oleh

Menjadi Guru di Masa Pandemi Covid-19

 

Oleh : Yaya Nirwana, S. Pd. (SDN Babakan Goyang-Kota Tasikmalaya)  

WABAH pandemi covid-19 sudah hampir 11 bulan melanda Indonesia, semua sendi kehidupan dibuat limbung, tidak terkecuali sendi pendidikan, sejak diumumkan sekolah ditutup tanggal 16 Maret 2020, sampai hari ini sekolah belum kembali dibuka.

Penutupan sekolah tentu saja menimbulkan kebingungan, sekolah ditutup tepat pada saat sekolah sedang menyiapkan kegiatan akhir tahun, Bulan Maret adalah bulan sedang gencar-gencarnya guru memberikan penguatan materi, terutama pada siswa kelas VI SD, IX SMP dan XII SMA, apa daya semua harus terhenti di tengah jalan, saat itu semua masih berharap pandemi tidak lama, bahkan ada yang memperrkirakan sekolah ditutup hanya 2 minggu, tetapi ternyata pandemi tidak juga reda, sampai mau genap 1 tahun, belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir.

Menyikapi situasi ini, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud, bergerak cepat, mereka paham akan kebingungan guru dan siswa, Kemendikbud melalui TVRI memberikan siaran berisi panduan belajar dari rumah, selain itu guru melalui grup WA dengan siswanya memberikan materi dan tugas secara online, semua itu dapat sedikit mengobati kebingungan mengenai kegiatan belajar.

Seiring waktu, adanya pandemi membuat semua orang berpikir, untuk menyiasati keadaan, maka muncullah kelas-kelas online, google classroom, edmodo dan lain-lain, semua memberikan fasilitas pembelajaran melalui media online, guru dan siswa tidak perlu lagi tatap muka di sekolah, siswa dan guru terhubung secara online, dan pembelajaranpun dapat dilaksanakan secara maya. Maka dikenallah istilah pembelajaran jarak jauh (PJJ), dan Belajar Dari Rumah (BDR).

Tetapi apakah permasalahan selesai ? Ternyata tidak, bahkan bermunculan masalah-masalah baru, pembelajaran jarak jauh, atau pembelajaran online membutuhkan perangkat-perangkat pintar, paling tidak HP android. Yang paling umum dilakukan oleh guru adalah memanfaatkan media WathsApp (WA), karena saat ini, banyak anak atau minimal dalam keluarga memiliki HP android, dan terhubung pada aplikasi WA, bahkan sebelum adanya pandemi rata-rata guru dan siswa memiliki grup WA. Hal ini dimanfaatkan oleh guru untuk membuka kegiatan BDR. Materi-materi dikirim dalam bentuk video, tautan link atau buku panduan format PDF, begitu juga dengan tugas, siswa dan guru saling berkirim melalui grup WA. Permasalahan muncul, karena tidak semua anak memiliki perangkat pendukung BDR, selain itu beban biaya pembelian kuota yang meningkat, dianggap menambah beban berat ekonomi keluarga, mekipun Kemedikbud sudah memebrikan kuota gratis, tetapi dengan beebpara kendala, belum seluruhnya dapat dinikmati. Tetapi persoalan lama selalu terulang, sikap anak yang sulit diatur, mereka lebih banyak menggunakan HP untuk permainan online, memutar vdeo, ketimbang untuk kegiatan belajar.

Dengan segala keterbatasan, sekilas tampaknya permsalahan BDR dapat diatasi, tetapi masalah lain muncul, banyaknya keluhan dari orang tua dan guru itu sendiri menjadi masalah baru. Guru mengeluhkan bahwa pembelajaran menjadi sangat terbatas, keterbatasan guru dalam penyampaian materi menjadi ‘keresahan” tersendiri buat mereka, keadaan ini mengusik nurani sebagai seorang guru, “kenikmatan dan kekhusuan”  mengajar dan mendidik, seakan hilang, tetapi sebagai insan terdidik, guru cukup memahami keadaan ini, mesekipun terasa sangat berat, mereka ikhlas, guru sangat paham, sekolah ditutup demi keselamatan bersama. Masalah juga datang dari pihak orang tua, situasi BDR mau tidak mau memerlukan lebih banyak campur tangan orang tua. Tidak semua orang tua mampu menjadi guru, tidak semua dari mereka bisa dengan sabar dan telaten, layaknya seorang guru sedang mengajar anak-anaknya, kesibukan mereka di rumah atau tempat kerja, membuat BDR dianggap  menambah beban mereka, Belum lagi keterbatasan pemahaman terhadap materi, akibatnya seringkali anak dan orang tua terlibat perselisihan dan pertengkaran, dari situasi yang lucu sampai tegangpun tecipta. Situasi-situasi ini mengkristal menjadi keluhan dan kerseahan orang tua. Keluhan-keluhan disampaikan beragam, dari yang halus sampai yang keras, dari yang wajar, sampai tidak wajar, ada juga yang lucu, tapi tidak sedikit membuat miris..

Keresahan-keresahan orang tuapun disambut oleh para netizen,dengan sigap,  mereka membuat opini berupa testimoni, status, meme, dan video yang menyindir kegiatan BDR, dan kebijakan penutupan sekolah. Dari kata-kata, gambar dan tanyangan yang lucu, sinis, kasar bahkan umpatan, mereka meyerang guru, sekolah dan pemerintah, intinya mereka merasa resah dengan keadaan dan meminta sekolah segera di buka supaya anak-anak mereka kembali bersekolah, mereka menganggap keadaan “aman-aman” saja, mereka menyepelekan kenyataan tanpa peduli angka-angka korban yang terus meningkat. Postingan-postinagn tersebut muncul di media sosial, tidak terkecuali di grup-grup WA, orang-orang dengan mudah membagikan postingan-postingan tersebut tanpa peduli, isi dan dampak yang ditimbulkan.

Bagaimana sikap guru mengenai hal ini ? Sayangnya, justru banyak guru yang seakan terbawa suasana. Inilah yang menimbulkan keprihatinan. Banyak dari guru justru ikut membagikan postingan-postingan tersebut, tujuannya mungkin membagikan keprihatinan akan keadaan, kelucuan, atau membagikan ketidak berdayaan mereka. Manusiawi memang, tetapi apabila direnungkan lebih jauh, postingan-postingan tersebut seperti menyudutkan possisi guru itu sendiri. Terus bagaimana seharusnya guru bersikap ? Guru harus menunjukkan jati diri di tengah pandemi ini, guru harus menjawab testimoni, status, meme, video tentang BDR yang seolah memojokkan guru. Miris apabila menerima postingan-postingan tersebut di grup WA guru, seakan mereka sedang memojokkan dan menertawakan dirinya sendiri. Alangkah baiknya bila guru membalas postingan-psotingan tersebut dengan psotingan-postingan yang berisi pemahaman tentang kondisi sulit saat ini, meskipun guru tidak tahu siapa dan darimana asal postingan tersebut, tapi paling tidak, akan banyak psotingan-postingan sehat mencerahkan mengenai posisi guru. Hal paling minimal yang dapat dilakukan guru, adalah tidak menyebarkan postingan  negatif yang memojokkan guru itu seniri.

Sejatinya sebagai seorang pendidik dan manusia intelektual, guru harus dapat meyakinkan kepada masyarakat, di satu sisi guru memiliki keprihatinan dan keresahan yang sama dengan para orang tua, tetapi di sisi lain, guru adalah kepanjangan tangan dari pemerintah, Guru perlu memberikan pemahaman-pemahaman positif kepada orang tua, kebijakan menutup sekolah adalah kebijakan terbaik bagi siswa, dan satu hal yang paling penting, meskipun tidak seefektif belajar di sekolah, di manapun anak berada, anak tetap memperoleh haknya mendapatkan pendidikan, bagaimanapun situasinya, guru selalui siap untuk itu. Untuk menunjukkan sikap seperti itu, maka banjirilah FB, grup WA, Instagram dan media sosial lainnya, dengan postingan-postingan postif, dokumentasi-dokumentasi, video-video berisi kegiatan-kegiatan BDR. Melalui postingan-postingan yang postif dari guru tadi, guru dapat menunjukkan posisi sebenarnya, masyarkat harus tahu, guru terus melaksanakan tugasnya di tengah pandemi ini. Postingan-postingan guru juga dapat mengimbangi postingan-postingan negatif tentang BDR. Lebih jauh, guru harus “mendidik” masyarakat, untuk membiasakan mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi, mayarakat harus dewasa dan sadar, bahwa menetawakan, mengolok-ngolok dan marah, tidak dapat menyelesaikan masalah. Pastikan postingan-postingan negatif tentang BDR terhenti di tangan guru, balaslah dengan postingan-postingan postif tentang guru dan BDR. Berskiaplah layaknya seorang guru, guru yang dewasa berpikir dan bersikap,  di dunia nyata maupun di dunia maya. (***