oleh

Metode Istinbath Hukum Persatuan Islam (PERSIS)

Oleh: Dian Rahmat N,SHI,M.Sy (Pasca Sarjana UIN  Sunan Gunung Djati Bandung)

Abstrak

Perbedaan adalah hal yang yang wajar sebgai bentuk aktualisasi pemikiran akala seseorang yang senantiasa berpikir dinamis terutama dalam permasalahn yang bersipat ijtihadi , begitupun  organisasi Islam Persatuan Islam yang kaya dengan hasanah keilmuan di dalamnya yang berkontribusi untuk kemajuan Islam dan Negara sangat kaya pemikirannya  dengan banyak menghasilkan  banyak digunakan di kalangan umat Islam itu sendiri metode penelitian adalah Desktiftip kualitatif  dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan (library reseach ) dengan pendekatan analisis sumber sumber kepustakaan melalui buku ,jurnal dan artikel lain yang  dapat dipertanggungjawabkan dan  Analisa data melalui tahap memilihan, sampai pada menyimpulkan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui Persatuan Islam dalam melakukan Istinbat hukumnya nya dan metode dalam menafsirkan sumber hukum nya yang dijadikan pegangan nya . Bagi Persis yang memiliki semangat pemurnian ajaran, al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber primer. al-Qur’an memiliki aspek dilalah hukm. Karena itu hukum yang diturunkan dari dilalah al-hukm dapat diyakini kebenerannya. Dalam ilmu ushul fiqh, turunan hukum dari dilalah al-hukm dapat digali dengan empat pendekatan ibarah al-nas, isharah al-nas, dalalah al-nas, dan iqtida’ alnas.Selain al-Qur’an, Persis juga mendasarkan hukum pada hadith. Hal itu dikarenakan hadith merupakan tafsir al-Qur’an yang paling otentik kebenarannya.

Kata Kunci : Istinbatul ahkam, Persis, Metode

  1. PENDAHULUAN

Manusia adalah mahluk ciptaan Alloh SWT  yang di ciptakan oleh Alloh dengan segala kesempurnaannya namun meski tercipta dari jenis yang sama tapi dibekali pancaindra yang dinamakan akal yang terntunya dalam penggunaanya berbeda sehingga menghasilkan pendapat yang berbeda beda oleh karena itu sebagai petunjuk dan pegangan Alloh SWT  memberikan arahannya yang termaktub dalam Al Qur’an yang berbunyi 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Meski di lahirkan dari bentuk yang sama dan asla yang sama tapi semakin berkembang umat manusia semakin besar juga terlihat ada perbedaan baik akibat faktor gentika  dan lain sebagainya sehingga berkembang pula pemikirannya , semakin menjadi kaya lah hasanah keilmuan umat manusia  juga debabkan berbagai hal yang menyertainya , sehinnga Islam pada hususnya kaya dalam ilmu pengetahuan hususnya dalam bidang piqihnya

Namun dengan  berbeda pendapat ini  ada golongan yang bijaksanana dalam pengamalanya da nada pula golongan yang tidak bih=jak dan justru fanatic, memaksakan dan bahkan pmenentang pendapat yang tidak sesuai dngan yang diketahuinya dan adap[ula yang bijak yang ada pada golongan cendekiawan golongan itu yang menyatakan bahwa perbedaan adalah hal biasa dalam masalah ijtihadi ini dan justru memperkuatv Islam karena kaya dengan pemeikiran cendekiawanya

Menurut penulis berpendapat bahwa perbedaan adalah untuk di jadikan sebagai ibroh bahwasanya ilmu Alloh sangatlah luas dan kita hanya sedikit saja memilikinya , pengetahuan terus berkembang dan kita tidak bisa  menutup diri dari hal itu , perbedaan adalah akibat berdea dari sebgi mendapatkannya dibebkan manusia yang cenderung berbeda pula cara berpikirnya ada yang dari hal kecil ke hal besar  atau bottom up dan  ada pula  top the bottom 

Dan tujuan penelitian ini adalah bagaimana Persis melakukan istinbat hukumnya  Dan metode yang di pakainya juga pedoman lainnya juga sekilas sejarahnya , Oleh karena itu makalah ini sedikit membahas tentang bagai mana metode istibatul ahkam organsasi keagamaan Persatuan Islam  ( PERSIS) atau metode yang digunakan dan juga hal lain yang dianggap perlu di bahas dalamseputar persatuan islam ini yang terkadang bagi yang belum memahami jadi bahan perselisihan

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian adalah Desktiftip kualitatif  dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan (library reseach ) dengan pendekatan analisis sumber sumber kepustakaan melalui buku ,jurnal dan artikel lain yang  dapat dipertanggungjawabkan

  1. Dewan Hisbah Persis dalam Lintasan Sejarah

Semula, institusi fatwa ini tidak bernama Dewan Hisbah, tetapi bernama Majlis Ulama Persis (Majlis Ulama Persatuan Islam berdiri melalui Muktamar PERSIS ke VI tanggal 15-18 Desember 1956 di Bandung), namun di kemudian hari, lembaga ini dirubah namanya menjadi Dewan Hisbah. Perubahan ini terkait dengan kondisi internal dan eksternal Persatuan Islam sebagai ormas Islam dalam perjalanan sejarahnya. Perubahan nama ini dilakukan merupakan hasil keputusan Muktamar ke VIII Persis tahun 1967 di Bangil Jawa Timur. Majlis Ulama untuk pertama kalinya dipimpin oleh A. Hasan. Setelah berganti nama dengan Dewan Hisbah, maka yang memimpin adalah Abdul Qadir Hasan karena waktu itu A. Hasan telah wafat. Kemudian karena Abdul Qadir Hasan mengajukan pengunduran diri karena alasan kesehatan, maka digantikan oleh K.H. Abdurrahman. Setelah wafatnya Abdurrahman, jabatan ketua Dewan Hisbah dijabat oleh K.H. Abdullah. Pada Muktamar ke 10 di Garut Jawa Barat K.H. Abdullah diganti oleh K.H.E. Sar’an.[1]

Penggantian nama tersebut di atas tentu diharapkan lebih memaksimalkan peran dan fungsi lembaga fatwa itu bagi organisasi dalam menjalankan fungsinya. Dengan cara demikian, fungsi ulama yang sebelumnya hanya melakukan, pembahasan, pengkajian serta melahirkan pemikiran keagamaan, diperluas dengan melakukan kontrol terutama terhadap fungsionaris PP Persis berserta anggota jam’iyahnya di samping menjawab persoalan persoalan keagamaan yang berkembang.

Lembaga Dewan Hisbah adalah salah satu lembaga dalam Jam’iyah PERSIS yang merupakan salah satu realisasi dari pasal 36 Qanun Dakhili. Berdasarkan Qanun itu, Dewan Hisbah merupakan dewan pertimbangan dan pengkaji hal-hal yang berhubungan dengan syar’iyah yang dibentuk oleh pusat pimpinan. Kedudukan Dewan Hisbah dalam PERSIS sangat strategis oleh karena di dalamnya berkumpul ulama-ulama sebagai warats al-ambiya, oleh karena itu, Dewan Hisbah mi menjadi penyangga keberlangsungan PERSIS sebagai organisasi Islam modernis. Untuk lebih jelasnya, perhatikan rumusan tugas Dewan Hisbah seperti dirumuskan dalam Qanun Asasi: (1) Meneliti hukum-hukum Islam. (2) Menyusun petunjuk pelaksanakaan ibadah bagi anggota jam’iyah. (3) Mengawasi pelaksaan hukum Islam. (4) memberikan teguran kepada anggota Persatuan Islam yang melakukan pelanggaran hukum melalui Pimpinan Pusat.[2]

  • Pedoman Istinbath Hukum Dewan Hisbah Persis

Dalam memahami al-Quran, Dewan Hisbah menggunakan pedoman istimbat sebagai berikut:

  1. Mendahulukan dhahir ayat dari takwil dalam masalah I’tiqadiyah.
  2. Menerima dan meyakini isi kandungan al-Quran sekalipun nampak bertentangan dengan akal dan adat.
  3. Mendahulukan makna hakiki dari makna mqjazi kecuali ada qarinah.
  4. Mendahulukan al-Quran dari hadis bila terjadi pertentangan.
  5. Menerima adanya nasikh dalam al-Quran.
  6. Menerima tafsir dari para sahabat dalam memahami al-Quran.
  7. Mengutamakan tafsir bit maktsur dari tafsir bil ra ‘yi.
  8. Menerima hadis sebagai bayan al-quran, kecuali telah digunakan sighat hasr.[3]
  9. Metodologi Istinbath Hukum Dewan Hisbah Persis

Dalam terminologi ushul fiqh, sumber hukum Islam itu ada yang disepakati di kalangan ulama dan adapula yang diperselisihkan. Yang disepakati oleh kalangan ulama ushul adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan yang diperselisihkan adalah istihsan, mashlahah mursalah, urf, dan lain sebagainya. Dari kesemunya sumber hukum tersebut, al-Qur’an merupakan sumber dari segalanya. Bagi Persis yang memiliki semangat pemurnian ajaran, al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber primer. al-Qur’an memiliki aspek dilalah hukm. Karena itu hukum yang diturunkan dari dilalah al-hukm dapat diyakini kebenerannya. Dalam ilmu ushul fiqh, turunan hukum dari dilalah al-hukm dapat digali dengan empat pendekatan ibarah al-nas, isharah al-nas, dalalah al-nas, dan iqtida’ alnas.

Selain al-Qur’an, Persis juga mendasarkan hukum pada hadith. Hal itu dikarenakan hadith merupakan tafsir al-Qur’an yang paling otentik kebenarannya. Karena itu tafsiran-tafsiran yang berlandaskan pada rasional semata harus dikalahkan dengan al-hadith. Persoalannya adalah bagaimana untuk dapat memahami al-Qur’an dan al- Sunnah secara benar? Menurut Persis seseorang tidak akan dapat menafsirkan al-Qur’an dengan benar kecuali mencari penjelasan dari al-Qur’an atau al-Hadits. Guna mencari penjelasan tafsir dari al-Qur’an atau al-Hadits, salah satu tokoh Dewan Hisbah memperbolehkan penggunaan metode interpretasi teks yang berkembang dalam ushul fiqh, meskipun tidak keseluruhan.[4]

Adapun dalam menghadapi masalahmasalah yang tidak diketemukan nashnya yang tegas (sarih) dalam al-Qur’an dan al-Hadits, ditempuh dengan cara ijtihad jama’i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:

  1. Tidak menerima ijma’ secara mutlak dalam urusan ibadah kecuali ijma>’ sahabat
  2. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdah, sedangkan dalam masalah ibadah gair mahdah, qiyas diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.
  3. Dalam memecahkan ta’arud al-‘adillah diupayakan dengan cara: (1) Tariqah al-jam’i, selama masih mungkin dijam’u; (2) Tariqah al-tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, misalnya: mendahulukan al-muthbit daripada al-nafi, mendahulukan hadith-hadith riwayat sahihain daripada di luar sahihain, dalam masalah-masalah tertentu, hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim lebih didahulukan daripada riwayat Imam Bukhari, seperti dalam hal pernikahan Nabi dengan Maemunah, meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya; (3) Tariqah al-naskh, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian.
  4. Dalam membahas masalah ijtihad Dewan Hisbah menggunakan kaidah-kaidah ushul al-fiqh dan kaidah al-fiqh sebagaimana lazimnya para Fuqaha.
  5. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah.[5]

Sejak awal didirikan, PERSIS merupakan jamaah/kelompok tadarrus yang prihatin dengan kondisi keberagamaan masyarakat pada saat itu yang tenggelam dalam berbagai bid’ah, syirik, dan munkara>t lainnya. Oleh karena itu di bawah pimpinan H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus PERSIS menegaskan doktrin utamanya, yakni “Al-ruju>’ ila Al-Qur’a>n wa Al-Sunnah, danberperan aktif dalam menunaikan tugas tajdi>d dalam arti is}lahu Al-Isla>m, I’a>datu Al-Isla>m ila As}liha,  dan Iba>nah. Dalam merumuskan dan memutuskan hukum dibentuklah Dewan Hisbah Persatuan Islam, yang sebelumnya bernama Majlis Ulama Persis pada tanggal 15-18 Desember 1956 di Bandung[6].

Dewan Hisbah telah menentukan manhaj dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum dengan rumusan – rumusan sebagai berikut.[7]Asas utama adalah al-Qur’a>n dan al-Hadith yang s}ahih.

  1. Beristidlal dengan al-Qur’a>n

Adapun dalam beristidlâl dengan al-Qur’an ditempuh langkah–langkah berikut:

a.Mendahulukan zahi>r ayat al-Qur’an daripada ta’wi>l dan memilih cara-cara tafwi>d} dalam hal-hal yang menyangkut masalah i’ti-qa>diyah.
b.Menerima dan meyakini isi kandungan al-Qur’a>n sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqli dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Mi’raj.
c.Mendahulukan makna haqi>qi daripada makna maja>zi kecuali jika ada alasan (qari>nah), seperti kalimat: “Au la>mastum al-Nisa>’a” dengan pengertian bersetubuh.
d.Apabila ayat al-Qur’a>n bertentangan dengan al-Hadith, maka didahulukan ayat al-Qur’an sekalipun Hadith tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih, seperti dalam hal menghajikan orang lain.
e.Menerima adanya nasi>kh dalam al-Qur’an dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansu>kh (naskh al-kulli). Pernyatan ini ternyata senada dengan pendapat A. Hasan dalam Tafsir Al-Furqan>[8]. Ini menunjukkan bahwa betapa pengaruh pemikiran beliau masih sangat kuat di PERSIS.
f.Menerima tafsi>r  dari para  sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’a>n (tidak hanya penafsiran ahlu al-bait), dan mengambil penafsiran shahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para sahabat.
g.Mengutamakan tafsi>r bi al-Ma’tsu>r dari pada bi al-Ra’yi.
h.Menerima Hadith-hadith sebagai bayan terhadap al-Qur’an, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan s}ighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan.
  1. Beristidlal dengan al-Hadi>th[9]

Dalam beristidla>l dengan al-Hadi>th ditempuh langkah – langkah berkut.

a.Menggunakan Hadits shahi>h dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
b.Menerima Kaidah: Al-ahadi>thu al-d}a’i>fatu yaqwa ba’d}uha ba’d}an. Jika ked}a’i>fan Hadi>th tersebut dari segi hafalan perawi (d}abt}) dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau Hadi>ts lain yang s}ahi>h. Adapun jika ked}a’i>fan itu dari segi tertuduh dusta (fisq al-ra>wy), maka kaidah tersebut tidak dipakai.
c.Tidak menerima kaidah: Al-hadi>thu al-d}a’i>fu ya’malu fî fada>i al-‘amali. Karena yang menunjukkan fad}ai al-‘amal dalam Hadi>th s}ahi>h pun cukup banyak.
d.Menerima Hadi>th s}ahi>h sebagai tasyrî’ yang mandiri, sekalipun bukan merupakan bayan dari al-Qur’an.
e.Menerima Hadi>th Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas Hadi>th tersebut s}ahi>h.
f.Hadi>th Mursal S{ah}a>bi dan Mauqu>f bi Hukm al-Marfu>’ dipakai sebagai hujah selama sanad Hadi>th tersebut s}ahi>h dan tidak bertentangan dengan Hadi>th  lain yang s}ahi>h.
g.Hadi>th Mursal Tabî’i dijadikan hujah apabila Hadi>th tersebut disertai qarînah yang menunjukkan ketersambungan sanad (ittis}al) Hadi>th tersebut.
h.Menerima kaidah: Al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta’dîl dengan ketentuan sebagai berikut:  1) Jika yang men-jarh menjelaskan jarh nya (mubayyan al-sabab), maka jarh didahulukan daripada ta’di>l.  2) Jika yang men jarh} tidak menjelaskan sebab jarh}-nya, maka ta’di>l didahulukan dari pada jarh}.  3) Bila yang menjarh} tidak menjelaskan sebab jarh} nya, tapi tidak adaa seorangpun yang menyatakan thiqa>t, maka jarh} nya bisa diterima.
i.Menerima kaidah tentang shahabat: Al-s}aha>batu kuluhum ‘udul.
j.Riwayat orang yang suka melakukan tadli>s diterima, jika menerangkan bahwa apa yang riwayatkannya itu jelas shighat tahamulnya menunjukkan ittis}al, seperti menggunakan kata: haddathani.

Adapun dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak diketemukan nashnya yang tegas (sharîh) dalam al-Qur’an dan al-Hadi>th, ditempuh dengan cara ijtihâd jama’i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut: 

a.Tidak menerima ijmâ’ secara mutlak dalam urusan ibadah kecuali ijm’a’ shahabat.
b.Tidak menerima qiya>s dalam masalah ibadah mah}d}ah, sedangkan dalam masalah ibadah ghair mah}d}ah, qiya>s diterima selama memenuhi persyaratan qiya>s.
c.Dalam memecahkan ta’a>rud} al-‘adilah diupayakan dengan cara: 1) Thari>qat al-jam’i, selama masih mungkin dijam’u. 2) T{ari>qah al-tarji>h, dari berbagai sudut dan seginya, misalnya: a) Mendahulukan al-Muthbit daripada al-Na>fi. b) Mendahulukan Hadi>th -Hadi>th riwayat s}ahi>hain daripada di luar s}ahi>hain. c) Dalam masalah-masalah tertentu, Hadi>th yang diriwayatkan oleh muslim lebih didahulukan daripada riwayat Bukhâri, seperti dalam hal pernikahan Nabi dengan Maemunah. c) Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hakum bid}’ah lebih didahlukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya. 3) Thari>qat al-Naskh, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian.
d.Dalam membahas masalah ijtihad Dewan Hisbah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya para Fuqaha. Seperti praktik mengartikan bahasa Hadi>th, tidak merubah arti kalimat yang asal kepada arti yang lain kecuali kalau ada qari>nah yang memungkinkan berubah arti, sebagaimana kaidah Us}u>l Fiqh menyatakan: اَلنَّبَادُرُ عَلاَمَةُ الْحَقِيْقَةِ “Kalimat yang lekas terpaham itulah tanda arti yang sebenarnya“. Kalau ditemukan kalimat: “jalasa“, itu artinya duduk. Di mana saja kalimat itu ada tetap artinya duduk, jangan berubah arti kecuali kalau ada qari>nah yang mengharuskan rubah pada arti yang lain. Demikian pula mengartikan Hadi>th -Hadi>th Rasul dan yang lainnya.
e.Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madhhab, tapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’a>n dan al-Sunnah.

Adapun dalam menyelesaikan nas – nas yang tampak bertentangan, ditempuh langkah –langkah sebagai berikut.[10]

  1. T{ari>qah al-Jam’i[11]
  2. T{ari>qah al-Tarjih[12]}
  3. T{{ari>qah al-Naskh[13]
  4. T{ariqah al-Tawaqquf[14]
  5. Ijtihad atas masalah yang tidak ada nas}

Bila tidak ada nas, baik al-Qur’a>n maupun Hadith, metode istinbat} dilakukan melaluii} ijtihad. Adapun dalam praktiknya dilakukan ijtihad jama’I (Ijma’) Dewaan Hisbah dengan rumusan sebagai berikut.[15]

  1. Tidak menerima ijma secara mutlak, kecuali ijma sahabat atau ijma’ lain yang dasarnya nas qat}’i;
  2. Tidak menerima qiyas dalam ibadah mahd}ah dan menerima qiyas dalam masalah ghair mahd}ah;
  3. Dalam memecahkan masalah yang memiliki dalil yang sama–sama ikut ditempuh: t}ari>qah al-Jam’i, t}ari>qah al- Tarji>h, t}ariqah al – naskh, dan t}ariqah al-Tawaqquf;
  4. Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan kesunnahannya;
  5. Dalam membahas ijtihad Dewan Hisbah menggunakan kaidah – kaidah us}uliyah dan kaidah – kaidah fiqhiyah;
  6. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madhhab, dan
  7. Dewan Hisbah menggunakan pula kaidah – kaidah: istih}san, maslahat mursalah, sad al-dha>ri’ah, istishab, syar’u man qablana>, dan ‘urf.

Metode lift}inbat di atas menunjukkan bahwa PERSIS sebagai organisasi pembaharu, yang menularkan semangat tajdid kembali kepada Al-Qur’a>n dan Hadith. Kecenderungan memahami dan menafsirkan Al-Quran dan Hadith lebih mengarah kepada kontekstual, namun dalam aspek akidah lebih tekstual. Hal ini mengingat akidah lebih berdimensi i>maniyah dibandingkan  dimensi aqliyah. Bahkan dikatakan bahwa tidak ada toleransi dalam urusan Akidah.

  • Aplikasi Istinbath Dewan Hisbah Persis

Dalam melakukan pembahasan ibadah, para ulama Hisbah Persis memperlihatkan konsistensi semangat puritanismenya. Mereka dengan kokoh mempertahankan ciri-ciri tradisionalisme mereka, dengan senantiasa memperlihatkan al-Sunnah, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan Nabi SAW. Misalnya terkait bacaan-bacaan shalawat dalam tasyahud, mereka berfatwa, bahwa bacaan shalawat harus dibaca, baik dalam tasyahud awal maupun tasyahud akhir. Kesimpulan ini mereka ambil dengan menggunakan metode anaslisis ‘ibarah alnash (dalam istilah Hanafiyah) atau manthuq al-sharih (dalam istilah Syafi’iyah), yakni mengambil makna hukum sesuai ungkapan lafadz teks ajaran, yang dikemukakan dalam hadits Nabi Saw. riwayat ‘Aisyah, karena ‘Aisyah diasumsikan sebagai orang yang paling tahu tentang kebiasaan Rasulullah Saw. daripada para shahabat lainnya. Di samping bahwa hadits ‘Aisyah tersebut juga didukung oleh hadits lain yang dikemukakan oleh Fudhalah, sebagai teguran Rasulullah terhadap sahabatnya yang mempercepat shalatnya dengan meninggalkan bacaan shalawat dalam tasyahud-nya itu.

Kecenderungan yang sama juga terlihat ketika mereka membahas tentang jama’ shalat bagi orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Di lihat dari segi kepergiannya ke tanah suci, mereka tergolong musafir uang memperoleh keringanan untuk men-jama’ semua shalatnya. Namun khusus untuk hari tarwiyah di Mina, mereka berpendirian lebih utama tidak di-jama’, karena Rasulullah sendiri tidak men-jama’ shalatnya pada hari itu. Di samping itu mereka juga menggunakan metode analisis ‘am dan khash, khususnya ketika satu perbuatan hukum dikemukakan dengan dua pernyataan ajaran yang berbeda. Yang satu berbentuk umum dan yang lainnya berbentuk khusus. Seperti kebolehan mengqashar shalat dalam perjalanan haji. Secara umum, perjalanan haji termasuk dalam kategori safar yang memperbolehkan setiap muslim untuk meng-qashar atau men-jama’ shalatnya, karena terjangkau oleh keumuman ayat ke 101 surat al-Nisa’. Akan tetapi, pada hari Tarwiyah ini, merupakan keadaan khusus, dan berlaku khusus pula.

Sejalan dengan itu, maka para Ulama Hisbah mengemukakan fatwa, bahwa men-jama’ atau meng-qashar shalat dapat dilakukan dalam semua bentuk safar, termasuk dalam safar untuk ibadah haji. Namun pada hari Tarwiyah di Mina, mereka memfatwakan lebih baik tidak dijama’, sesuai dengan contoh yang diberikan Rasululllah Saw. Inilah aplikasi metode analisis ‘am dan khash yang dilakukan para ulama Hisbah Persis, dalam kajian-kajian pada tema-tema ubudiah murni. Kemudian dari itu, mereka juga menggunakan metode pemahaman istidlal yang diperkenalkan oleh Ibnu Hazm al- Andalusi, sebagai implikasi dari kritiknya terhadap penggunaan qiyas. Sebagaimana Ibnu Hazm al-Andalusi, para ulama Hisbah Persis juga menolak penggunaan qiyas dalam kajian tema-tema ibadah. Oleh sebab itu, ketika mengkaji soal pengembangan sumber-sumber zakat, yang menurut mereka termasuk kategori ibadah semata, para ulama Hisbah tidak menggunakan metode qiyas, dan sebaliknya menggunakan metode istidlal, sehingga sejauh berbagai jenis penghasilan itu terjangkau oleh ke-dalalah-an lafadz yang menyatakan jenis-jenis penghasilan wajib zakat, maka mereka terapkan hukum yang sama dengan yang ditunjuk lafadz, karena dalam pandangannya, lafadz tersebut secara substantif menjangkau berbagai jenis penghasilan tersebut.[16]

Jika dalam fiqh ibadah, ulama Dewan Hisbah cenderung tektual, ini terjadi sebaliknya dalam konteks-konteks tertentu mereka berfikir sangat rasional, seperti dalam fatwanya tentang kriteria ‘amil zakat yang memperlihatkan dimensi kemashlalahatan, sehingga dituntut kapabelitas, loyalitas, serta integritas keagamaan untuk menjamin kejujuran mereka. Demikian pula, dengan fatwa mereka tentang program Keluarga Berencana (KB), bayi tabung, transplantasi serta pelayanan jasa asuransi yang terhindar dari unsur spekulasi, dengan metode analsis istihsan dan mashlahah mursalah atau sad serta fathu al-dzari’ah. Dalam pandangan ulama Dewan Hisbah umat Islam dibolehkan untuk mengikuti program KB dengan dasar ayat ke 9 dari surat al-nisa’, yang dilihat dari segi ungkapannya menyatakan, bahwa setiap manusia hendaknya khawatir jika anak dan keturunan umatnya itu ditinggalkan dalam keadaan lemah, kurang potensial dan tidak sanggup mengembangkan hidup serta kehidupannya. Para ulama Hisbah memahami, bahwa ayat ini disamping mengemukakan pesan di atas, juga mengisyaratkan agar umat Islam melakukan langkah-langkah agar dapat membentuk generasi yang lebih baik, sehingga siap untuk ditinggalkan orang tuanya dalam keadaan yang lebih baik. Langkah yang saat ini dapat dilakukan adalah program KB dalam konotasi pengaturan jarak kelahiran. Dengan demikian menurut mereka, mengikuti program KB adalah sesuai dengan yang diisyarahkan ayat ke 9 surah al- Nisa tersebut.

Masih dalam pembahasan tema program KB, mereka juga menggunakan metode analisis ‘amar dan nahi, yakni perintah dan larangan. Metode pemahaman tersebut mereka gunakan antara lain ketika melakukan kajian posisi hukum dari pelaksanaan program KB. Dari hasil kajiannya itu, mereka menyimpulkan, bahwa KB dalam pengertian membatasi kelahiran hukum haram, karena bertentangan dengan hadits Anas yang memerintahkan umat Islam untuk menikah dengan wanita yang dicintainya serta memiliki kesuburan yang diperkirakan dapat melahirkan anak. Sesuai dengan kaidah amar mereka menyimpulkan, bahwa menikah dengan perempuan yang dicintai serta memiliki tingkat fertilitas yang diperkirakan dapat melahirkan keturunan, hukumnya wajib. Dan seiring dengan itu pula, maka upaya untuk membatasi kelahiran anak, hukumnya haram. Demikian pula ketika mereka menetapkan ke-haram-an hukum bunga bank yang dikembalikan pada ayat 275 dari surat al-Baqarah yang dikemukakan dengan lafadz harrama, yang bermakna haram, atau larangan dengan pembebanan yang mengikat. Mereka menyimpulkan, bahwa pengambilan keuntungan dengan cara pembebanan pembayaran bunga kepada para kreditur, hukumnya haram. Kesimpulan tersebut mereka tetapkan dengan metode analisis qiyas, yakni mengqiyas-kan pembebanan pembayaran bunga kepada kreditur yang ditetapkan saat terjadi akad pinjam meminjam, sama halnya dengan tradisi nasiah dalam sistem perekonomian Arab Jahiliyah, yang telah diharamkan oleh Allah melalui salah satu firman-Nya pada surah al Baqarah ayat ke-275.

Sementara metode analisis isttihsan mereka gunakan antara lain dalam pembahasan tema mu’amalah sub tema penggunaan jasa teknologi bayi tabung untuk melakukan konsepsi di luar rahim. Mereka menyimpulkan bahwa upaya melakukan konsepsi di luar rahim dengan menggunakan pelayanan jasa teknologi bayi tabung tersebut, hukumnya ibahah, dengan dasar hadits Nabi Saw, yang memerintahkan kepada Anas untuk melakukan upaya reproduksi, dengan merencanakan keserupaan jenis kelamin anak pada salah satu kedua orang tuanya melalui cara-cara yang natural. Bila dilihat kesamaan antara prosedur serta tujuan penggunaan pelayanan bayi tabung untuk melakukan konsepsi dalam tabung, dengan upaya mencari kesamaan anak dengan salah satu dari keduanya melalui pengaturan dalam hubungan sexualnya, sangat lemah, karena bayi tabung dilakukan untuk melakukan konsepsi di luar rahim, akibat kerusakankerusakan anatomis pada wanita, sementara hadits Anas menceritakan upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh bayi sesuai dengan yang diinginkan keduanya. Dengan demikian, tingkat kesamaan antara keduanya, terbatas pada upaya-upaya manusia untuk dapat melahirkan keturunan. Oleh sebab itu, kesamaan substantif antara keduanya, termasuk dalam kategori kesamaan “lemah”, sehingga qiyas yang dilakukan itu juga termasuk dalam kategori qiyas lemah (khafi). Namun tetap mereka tempuh untuk melakukan pembenaran terhadap penggunaan jasa teknologi bayi tabung, yang membawa kebaikan (istihsan) bagi kehidupan manusia.[17]

  • PENAFSIRAN PERSATUAN ISLAM; TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

Disebut pendekatan tekstual karena ia menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (pristine sources) dalam Islam, terutama al-Qur’an dan Hadits. Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain al-Qur’an dan Hadits, kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan `ulama’ besar Muslim terdahulu dan kontemporer.

Secara etimologis, tekstual berasal dari kata benda bahasa Inggeris “text”, yang berarti isi, bunyi, dan gambar-gambar dalam sebuah buku[18]. Secara terminologis, pemahaman tekstual adalah pemahaman yang berorientasi pada teks dalam dirinya[19]. Oleh karena itu, lewat pendekatan ini, wahyu dipahami melalui pendekatan kebahasaan, tanpa melihat latar sosio-historis, kapan dan di mana wahyu itu diturunkan.

Kontekstual, secara etimologis, berasal dari kata benda bahasa Inggeris “context”, yang berarti “suasana”, “keadaan”[20].. Dalam penjelasan lain disebutkan ia berarti; pertama, “bagian dari teks atau pernyataan yang meliputi kata atau bagian tertulis tertentu yang menentukan maknanya; dan kedua, situasi di mana suatu peristiwa terjadi”. Kontekstual, berarti sesuatu yang berkaitan dengan atau bergantung pada konteks. Jadi, pemahaman kontekstual adalah pemahaman yang didasarkan bukan hanya pada pendekatan kebahasaan, tetapi juga teks dipahami melalui situasi dan kondisi ketika teks itu muncul, dalam hal ini “wahyu”.

Namun, menurut Gusmian, metode kontekstual yang masih dalam taraf memperhatikan latar sosio-historis ketika wahyu diturunkan, baru dapat disebut sebagai metode pemahaman tekstual-reflektif. Analisisnya, biasanya cenderung bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). Muaranya, masih bersifat kearaban, sehingga pengalaman lokal bagi seorang mufasir berada tidak menempati posisi yang signifikan atau bahkan sama sekali tidak punya peran. Baginya, metode kontekstual, adalah metode selain berorientasi pada konteks suatu teks, juga berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) teks Alquran.

Sejalan dengan Gusmian, Noeng Muhadjir memaparkan bahwa kontekstual sedikitnya mengandung tiga pengertian: (1) upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional; (2) pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang; di mana sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis dulu, makna fungsional saat ini, dan memprediksikan makna (yang dianggap relevan) di kemudian hari; dan (3) Mendudukkan keterkaitan antara teks al Qur’an dan terapannya[21].

Dalam makalah ini akan dipaparkan sampel fatwa Dewan Hisbah PERSIS, di bidang mu’a>malah sebagai berikut.

  1. Masalah menutup aurat bagi perempuan

Kesimpulan fatwa: Menutup aurat bagi perempuan seluruh tubuh, kecuali muka dan tangan. Cadar tidak diwajibkan karena termasuk urusan duniawi, bukan urusan ta’abbudi atau termasuk adat kebiasaan daerah tertentu.[22]

Adapun langkah – langkah yang ditempuh adalah

  1. Beristidlal dengan al-Qur’a>n

Dalil perintah menutup aurat bagi perempuan adalah surah al-Nu>r ayat 31[23] dan surah al-Ahza>b ayat 59[24]. Pada pembahasan dalil ini, Dewan Hisbah memulai analisis dari sebab turunya ayat.

Adapun sebab turunnya surah al-Nu>r ayat 3, pada masa itu perempuan menutupi kepala mereka dengan kerudung – kerudung, yaitu mukena, mereka turunkan dari belakang punggung. Al-Nuqa>s berkata, “Sebagaimana dilakukan oleh jelita, maka tersisalah leher, tengkuk, dan telinga tanpa penutup.” Lalu Allah swt. agar kerudung menutupi sampai dada.[25]

Dalil berikutnya adalah hadith yang diriwayatkan dari Aisyah, “Semoga Allah merahmati perempuan – perempuan muhajira>t, pertama ketikaturun ayat, ‘dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung – kerudung mereka pada dada – dada mereka’ mereka potong – potong kain mereka dan mereka berkerudung dengan kain itu.[26]

Sementara, sebab turun surah al-Ah}za>b ayat 59 adalah kaum fasik menggangu perempuan yang keluar pada malam hari. Apabila mereka melihat perempuan yang mengenakan kerudung, mereka tidak menggangunya. Kata mereka, “Ini perempuan merdeka”, tetapi apabila melihat perempuan tanpa kerudung mereka berkata, “Hamba sahaya”. Lalu turunlah ayat ini.[27]

  • Beristidlal dengan Hadith

Adapun dalil yang berasal dari hadith tentang menutup aurat, di waantaranya\:

  1. Dari Aisyah bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Allah tidak akan menerima salat perempuan yang sudah haid tanpa khimar  (kerudung)[28]
  2. Dari Ummu Salamah bahwa ia bertanya kepada Nabi saw., “Apakah apakah perempuan salat dengan baju dan kain tanpa terpisah (ke bawah)?’ Beliau menjawab, ‘Silahkan bila pakaiannya menutup sampai pada kedua tumitnya’”.[29]

Selanjutnya, setalah beristidla>l dengan al-Qur’a>n dan Hadith, Dewan hisbah melakukan kajian terhadap penafsiran mufas}s}ir terhadap dua ayat di atas dan melakukan analisis hadith – hadith yang berkaitan dengannya, baik dari aspek sanad maupun matan.

  1. Masalah Bayi Tabung[30]

Istinbat} Dewan Hisbah mengenai bayi tabung dalam siding tanggal 18 Ramadhan 1410 H/14 April 1990 M sebagai berikut.[31]

  1. Proses bayi tabung dengan spermatozoid dari suami dan ovumnya dari isterinya kemudian ditanam dalam Rahim isterinya karena alas an yang ma’qul hukumnya muba>h (boleh);
  2. Proses bayi tabung dengan spermatozoid dari suami dan ovumnya dari isterinya kemudian ditanam bukan dalam rahim isterinya itu, hukumnya haram (terlarang); dan
  3. Proses bayi tabung dengan spermatozoid dan ovum bukan dari pasangan suami isteri, hukumnya haram (terlarang).

Langkah – langkah yang ditempuh:

  1. Beristidla>l dengan al-Qur’a>n
  2. Yang berkaitan dengan istinbat} a: Q.S. Al-Ru>m 21, Al-Nahl 72, al-T{a>riq 5-7, Al-Baqarah 223, Al-Muja>dala 2, Luqma>n 14, Al-Nahl 78, dan al-Zumar 6.
  3. Yang berkaitan dengan istinbat} b dan c: surah al-Mu’minu>n 1-7,   
  4. Beristidla>l dengan Hadith
  5. Yang berkaitan dengan istinbat} a

Dari Aisyah berkata, “Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Sesungguhnya yang terbaik dari yang kalian makan dari kasab kalian. Dan sesungguhnya anak – anak kalian adalah dari kasab kalian’”[32]

  • Yang berkaitan dengan istinbat} b dan c.
  • Tidak halal bagi seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mnyiramkan air ke tanaman orang lain.[33]
  • Tidak ada dosa setelah syirik kepada Allah swt. yang lebih besar dosanya selain air mani yang ditempatkan seorang laki – laki pada Rahim yang tidak halal baginya.
  1. Masalah Asuransi[34]

Dewan Hisbah tanggal 20 Ramad}an 1410 H/15 April 1990 M memutuskan:[35]

  1. Asuransi yang mengandung usnsur – unsur: maisir, riba, gharar, ghash yang menyalahi Islam, hukumnya haram.
  2. Asuransi yang berifat ta’a>wuni yang tidak mengandung unsur – unsur yang tersebut oada diktum satu di atas adalah boleh (muba>h).

Langkah – langkah istinbat}:

  1. Beristidla>l dengan al-Qur’a>n Q.S. Al-Ma’a>rij 19-23, Al-Baqarah 188,
  2. Beristidla>l dengan Hadith
  3. Dari Urwah bahwasannya Aisyah mengabarkan kepadanya, “Sesungguhnya Barirah datang kepadanya meminta tolong untuk menunaikan ‘muka>tabahnya’
  4. Rasulullah saw. melarang jual beli buah pada tangkainya (untung – untungan, kempalangan), jual beli buah belum nyta matangnya…[36]
  5. Kalian jangan memberikan ruqba (yaitu memberikan sesuatu dengan syarat bila aku mati lebih dulu mutlak menjadi milikmu dan bila kamu mati lebih dulu barng kembali kepadaku) dan memberi sesuatu dengan syarat selama hidup (orang) yang diberi.[37]
  6. PENUTUP

Kesimpulan

Bagi Persis yang memiliki semangat pemurnian ajaran, al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber primer. al-Qur’an memiliki aspek dilalah hukm. Karena itu hukum yang diturunkan dari dilalah al-hukm dapat diyakini kebenerannya. Dalam ilmu ushul fiqh, turunan hukum dari dilalah al-hukm dapat digali dengan empat pendekatan ibarah al-nas, isharah al-nas, dalalah al-nas, dan iqtida’ alnas.

Selain al-Qur’an, Persis juga mendasarkan hukum pada hadith. Hal itu dikarenakan hadith merupakan tafsir al-Qur’an yang paling otentik kebenarannya. Karena itu tafsiran-tafsiran yang berlandaskan pada rasional semata harus dikalahkan dengan al-hadith. Persoalannya adalah bagaimana untuk dapat memahami al-Qur’an dan al- Sunnah secara benar? Menurut Persis seseorang tidak akan dapat menafsirkan al-Qur’an dengan benar kecuali mencari penjelasan dari al-Qur’an atau al-Hadits. Guna mencari penjelasan tafsir dari al-Qur’an atau al-Hadits, salah satu tokoh Dewan Hisbah memperbolehkan penggunaan metode interpretasi teks yang berkembang dalam ushul fiqh, meskipun tidak keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

PP. PERSIS, Tasykil PP PERSIS Periode 1990-1995 (Garut: Tanpa Penerbit, 1990).

Rosyadi, Imron “Metode Penetapan Hukum Dewan Hisbah Persis”. JurnalSUHUF, Vol. 19, No. 2 (Nopember 2007). 127-136

Tasliyah, Nihayatut “Dewan Hisbah Sebagai Lembaga Otoritas Keagamaan Persis”. Jurnal Istidlal, Vol.2, No. 1 (April 2018). 48-59.

Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah tentang Mu’a>malah (Masalah – Masalah Kontemporer) (Bandung: Persis Press, 2013), 201.

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung Persada press, 2007), 58.

Nihayatut Tasliyah “Dewan Hisbah Sebagai Lembaga Otoritas Keagamaan Persis”. Jurnal Istidlal, Vol.2, No. 1 (April 2018). 57-58

[1] Jhon. M. Echols. dan Shadilly Hasan. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia, 1993), 585.

[1] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2003), 248.

[1] Jhon. M. Echols. dan Shadilly Hasan. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia, 1993), 143.

[1] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2003), 58.

A. Hasan.  Al-Furqa>n fi> Tafsi>ri Al-Qur’a>n (Surabaya: Al-Ikhwan, 1375H), xxx-xxi.

[1] Dewan Hisbah Persatuan Islam, T{uruq al-Istinbat{ Dewan Hisbah Persatuan Islam (Bandung: Persis Press,2007), 66-71

PP. PERSIS, Tasykil PP PERSIS Periode 1990-1995 (Garut: Tanpa Penerbit, 1990). 181

[1] Imron Rosyadi “Metode Penetapan Hukum Dewan Hisbah Persis”. JurnalSUHUF, Vol. 19, No. 2 (Nopember 2007). 131.


[1] PP. PERSIS, Tasykil PP PERSIS Periode 1990-1995 (Garut: Tanpa Penerbit, 1990). 6

[2] PP. PERSIS, Tasykil PP PERSIS Periode 1990-1995 (Garut: Tanpa Penerbit, 1990). 181

[3] Imron Rosyadi “Metode Penetapan Hukum Dewan Hisbah Persis”. JurnalSUHUF, Vol. 19, No. 2 (Nopember 2007). 131.

[4] Nihayatut Tasliyah “Dewan Hisbah Sebagai Lembaga Otoritas Keagamaan Persis”. Jurnal Istidlal, Vol.2, No. 1 (April 2018). 52

[5] Nihayatut Tasliyah “Dewan Hisbah Sebagai Lembaga Otoritas Keagamaan Persis”. Jurnal Istidlal, Vol.2, No. 1 (April 2018). 55

[6]Shiddiq Amien dkk, Panduan Hidup Berjamaah di Jam’iyyah PERSIS (Bandung: PERSIS, 2014), 179.

[7] Dewan Hisbah Persatuan Islam, T{uruq al-Istinbat{ Dewan Hisbah Persatuan Islam (Bandung: Persis Press,v2007), 66-71.

[8] A. Hasan.  Al-Furqa>n fi> Tafsi>ri Al-Qur’a>n (Surabaya: Al-Ikhwan, 1375H), xxx-xxi.

[9] Dewan Hisbah Persatuan Islam, T{uruq al-Istinbat{ Dewan Hisbah Persatuan Islam (Bandung: Persis Press,2007), 66-71

[10] Dewan Hisbah Persatuan Islam, T{uruq al-Istinbat{ Dewan Hisbah Persatuan Islam (Bandung: Persis Press,2007), 46-58.

[11] {T{ari>qah al-Jam’i merupakan metode menggabungkan dua dalil yang tampak bertentangan sehingga kedua – duanya bisa dipakai dan diamalkan dengan didaptkan makna yang berserasian. Adapun syaratnya kedua dalil yang akan digabungkan itu mesti sama sama s}ah}ih

[12] T{ari>qah al-Tarjih merupakan metode atau upaya menyelesaikan dua hadith yang tampak bertentangan dengan cara menelaah mana yang lebih kuat dari sisi sanad, matan, kuantitas perawi, dan lainnya yang sejenis.

[13] T{{ari>qah al-Naskh merupakan metode atau cara menyelesaikan nas yang tampak bertentangan dengan jalan menggugurkan salah satu dari dua dalil, apabila diketahui tarikhnya mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian. Metode ini ditempuh apabila  T{ari>qah al-Jam’i dan T{ari>qah al-Tarjih tidak memungkinkan untuk ditempuh.

[14] T{ariqah al-Tawaqquf merupakan metode atau cara menyelesaikan nas yang bertentangan dengan cara menangguhkan  penyelesaian atau keputusan akhir dari dua dalil yang tampak bertentangan karena sulit ditempuh dengan ketiga metode sebelumnya.

[15] Dewan Hisbah Persatuan Islam, T{uruq al-Istinbat{ Dewan Hisbah Persatuan Islam (Bandung: Persis Press,2007), 69-71.

[16] Nihayatut Tasliyah “Dewan Hisbah Sebagai Lembaga Otoritas Keagamaan Persis”. Jurnal Istidlal, Vol.2, No. 1 (April 2018). 56

[17] Nihayatut Tasliyah “Dewan Hisbah Sebagai Lembaga Otoritas Keagamaan Persis”. Jurnal Istidlal, Vol.2, No. 1 (April 2018). 57-58

[18] Jhon. M. Echols. dan Shadilly Hasan. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia, 1993), 585.

[19] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2003), 248.

[20] Jhon. M. Echols. dan Shadilly Hasan. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia, 1993), 143.

[20] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2003), 58.

[21] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung Persada press, 2007), 58.

[22] Lihat hasil sidang ke10 Dewan Hisbah tanggal 6 Rabi>’u al-Thani 1415 H/12 September 1994 di Jakarta dalam Dewan Hisbah PERSIS, Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah tentang Mu’a>malah (Masalah – Masalah Kontemporer) (Bandung: Persis Press, 2013), 10.

[23] وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ …. ٣١  [سورة النّور,٣١]

[24] يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٥٩ [سورة الأحزاب,٥٩]

[25] Dewan Hisbah PERSIS, Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah tentang Mu’a>malah (Masalah – Masalah Kontemporer) (Bandung: Persis Press, 2013), 11.

[26] HR. Al-Bukhari

[27] Dewan Hisbah PERSIS, Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah tentang Mu’a>malah (Masalah – Masalah Kontemporer) (Bandung: Persis Press, 2013), 21.

[28] H.R. Al-Khamsah selain Nasa>i

[29] H.R. Abu Da>wud

[30] Tube baby (Bayi tabung) adalah bayi yang yang proses pembuahannya terjadi diluar tubuh manusia (invitro). Ovum yang diambil secara overatif dari ujung telur dipertemukan dengan spermatozoa dalam sebuah bejana yang didalamnya telah disediakan medium (jaringan dan lingkungan) yang mendukung terjadinya pembuahan sehingga zygote yang terbentuk dapat berkembang menjadi morula dan blastula. Kemudian bakal bayo dalam stadium blastula ini dinplantasikan dalam selaput lender Rahim wanita yang siap untuk ditanami kemudian bakal bayi tersebut tumbuh secara alami dalam Rahim wanita selama kehamilan kemudian dilahirkan.

[31] Dewan Hisbah PERSIS, Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah tentang Mu’a>malah (Masalah – Masalah Kontemporer) (Bandung: Persis Press, 2013), 58.

[32] H.R. Ahmad

[33] H.R. Abu Da>wud dan Tirmidhi

[34] Asuransi merupakan “pertanggungan” yang terjadi atas dasar persetujuan (syarat) antara pihak penanggung dan pihak tertanggung. Penanggung mengganti kerugian berdasarkan jumlah uang (premi) yang diberikan setiap bulan atau setahun sekali oleh pihak tertanggung. Bila si tertanggung menderita kerugian (resiko) disebabkan kerusakan atau kecelakaan atau tidak diperolehnya suatu keuntungan yang diharapkan yang mungkin terjadi sebagaimana tertulis dalam persetujuan (polis) yang ditandatangani bersama. Pertanggungan itu adalah perjanjian sebelah menyebelah (dua pihak) yang ditanggung wajib membayar premi dan menanggung wajib memberikan pembayaran kembali. Jika peristiwa yang tidak tentu (mungkin) terjadi itu suatu saat terjadi betul – betul. Jadi terdapat unsur spekulasi atau untung – untungan bertaruh atas sesuatu yang belum tentu. Asuransi semacan ini hukumnya haram. Lihat Usman solehuddin dalam Dewan Hisbah PERSIS, Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah tentang Mu’a>malah (Masalah – Masalah Kontemporer) (Bandung: Persis Press, 2013), 208.

[35] Dewan Hisbah PERSIS, Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah tentang Mu’a>malah (Masalah – Masalah Kontemporer) (Bandung: Persis Press, 2013), 201.

[36] H.R. Bukhari

 [37] H.R Abu Daud dan Nasa>i

Komentar