Oleh : Acep Sutrisna
Di sebuah toko kecil di pinggir jalan, Pak Arif mengeluh sambil menghitung uang receh yang tersisa di dompetnya. “Harga barang terus naik. PPN 12% ini rasanya seperti tambahan beban yang tak pernah hilang,” keluhnya. Namun, apakah benar Pak Arif satu-satunya yang menanggung semua beban itu? Mari kita bedah.
Bayangkan sebuah perjalanan barang dari pabrik hingga ke tangan konsumen. Pada titik awal, pabrik menjual produknya ke distributor dengan harga dasar Rp 5.000. Tentu saja, pabrik harus menambahkan 12% Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sehingga totalnya menjadi Rp 5.600. Distributor pun membeli barang itu dengan harga jual pabrik Rp 10.000 (sudah termasuk margin laba), dan membayar Rp 1.200 sebagai PPN kepada negara.
Ketika distributor menjual barang ke toko, harga naik lagi menjadi Rp 16.800, sudah termasuk margin laba dan PPN sebelumnya. Distributor menambahkan PPN sebesar 12% lagi (Rp 2.016), sehingga toko harus membayar Rp 18.816.
Akhirnya, toko menjual barang tersebut ke konsumen seperti Pak Arif dengan harga dasar Rp 20.160. Tentu saja, toko menambahkan PPN 12% (dibulatkan menjadi Rp 2.420), sehingga total harga menjadi Rp 22.580. Di sinilah Pak Arif, sebagai konsumen akhir, membayar total PPN yang terkumpul di sepanjang rantai distribusi tersebut.
Fakta yang Terlupakan: Nilai Tambah atau Beban Tambah?
Dalam setiap tahap perjalanan barang, setiap pelaku rantai distribusi—pabrik, distributor, toko—hanya membayar PPN atas nilai tambah yang mereka buat. Sebagai contoh, distributor hanya membayar PPN atas selisih antara harga beli (Rp 10.000) dan harga jual ke toko (Rp 16.800). Begitu pula toko, yang membayar PPN atas margin laba mereka. Namun, semua PPN ini akhirnya terakumulasi dan menjadi beban penuh yang dibayar oleh konsumen akhir.
Bagi Pak Arif, PPN ini terasa seperti beban yang tak adil. “Kenapa saya yang harus menanggung semua PPN dari awal hingga akhir?” tanyanya dengan nada frustrasi. Di sinilah peran penting edukasi dan transparansi perpajakan bagi masyarakat.
Apa Makna PPN bagi Negara dan Rakyat?
Pemerintah berdalih, PPN adalah salah satu sumber pendapatan negara yang signifikan, digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan. Namun, di sisi lain, PPN sering kali dianggap regresif karena konsumen dengan penghasilan rendah, seperti Pak Arif, merasakan dampaknya lebih besar secara proporsional terhadap pendapatannya.
Ketika harga barang naik akibat PPN, daya beli masyarakat menurun, dan ekonomi kecil seperti toko-toko tradisional pun bisa terkena dampaknya. Dalam labirin sistem ini, siapa yang benar-benar untung? Negara mendapat pajak, pelaku usaha mendapatkan laba, tapi konsumen seperti Pak Arif tetap menjadi pihak yang memikul beban terakhir.
Membuka Ruang Diskusi untuk Sistem Pajak yang Lebih Adil
Cerita Pak Arif adalah gambaran nyata dari apa yang dirasakan banyak masyarakat. Meski PPN adalah kebutuhan negara, sudah saatnya pemerintah membuka ruang diskusi untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Misalnya, dengan memberikan insentif pajak untuk barang kebutuhan pokok atau menyesuaikan tarif PPN berdasarkan kemampuan ekonomi konsumen.
Pada akhirnya, sistem perpajakan bukan hanya soal angka-angka di atas kertas, tetapi juga tentang bagaimana keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, termasuk Pak Arif dan keluarganya.
Bagaimana menurut Anda? Apakah sistem ini sudah cukup adil, atau perlu ada perubahan signifikan? Mari kita suarakan bersama.(***
Komentar