oleh

Naskah Sunda dan Anti Stunting Sebagai Referensi Literasi

Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S. (Dosen Filologi pada Departemen Sejarah dan Filologi ,Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)

APA itu stunting? Masyarakat di era millennial saat ini, mungkin sedikit banyak  sudah mengetahuinya. Meskipun barangkali tidak secara gamblang memahaminya. Apalagi bagi orang-orang yang tergolong ‘sepuh’, terutama di daerah-daerah pedesaan, yang sangat awam dengan istilah yang muncul kekinian. 

Andai kita menerawang ke masa lampau, khususnya pada saat naskah Sunda Kuno berbahan Lontar/gebang/nipah, beraksara dan berbahasa Sunda Kuno, yang ditulis atau disalin abad sejak abad XV & XVI Masehi ditemukan dan diteliti oleh para ahli naskah Sunda kuno, yang dimotori oleh para filolog senior, di antaranya Edi S. Ekadjati, Atja, Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Emuch Hermansoemantri (Alm), maupun sebagian ahli Sunda Kuno yang masih hidup, mereka tidak terkejut dengan istilah stunting dimaksud. Mengapa? Karena ‘penyakit’ yang disebut stunting  itu sudah diungkap dalam naskah, baik dalam naskah Sunda Kuno (Bihari), Klasik/Peralihan (Kamari), maupun Masa Kini (Kiwari) sesuai dengan aksara dan bahasa yang digunakannya. Naskah-naskah tersebut ada beberapa yang mengungkap bagaimana cara dan tindakan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi penyakit tersebut. 

Apa itu naskah atau manuskrip? Masyarakat awam juga mungkin belum bahkan tidak memahami istilah dimaksud,  sehingga isi atau kearifan lokal yang terungkap di dalamnya pun tidak diketahui. Padahal, banyak kearifan lokal budaya Sunda masa lampau yang  terpendam dalam naskah, yang sedikitnya bermanfaat untuk mengungkap  tonggak bagi kehidupan masyarakat Sunda masa silam, dan masih bisa diimplementasikan di era millennial saat ini. Bisa dimaklumi, karena untuk mengungkap isi/teks sebuah naskah, seorang pengkaji naskah harus memahami dan mahir akan aksara, bahasa, bahan, dan budaya secara umum, di mana naskah itu ditulis/berasal. Itu sebabnya, informasi tentang stunting yang terpendam dalam manuskrip tidak banyak ditetahui.     

Sejatinya, keabstrakan sebuah teks manuskrip, mampu dikaji agar isinya terkuak dan dipahami, terutama  yang ada kaitannya  dengan konsep perjalanan hidup manusia, selama dalam kandungan hingga remaja, sebagai pembentuk kepribadian dan karakter generasi muda Sunda khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, yang sehat dan kuat. Isi manuskrip tentang hal dimaksud,  sejalan dengan apa yang dikenal dengan  stunting, yang harus diantisipasi dan diupayakan disosialisasikan oleh pemerintah kepada masyarakat, khususnya kepada kaum Ibu dan calon ibu, sebagai garda terdepan mendidik dan mengasuh anak secara informal.

Naskah Sanghyang Titisjati Pralina, abad XVI Masehi, isinya sebagian besar mengungkap cara perawatan, pemeliharaan, dan penanggulangan anak sejak dalam kandungan hingga remaja,  agar kondisi di mana tinggi badan seorang ‘anak’ tidak pendek/gagal tumbuh kembang dibanding tinggi badan orang lain seusianya. Hal ini pun disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang diterima oleh janin/bayi dalam kandungan, hingga masa awal anak lahir. Ada beberapa naskah Sunda yang menjelaskan berkaitan dengam tahapan-tahapan kandungan, sesuai dengan setiap bulan yang dilalui oleh seorang ibu hamil,  yang disertai dengan adat dan tradisi. Misalnya, kapan ibu hamil harus dileles ‘dipijat’, harus minum dan makan berbagai macam ramuan toga.

Bagaimana pula menghadapi persalinan, dan saat menyusui. Bagaimana perawatan bayi sejak dilahirkan hingga menjelang remaja. Tahapan-tahapan masa kehamilan, melahirkan, dan merawat bayi melalui pemijatan ibu dan bayi sejak dilahirkan, pemanfaatan TOGA ketika bayi sakit, semua itu  diharapkan agar bayi/janin yang dikandung serta  ibu hamil sehat dan kuat, tidak kekurangan suatu apapun selama kehamilan dan saat dan sudah melahirkan, yang biasanya dibantu oleh seorang paraji ‘dukun beranak’.

            Antisipasi memelihara dan mengurus bayi/anak dalam manuskrip Sunda sudah diungkap. Upaya-upaya karuhun ‘nenek moyang’ untuk menghindari gejala terutama ‘stunting’ atau tindakan antistunting, terpendam dalam ‘teks naskah mantra pengobatan’. Hal ini dikarenakan bahwa adanya keterkaitan antara penyakit yang diderita dengan obat (TOGA), antara teks yang dibacakan dengan jenis  tanaman obat, fungsi, dosis, cara pengolahan,  dan tindak pengobatan untuk mengobati ibu & bayi, yang dilakukan, baik oleh paraji ‘dukun beranak’ maupun dukun ‘orang pintar’ (masih berlaku di Baduy) dan mungkin di sebagian masyarakat adat lainnya.

Teks-teks judul mantra pengobatan yang terkuak dalam manuskrip Mantra Pengobatan, di antaranya: Jampe Kakandungan, Jampé Tujuh Bulan, Ngajampé Nu Kakandungan, Jampé Orok Medal, Jampe Motong Tali Ari-Ari, Jampé  Ngaranan Orok,  Jampé  Kandungan nu  Elat  Lahir, Jampé Tampek,  Jampé Harééng, Jampé Meuseul Orok, Jampé Nyeri Beuteung, Jampé Ticengklak, Jampé Nyunatan, Jampé Nyébor Cacar, Jampé Cacingeun, Jampé  Nyapih Nyusu, Jampé Hurip Waras, Ruatan,  Marasan, Nincak Bumi, Jampé Tanginas tur Ludeungan, dll (Sumarlina, 2022; Sumarlina, dkk. 2023).

            Apapun yang terungkap dalam manuskrip Sunda berkaitan dengan pengetahuan  cara merawat, memelihara, dan menanggulangi anak sejak dalam kandungan hingga remaja,  diharapkan agar bayi sejak dalam kandungan, dilahirkan, hingga anak-anak dapat selamat dan sehat, terhindar dari stunting. Setidaknya  dapat menjadi  referensi literasi untuk generasi muda di zaman teknologi canggih saat ini, dalam upaya mengurus, membimbing, mendidik, mengasuh anak, agar  sehat dan kuat. Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi ilmu lain secara multidisiplin.(****

Komentar