oleh

Mengenal Sanghyang Siksakandang Karesian Antara Ikon dan MOW

Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S. (Dosen Filologi pada Departemen Sejarah dan Filologi ,Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)

NASKAH Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) merupakan salah satu naskah Sunda Kuno abad XVI Masehi, yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI bernomor kropak 630. Tertulis pada daun nipah/gebang/lontar, pada tahun 1440 Saka. Angka tahunnya disusun dalam sangkala yang berbunyi: nora (0) catur (4) sagara (4) wulan (1), atau ditulis pada tahun 1518 Masehi. Teks naskah SSK terdiri atas XXX (30) sarga. Banyak hal penting yang dapat kita gali dan kita ungkap dari teks naskah  SSK ini.  Naskah berbahan lontar/nipah beraksara dan berbahasa Sunda kuno tersebut mengandung kearifan lokal budaya Sunda, yang  dapat kita petik ‘makna’ dan kegunaannya saat ini, karena  selain berisi pedoman dan ajaran/pandangan hidup, juga dianggap sebagai ensiklopedia masa lampau, yang mengungkap panorama hidup dan kehidupan pada zamannya. Sehubungan dengan alasan dan berdasarkan data serta bukti-bukti itu, pemilihan naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) dianggap layak dan sesuai untuk diajukan sebagai IKON dan MOW.  

Sarga ‘bagian’ I & II mengenalkan dan memaparkan Dasa kreta, yakni sepuluh kesejahteraan yang dicapai karena kemampuan menjaga 10 sumber napsu, agar mampu menyejahterakan  kehidupan di dunia, melalui seluruh penopang kehidupan. Dasa kreta harus dijaga agar memperoleh keutamaan dan kesejahteraan hidup, yang meliputi: telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, tumbung, dan baga-purusa. Kalau sudah terpelira dasakreta, maka akan sempurnalah perbuatan orang banyak, yang disebut dasa prebakti.

            Sarga III & IV, mempersembahkan puji dan hormat terhadap Siwa, Sanghyang Panca Tatagata (kenyataan yang ada). Panca bermakna lima, tata berarti ucap, gata bermakna raga, yang semuanya memberikan kebaikan. Kita juga harus menghormati Panca aksara adalah guru manusia, tempatnya bertanya orang banyak. Panca aksara disebut juga kenyataan yang terlihat, terasa, dan tersaksikan oleh indera kita. Dijelaskan pula tentang panca byapara (lima anasir pelindung/pembungkus), yang terdiri atas: Sanghyang pretiwi (tanah, yang diibaratkan kulit), air (yang diibaratkan darah dan ludah), cahaya (yang diibaratkan mata), angin (yang diibaratkan tulang), dan angkasa (yang diibaratkan kepala). Itulah yang disebut pretiwi dalam tubuh, yang diibatkan penguasa bumi, yang menjelma menjadi para rama, resi, ratu, disi, dan tarahan. Dijelaskan pula tentang panca putra, panca kusika. Dalam sarga ini pun dijelaskan tentang sanghiyang wuku lima di bumi (semua tempat yang menyenangkan), yang disebut: purwa (timur, tempat Hiyang Isora, putih warnanya), daksina (selatan, tempat Hiyang Brahma, merah warnanya), pasima (barat, tempat Hiyang Mahadwwqa, kuning warnanya), utara (utara, tempat Hiyang Wisnu, hitam warnanya),  dan madya (tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya).

Sarga V, VI &VII, mengungkap pancagati, yaitu lima kelakuan serakah, yang jangan dilakukan oleh pemimpin atau manusia, agar tidak sengsara. Dijelaskan juga tentang karakter seorang pemimpin. Hal yang dilarang oleh seorang pemimpin, ialah: jangan mudah mengeluh, jangan mudah kecewa, jangan jangan enggan diperintah, jangan iri dan jangan dengki kepada sesama, Disinggung pula soal catur yatna, yaitu empat kewaspadaan, jangan siwok cante, simur cante, simar cante, darma cante.        

Sarga VIII, IX, X, XI, XII, XIII & XIV, menjelaskan tentang godaan dan kepamalian, yang harus dijauhi jika ingin selamat. Menginformasikan tentang pangurang dasa ‘petugas pajak’, calagara, upeti, panggeres reuma. Diungkap juga yang harus ditiru berkaitan dengan mantri dan berbagai keahlian, seperti Juru lukis, pandai besi, ahli kulit, dalang, pembuat gamelan, pelawak, penyadap, pemanah, guru tangtu, guru wreti, dll. Dijelaskan pula tentang panca parisuda (lima penawar).

   Sarga XV & XVI, XVII, XVIII, IX, & XX, tentang kesenangan dan kenikmatan. Pengetahuan lainnya tentang keingintahuan dan kepada siapa kita harus bertanya, tentang harumnya bunga harus tanya kumbang, cerita harus tanya dalang (Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jaruni, Tantri). Pada Sarga XVII disajikan beragam kawih, permainan, cerita pantun, lukisan, tempaan, senjata, minuman, macam-macam ukiran, masakan, jenis kain, anyaman,  agama/keyakinan, perilaku perang, mantra, dan puja.   Perhitungan waktu, darmasiksa, kesempurnaan, cara mengukur tanah, pelabuhan, harga,  sandi, bertindak, bahasa, dan suara penguasa alam waktu menyempurnakan mayapada, ujarnya: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, dan Siwa.

Sarga XXI – XXVI   mengungkap bakti kepada Batara. Perbuatan manusia yang salah, burangkak, marende, mariris, dan wirang, yang dianggap mengerikan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang pemimpin. Diungkap juga tentang tanah kotor, Pada sarga XXIV dijelaskan tentang konsep parigeuing ‘kepemimpinan’, juga geuing, dan upageuing. Terungkap juga mengenai panggilan, Hal yang terpuji, seperti: emas, perak, permata, dan intan.  Orang yang muncul dari kesuciannya, pancaksaj ‘rumah sajen’, pabutelan, pemujaan, rumah adat, candi, kuil, palinggan, sanggar hyang, batu, arca. Bermacam air, Tiga ketentuan di dunia atau peneguh dunia. ‘Tri Tangtu Di Buana’. Kesentausaan ibarat  raja ‘prebu’, ucap, ibarat rama, dan budi ibarat resi. Triwarga dalam kehidupan, Batas-batas kebenaran dan sikap yang baik dalam jiwa, maka menjadi sentosa dan sejahtera. Bagi semua ahli, tukang, seniman, biarawan, Catrik, dan pertapa, bujangga, tuan tanah, ahli falaq, tukang tambang perahu, biarawati, disi ‘ahli siasat/ramal, dan rama, resi, dan prebu teguh dalam keprebuannya, akan sejahtera pula rakyatnya.        

            Sarga XXVII – XXX, mengenalkan tentang serba makhluk semuanya. Berkaitan dengan jumlah isi dunia, yakni: kurija, mataja, bagaja, dan payuja. Ada juga kegunaan di dunia, keinginan manusia, beberapa macam rasa, untuk memperoleh kekayaan, menjodohkan anak. Teks naskah SSKK ditutup dengan harapan semoga pembaca menjadi: yang mengikuti ajaran kebajikan, memperhatikan cita-cita kesucian, mengikuti hukum-hukum pengabdian. Demikianlah yang dikatakan Siksakandang Karesian, semoga menjadi sumber pengetahuan bagi yang mendengarkan. (****

Komentar