Oleh : Dadang Rachmat Al-Faruq, S.Pd.I, MH
PERHELATAN demokrasi pilkada akhirnya telah sampai pada anti-klimaks, usai. Dari beberapa laporan sementara yang terpercaya, publik sudah tahu siapa yang terpilih dan tak terpilih. Sekalipun pengumuman resmi berkekuatan hukum belum dikeluarkan KPUD Kabupaten Tasikmalaya. Tentunya menjadi harapan kita bersama, bahwa siapapun yang ditetapkan mejadi Bupati dan Wakil Bupati, adalah orang yang benar-benar amanah dan memiliki jiwa sebagai negarawan dan ia bukan sekedar politisi. Karena jelas ada perbedaan antara negarawan dan politisi. Sebagaimana dikemukakan oleh James Freeman Clarke (1810-1888), penulis dan pakar teologi asal Amerika, bahwa seorang negarawan itu lebih berpikir tentang bagaimana nasib generasi mendatang, sementara politisi hanya berpikir bagaimana memenangkan pemilu yang akan datang.
Di atas itu semua, hal yang sesungguhnya paling penting adalah semoga pilkada yang telah kita laksanakan, jangan sampai menjadi pemicu perpecahan dan rusaknya tatanan persatuan dan persaudaraan di tengah-tengah masyarakat. Islam menganjurkan kita untuk berpikir tentang pentingnya jam’iyah (kebersamaan/persatuan) ketimbang hanya memikirkan kepentingan jama’ah (kelompok) saja.
Butuh persatuan
Kita semua harus mengakui bahwa dalam pilkada kita tidak ada urusan aturan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipertikaikan, apalagi yang menyangkut dengan aqidah, Politik bukan urusan tentang benar atau salah yang perlu diperjuangkan dengan konflik dan saling menjatohkan, tapi hanya persoalan kepentingan. Politik itu ranahnya muamalah, bukan akidah, perbedaan pilihan dalam pilkada hanyalah sebuah debat yang beradab yang disajikan kepada rakyat tentang bagaimana membangun daerah yang kita cintai dengan berbagai pilihan yang tersedia. Rakyat telah meberikan sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Karenanya, ketika semua kontestan menyatakan berjuang untuk rakyat, mereka juga harus mendengarkan keinginan mayoritas rakyat yang butuh persatuan. Para mantan kandidat yang kalah mengucapkan selamat kepada lawannya yang terpilih, sungguh itu sikap yang sangat terpuji dan mulia. Rakyat kini menanti para pemimpinnya menunjukkan tanda-tanda dimulainya proses pemulihan dari sesama yang bertanding yang akan berlanjut dengan pemulihan diantara pendukung yang pernah terbelah. Tidak hanya mereka yang bertarung, elite daerah, termasuk para ulama Tasikmalaya, baik yang ikut dan rajin meramaikan, ataupun tidak meramaikan pilkada, juga berkewajiban menyampaikan pesan persatuan kepada rakyat, jama’ah, dan santrinya.
Manusiawi bagi yang menang merasa gembira dan pantas pula merayakan kebahagian bersama orang-orang yang telah berkontribusi untuk kemenangan mereka. Bagi yang belum menang, adalah wajar pula jika mereka merasa kalah dan kecewa. Pilkada, memang bukan permainan sepakbola, tetapi ada kearifan yang kita dapat ambil dari permainan itu. Bola kaki adalah sebuah permainan, setiap pihak menyebut pihak lain sebagai lawan bukan musuh. Kata lawan hanya berlaku dalam lapangan, ketika permainan selesai, mereka kembali jadi pemain bola, dan tidak jarang menjadi kawan yang baik. Sebaliknya, tidak ada istilah musuh dalam permainan. Kalaupun disebut musuh bebuyutan itu tidak lebih dari sebuah istilah menggambarkan betapa permainan kedua tim itu dalam periode menang-kalah yang tak pernah berhenti dalam setiap musim pertandingan.
Bagi yang menang, adalah tidak terpuji jika merasa jumawa terlalu lama, dan bagi yang kalah juga salah kalau merasa dunia telah kiamat. Keduanya harus sangat yakin ada kehidupan yang masih panjang setelah pilkada, baik bagi dirinya, maupun lawannya, apalagi rakyat yang telah memilih atau tidak memilih mereka. Rakyat pemilih yang telah terbelah selama hingar-bingarnya pilkada, jangan lagi dibiarkan dan dibuat capek dengan pertikaian elite politik. Kasihan energi mereka yang telah terkuras dalam beberapa bulan terakhir ini, diajak masuk ke dalam siklus kelelahan yang panjang tiada akhir. Seandainya ada kekeliruan yang tidak signifikan, saling memaafkan adalah jalan terbaik. Kalau merasa ada yang tidak dapat dimaafkan, konstitusi negara memberikan peluang menempuh jalur hukum. Ada tanggung jawab mereka yang bertarung menjadi pemimpin, untuk membangun budaya demokrasi, dan pasca pilkada adalah waktu yang tepat untuk membuktikannya. Rakyat telah cukup lama lelah dengan berbagai persoalan, dan ini adalah waktu yang sangat baik untuk menguburkan prinsip menang jadi arang, kalah jadi debu. Siapapun yang kalah maka jadilah kalah dengan terhormat. Dan siapapun yang menang maka jadilah menang dengan bermartabat.
Kabupaten Tasikmalaya butuh waktu sekitar beberapa tahun untuk dapat menyamakan tingkat kemiskinannya dengan rata-rata kemiskinan Nasional hari ini. Ada masih banyak ketertinggalan lain yang harus kita sadari. Peran sektor swasta dan investasi yang sangat rendah, ketimpangan kawasan pedesaan, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya pasilitas pelayanan kesehatan, pembangunan insfrastruktur yang belum merata, tata ruang wilayah yg belum tertata dan terbangun, pengagguran kaum muda yang tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang masih sangat rendah. Semua kelemahan itu menjadi tanggung jawab pemimpin yang terpilih dalam pilkada kali ini dan kerjasama masyarakat Tasikmalaya. Wa’llahu ‘alam
Komentar