KERAJAAN Tembong Agung adalah kerajaan yang berada di Tatar Pasundan, diperkirakan berdiri antara abad ke-8 sampai ke-14 dan bisa dikatakan sebagai cikal bakal dari Kerajaan Sumedang Larang. Melalui pemberian mahkota yang diberi nama Binokasih yang diberikan melalui empat maha patih atau Kandaga Lante sekitar tahun 1579 M secara historis Kerajaan Sumedang Larang mendapatkan legitimasi, pengakuan dan juga wewenang dari Kerajaan Pajajaran sebagai salah-satu penerusnya.
Dalam catatan sejarah Tatar Sunda terdapat nama Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Aji Putih di Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja.
Salah satu peninggalan sejarah dari Kerajaan Tembong Agung adalah Situs Kapunduhan yang berada di Kampung Cipeundeuy, Desa Sukaratu, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, dalam situs ini terdapat makam dari Prabu Aji Putih yang disebut sebagai pendiri dari KerajaanTembong Agung.
Menurut kisah dari Abas Wibawa yang menjadi kuncen atau juru kunci dari makam di Situs Kapunduhan sejak tahun 1995.
Makam dari Prabu Aji Putih ini dikenal sebagai makam Embah Ratu Wulung. Dikisahkan ada seorang resi keturunan Galuh yang datang ke daerah Cipaku, Darmaraja, Sumedang yang berada di pinggiran sungai Cimanuk. Kehadiran Resi yang bernama Prabu Guru Aji Putih ini, membawa perubahan-perubahan dalam tata kehidupan masyarakat setempat. Dan Kerajaan Tembong Agung didirikan di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja, Sumedang..
* Kisah Prabu Tajimalela
Berdasarkan data sejarah Prabu Guru Aji Putih memiliki putra bernama Prabu Tajimalela. Menurut kropak 410, Prabu Tajimalela hidup sejaman dengan Ragamulya (1340 – 1350) penguasa Kawali dan tokoh Suradewata, ayah dari Batara Gunung Bitung Majalengka. Prabu Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka.
Menurut cerita rakyat, Prabu Tajimalela sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, dan juga peternakan yang dipusatkan di daerah Paniis Cieunteung serta perikanan di Pengerucuk, Situraja, Sumedang..
Pada masa kekuasaan Prabu Tajimalela pernah pernah terjadi pemberontakan di daerah sekitar Gunung Cakrabuana , pemberontakan itu dilakukan oleh Gagak Sangkur.
Terjadilah perang sengit antara tentara Gagak Sangkur dengan Prabu Tajimalela dengan kemenangan di pihak Prabu Tajimalela dan Gagak Sangkur dapat ditaklukan.
Gagak Sangkur kemudian menyatakan ingin mengabdi kepada Prabu Tajimalela dan dilantik menjadi patih. Untuk lebih menyempurnakan ilmunya Prabu Tajimalela kemudian pergi meninggalkan keratonnya untuk melakukan tapabrata, agar memperoleh petunjuk dan kekuatan dari Yang Kuasa, yang dikiaskan dalam ungkapan :
Sideku sinuku tunggal mapat pancadria,
diamparan boeh rarang, lelembutan ngajorang
alam awang-awang, ngungsi angkeuhan nu
can katimu.
Pada saat itulah Prabu Rajamalela tiba-tiba mengucapkan kata : Insun Medal Mandangan yang kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang hingga abad ke- 21.
Takhta Kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh Prabu Gajah Agung, yang berkedudukan di pinggir kali Cipeles dengan gelar Prabu Pagulingan sehingga daerah tersebut saat ini dikenal sebagai nama Ciguling yang termasuk wilayah Kecamatan Sumedang Selatan.
Prabu Pagulingan kemudian digantikan oleh putranya dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling memiliki putri bernama Ratnasih alias Nyi Rajamantri yang diperistri oleh Raja Sri Baduga Maharaja dan yang menggantikan Sunan Guling adalah adik dari Ratu Ratnasih bernama Mertalaya sebagai penguasa ke-4 dari Sumedang Larang yang juga bergelar Sunan Guling.
Sunan Guling Martalaya digantikan putranya Tirta Kusumah yang dikenal dengan nama Sunan Patuakan. Selanjutnya digantikan oleh adiknya Sintawati atau lebih dikenal dengan nama Nyi Mas Patuakan. Ratu Sintawati ini berjodoh dengan Sunan Gorenda, Raja Talaga putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya, putra Dea Biskala. Dengan demikian ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Gorenda ini mempunyai dua istri yang bernama : Mayangsari Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang.
Dari Sintawati, putri sulung Sunan Guling ini, Sunan Gorenda dikaruniai seorang putri yang bernama Setyasih, yang kemudian bergelar Ratu Pucuk Umum.
Ratu Pucuk Umum menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri putra Pangeran Palakaran, putra Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Setelah perkawinan Ratu Setyasih dengan Pangeran Santri inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang.
Dari perkawinan dengan Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umum atau yang dikenal dengan nama Ratu Intan Dewata dikaruniai 6 orang putra, yang salah satunya adalah Raden Angkawijaya, yang kemudian hari bergelar Prabu Guesan Ulun. Pada tanggal 14 Syafar Tahun Jim Akhir Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh) akibat dari serangan laskar gabungan Islam, yaitu : laskar dari Banten, Pangkungwati dan Angka.
Runtuhnya Kerajaan Pajajaran waktu itu tidak membuat Kerajaan Sumedang juga ikut runtuh, karena sebagai masyarakat Sumedang pada waktu itu sudah memeluk Islam.
Dengan berakhirnya Kerajaan Pajajaran, justru Sumedang Larang makin berkembang menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.
Sebelum Prabu Siliwangi pergi meninggalkan Kerajaan Pajajaran, ia mengutus empat orang Kandagalante atau empat senopatinya yang bernama : Jayaperkasa, Sanghyang Hawu, Terong Peot, dan Nangganan, menyerahkan sebuah amanat kepada Prabu Geusan Ulun
di Sumedang Larang. Mahkota Binokasih dan atribut dari Kerajaan Pajajaran juga dibawa oleh Senapati Jayaperkasa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun yang merupakan tanda legalitas kebesaran Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran.
Prabu Geusan Ulun dinobatkan pada tanggal 22 April 1578 menjadi Raja Sumedang Larang terakhir, karena setelah itu Sumedang Larang berada di bawah naungan kerajaan Mataram.
Pangeran Aria Suriadiwangsa sebagai penerus Geusan Ulun, putra dari Ratu Harisbaya dan Panembahan Ratu I.
Pangeran Aria Suriadiwangsa pada tahun 1620 berangkat ke Mataram, dan menyatakan bahwa Sumedang Larang berada dibawah naungan Mataram.
Berdasarkan Piagam Sultan Agung Mataram, daerah yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Pajajaran yang diwariskan ke kepada Kerajaan Sumedang Larang disebut Prayangan.
Dengan demikian Sumedang Larang terkenal dengan nama “Priangan” yang artinya berserah dengan hati yang suci. Kedudukan penguasa Sumedang Larang kemudian menjadi Bupati Wedana.
#Kisah Prabu Guru Aji Putih
Di ceritakan ada seorang resi keturunan Galuh datang dan bermukim di pinggiran sungai Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja yang disebut juga daerah Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang dan kemudian pindah ke kampung Muhara Leuwihideung di Kecamatan Darmaraja.
Resi ini bernama Prabu Guru Aji Putih yang merupakan putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun dari Galuh.
Prabu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di kampung Muhara Leuwi hideug pada saat tanggal 14 bulan Muharam.
Bangunan keratonnya terbuat dari kayu, gaya atap julang ngapak menghadap ke alun-alun.
Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Ratu Inten Dewi Nawang Wulan yang saat itu terkenal dengan kecantikannya dan kepandaiannya dalam benyanyi (nembang). Prabu Guru Aji Putih melamarnya dengan membawa lima lembar sirih hitam dan tusuk konde.
Buah perkawinan Aji Putih dan Dewi Nawang Wulan ini lahir : Bratakusumah, Sokawayana, Harisdarma dan Langlangbuana.
Menurut kisahnya Prabu Guru Aji Putih ini kemudian masuk agama Islam dan mendirikan masjid yang diberi nama Masigit dan juga membuat tempat wudlu di tujuh titik sumber mata air diantaranya adalah di Cikajaya, Cikahuripan, Cisundajaya dan Cilemahtama.
Setelah itu ia melanjutkan perjuangan ayahnya Resi Agung di Padepokan Cipeueut yang kemudian berganti nama menjadi Cipaku
Prabu Guru Aji Putih dimakamkan di Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.
Kisah Prabu Guru Aji Putih ini ada kemiripan dengan kisah Raja Tajimalela, yaitu mengenai kisahnya keinginannya mencari ilmu dan meninggalkan keratonnya.(***