnya gencatan senjata pihak Indonesia dengan pihak Belanda sejak bulan Agustus 1947 maka pada 8 Desember 1947 pihak Indonesia dan Belanda mengadakan perundingan di atas kapal pengangkut pasukan Amerika Remilla yang berlabuh di Tanjung Priok Perundingan ini menghasilkan Persetujuan Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1947 Dari hasil perundingan ini wilayah RI menjadi sempit sehingga tidak mungkin lagi bagi RI untuk memelihara pasukan yang besar. Karena Itu jumlah pasukan harus dikurangi dan sebaliknya mutunya harus ditingkatkan melalui program Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) salah satu program RERA Angkatan Perang.

Untuk itu dengan berdasarkan Undang-Undang no.13 tahun 1948 tanggal 6 Maret 1948 Kementerian Pertahanan menyelenggarakan Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang sehingga tersusun struktur Organisasi Angkatan Perang Republik Indonesia yang terdiri atas Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Dengan adanya RERA tersebut maka GPH Djatikusumo dipercaya menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Februari 1948 – Januari 1950.

Pada Nopember 1948 Djatikusumo merangkap sebagai Gubernur Akademi Militer 1948-1950. Oleh karena itu ketika terjadi Agresi Militer Belanda Il 19 Desember 1948, maka beliau bersama para taruna Akademi Militer serta anggota TNI yang lain terlibat dalam perang gerilya untuk menghadang tentara Belanda dan arah Maguwo yang bergerak kearah ibukota. Selama bergerilya ia berada di tengah-tengah para taruna Akademi Militer/Militaire Academie (MA). Namun dengan adanya organisasi baru dalam SWK 104 maka secara taktis pasukan MA berada dibawah garis komando wehrkreise III Yogyakarta pimpinan Soeharto yang kekuasaannya didelegasikan pada komando SWK 104 Mayor Sukasma. Kedudukan Kolonel GPH Djatikusumo karena pangkatnya sebih senior dari pada Komandan SWK 104 maka selama bergerilya kemudian menjadi penasehat dan pembantu Sri Hamengkubuwana IX, Sultan Yogya. Meskipun secara teoritis beliau tidak lagi langsung memimpin para taruna MA, tetapi selama bergerilya beliau masih selalu dekat bersama-sama mereka dan nasehat nasehat atau petunjuk-petunjuknya tetap berpengaruh pada pimpinan SWK 104 sampai Yogyakarta kembali kepangkuan Republik Indonesia bulan 1949.

3.  Perjuangan dan Pengabdiannya Sesudah Pengakuan Kedaulatan

a.  Mengemban Tugas Sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (SSKAD)

Sesudah pengakuan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada Indonesia 27 Desember 1949, maka TNI mulai mengadakan perencanaan untuk meningkatkan mutu keprajuritan menuju kearah profesionalisme. Dalam rangka meningkatkan profesionalisme di kalangan perwira TNI AD inilah, maka dengan Surat Keputusan KSAD No. 95/KSAD/KPTS/51 tertanggal 25 Mei 1951 yang disahkan oleh Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. 377/MP/5D dengan resmi disahkan berdirinya Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kini lebih dikenal dengan SESKOAD di Bandung.

G.P.H. Djatikusumo menjabat sebagai Komandan SSKAD sejak 1952-1955, sebagai komandan pendidikan ia banyak memberikan sumbangan yang berharga untuk mencapai kebulatan dan kesatuan Angkatan Darat khususnya dan Angkatan Perang umumnya.

b.      Pendiri Akademi Tehnik Angkatan Darat (ATEKAD)

Sesudah selesai memangku jabatan sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SKKAD) maka sejak April 1955-Agustus 1958 ia menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal. Sewaktu ia menjabat Direktur Zeni Angkatan Darat inilah ia mencetuskan gagasan untuk mendirikan sebuah Akademi Tehnik Angkatan Darat (ATEKAD) dalam rangka mengatasi kekurangan kekurangan yang dirasakan oleh TNI AD, oleh karena itu dimasa kepemimpinannya kemudian ia mendirikan Akademi Tehnik Angkatan Darat (ATEKAD), yang pada 1961 disatukan dengan Akademi Militer Nasional Magelang menjadi Akademi Militer Nasional yang berkedudukan di Magelang.

Ketika ia menjabat Direktur Zeni Angkatan Darat, la mendapat tugas memimpin operasi militer mengatasi pemberontakan PRRI di Sumatera. Beliau  bertugas membawa pasukan dari Medan ke Bukit Tinggi mendampingi Mayor Raja Syahnan. Adapun pasukannya terdiri dari Divisi Diponegoro, 1 kompi dari ex Divisi Diponegoro di Kalimantan Barat dan 1 Detasemen Zeni yang sudah well trained serta para taruna Atekad juga dikirim untuk ambil bagian dalam operasi PRRI.

C. Perjuangan dan Pengabdiannya dalam Bidang Pemerintahan dan Diplomasi

Mengemban Tugas Sebagai Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata

Sejak dicanangkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 maka presiden membentuk Kabinet Kerja I pada 10 Juli 1959. Didalam Kabinet tersebut, Departemen Perhubungan di pecah menjadi 3 Departemen terdiri dari Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata, Departemen Perhubungan Laut dan Departemen Perhubungan Udara.

Sejak 1959-1963 G.PH. Djatikusumo menjabat sebagai Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata

sejak 12 Juli 1958 sebagai perwakilan RI di Singapura selama setahun. Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata. Pangkatnya pun dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.

Selama menjabat, banyak yang dilakukan oleh Djatikusumo. Ia memajukan transportasi darat dengan membuka Kereta Api Ekspress di jalur selatan, mendatangkan 2.000 gerbong kereta dari Cekoslowakia, dan mendatangkan puluhan bus Damri. Selain itu, membangun sentral telepon otomatis untuk Jakarta Kota dan Tanjung Priok, dan membangun Kantor Pusat Telepon di Gambir, Jakarta Pusat hingga ke luar Jawa.

Dalam rangka menggalakan dunia kepariwisataan di Indonesia maka pada masa pemerintahannya ia membentuk Dewan Tourisme Indonesia dan membangun 4 buah hotel berbintang yang dibiayai dari hasil rampasan perang. Keempat hotel tersebut ialah Hotel Indonesia, Jakarta Hotel Samudra Beach, Pelabuhan Ratu Lawa Barat Hotel Ambarukmo, Yogyakarta dan Hotel Ball Beach, Denpasar Ball serta membuat relief tentang Ramayana ditembok depan kantor Departemen Perhubungan Darat di jalan Hayam Wuruk 2, Jakarta.

Untuk pengamanan perjalanan jalur kereta api maka beliau mengirim surat kepada para Panglima baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur untuk mengamankan jalur kereta api tersebut dari gerombolan DI/TII, karena situasi keamanan pada waktu itu belum stabil. Oleh karena itu ketika ia dalam perjalanan dengan kereta api, biasanya ia tidak mau duduk dalam wagon, melainkan berada langsung dalam lokomotif bersama para masinis, untuk mengawasi dan mengontrol perjalanan maupun untuk mengetahul kendala apa saja yang dialami kereta tersebut.

2. Mengemban Tugas Sebagal Diplomat

Dalam dunia korps diplomatik dikenal adanya berbagal jabatan Jabatan tertinggi Duta Besar Luar Biasa yang disingkat Dubes yang membawahi Dubes 1, Dubes il dan seterusnya, jabatan dibawahnya adalah Minister Counseler Disingkar Konten yang membawahi Konsul l, Konsul ll dan Konsul Jenderal.

G.PH. Djatikusumo memulai karier diplomatiknya sebagal Konsul Jenderal RI untuk Singapura (September 1958 Agustus 1959) dan merangkap sebagal Konsul Jenderal Serawak, Brunei dan Tawao. Kemudian sejak Juni September 1963 ia diangkat Pemerintah RI menjadi Duta Besar Luar Biasa (Dubes) untuk Kerajaan Malaya (sekarang Malaysia) di Kuala Lumpur.

Namun dengan adanya politik konfrontasi terhadap Malaysia maka ia kembali ke Indonesia dan diperbantukan pada Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Setelah peristiwa G 30S/PKI 1965, sejak Nopember 1965 ia kembali menjabat sebagal Dubes Kerajaan Marokko di Rabat dan setahun kemudian menjabat sebagai Dubes Perancis di Paris merangkap Dubes Kerajaan Spanyol di Madrid dan Kepala Perwakilan United Nation Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) di Paris hingga Desember 1968.

Sebagai seorang prajurit pejuang yang berdarah bangsawan tinggi, serta menguasal empat bahasa asing, dan dari kalangan militer maka penempatan GPH Djatikusumo sebagal duta besar di Perancis sungguh tepat. Selain beliau menguasai bahasa, sejarah dan budaya Perancis, ia dan Presiden Perancis De Gaulle sama-sama jenderal, sehingga lebih mudah komunikasinya dalam rangka menciptakan hubungan saling pengertian bagi kedua bangsa dan negara.

3. Pengabdian dan Perjuangan Setelah Purna Tugas.

Tiga tahun menjelang purna tugas tepatnya sejak Januari 1969-Desember 1972 beliau diperbantukan pada Kepala Staf Angkatan Darat hingga pada akhirnya la memasuki purna tugas pada 1973. Dalam masa-masa kepurnawirawanannya beliau masih aktif mengabdikan diri untuk kepentingan nasional, salah satu moto beliau adalah

“seorang prajurit bisa pensiun, namun sebagai pejuang tidak akan pernah mengalami pensiun dalam mengabdikan dirinya bagi kepentingan bangsa dan negara”

Sesudah purnawirawan ia pernah menjadi anggota Dewan Pengurus Pusat Pepabri, kolumnis tetap harian Berita Buana, anggota DPA periode 1978-1983. Pada 1979 ia menjadi wakil Ketua DPA menggantikan Letnan Jenderal TNI (Purn) R. Kartakusumah yang meninggal dunia. Setelah melaksanakan tugasnya sebagai anggota DPA maka ia menjadi anggota P-7 sampai akhir hayatnya (1978-1992).

Team P-7 adalah suatu team Penasihat Presiden yang bertugas memberikan laporan, saran-saran dan pertimbangan mengenai hal-hal yang dianggap perlu dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Selama menjadi anggota Team P-7, banyak sumbangan pikiran yang diberikan oleh G.PH. Djatikusumo sebagai anggota dalam rangka memasyarakatkan Pancasila sebagai ideologi negara kita.

Pada Mei 1992 beliau berkunjung ke RRC dan sekembalinya di tanah air, ia mengadakan kunjungan kerja ke Jawa Timur pada Juni selama 5 (lima) hari. Kunjungan kerja ini adalah merupakan kunjungan yang terakhir beliau, karena seminggu kemudian tepatnya pada 4 Juli 1992 beliau  meninggal dunia karena sakit jantung

D.      Penghargaan Atas Jasa-Jasanya

Sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa maka Pemerintah Republik Indonesia  telah menganugerahkan 17 bintang tanda jasa yakni: Bintang Maha Putra Adipradana,

Bintang Kartika Eka Paksi Utama (as 1), Bintang Gerilya,

Bintang Sewindu,

Bintang Dharma,

Bintang Tahta suci dari Sri Paus,

Satyalancana Perang Kemerdekaan Pertama, Satyalancana Perang Kemerdekaan Kedua, Satyalancana Perintis Pergerakan Kemerdekaan,

Satyalancana Gerakan Operasi Militer L Satyalancana Gerakan Operasi militer II, Satyalancana Kesetiaan XIV tahun, Satyalancana Sapta Marga,

Satyalancana Wira Dharma,

Satyalancana Penegak,

Satyalancana Dwidya Sistha,

Bintang Legiun Veteran RI.

Penghargaan tertinggi diberikan pemerintah berupa Gelar Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 073/TK/Tahun 2002, tanggal 6 Nopember 2002.

Sekapur sirih :

Jenderal Besar AH Nasution memuji sikapnya karena berkali-kali dipindahkan tugas bahkan turun tingkat jabatan, namun tidak pernah protes. Djatikusumo dinilai sebagai sosok prajurit yang sepi ing pamrih, rame ing gawe. Sosok pekerja keras dan penuh pengorbanan serta tidak pernah mengharapkan imbalan jasa.

Seorang Putra Raja Kraton Surakarta,  Seorang Bangsawan Yang mendarmabaktikan hidupnya untuk Bangsa dan Negara Republik Indonesia.(***

Komentar