oleh

Naskah Sunda Kuno dan Konsep Media Marshall McLuhan

Oleh: Rangga Saptya Mohamad Permana, S.I.Kom., M.I.Kom. (Dosen Tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran)

BISA dibilang, masyarakat yang berbudaya tinggi adalah masyarakat yang memiliki bahasa dan aksara sendiri. Bahasa benar-benar merupakan inti interaksi manusia. Bahasa memungkinkan kita untuk bertukar pandangan abstrak, memisahkan kita dari binatang dengan mengizinkan kita untuk mengatakan dan menuliskan ide yang abstrak. Jika dipandang dari perspektif komunikasi, sebuah naskah kuno adalah sarana perantara atau media untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa atau fenomena-fenomena yang terjadi di masa lampau, termasuk di dalamnya naskah Sunda kuno. Naskah Sunda kuno menjadi media transformasi budaya dari para leluhur kepada generasi-generasi selanjutnya. Sekali lagi, bahasa yang terkandung di dalam sebuah naskah kuno memegang peranan penting.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa arti “media” yaitu alat (sarana) komunikasi, seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk. Kemudian, “media massa” merupakan sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas. Namun, media tidaklah mesti bersifat massa, sebab secara historis, istilah “media” itu sendiri muncul dari sesuatu yang menjadi agen atau perantara dalam penyampaian pesan. Media pada dasarnya merupakan bentuk dari medium; yang dalam bahasa Inggris merupakan bentuk singular form dari media.

Marshall McLuhan dan Quentin Fiore menyatakan bahwa media dari sebuah era menentukan esensi dari sebuah masyarakat. Mereka mengemukakan empat era, atau zaman, dalam sejarah media, yang masing-masing berkaitan dengan cara komunikasi dominan dari zaman tersebut. Lebih jauh lagi, McLuhan menyatakan bahwa media bertindak sebagai perpanjangan dari indera manusia dalam tiap era. Keempat era tersebut adalah: (1) era tribal (tribal era), yaitu zaman ketika komunikasi lisan menjadi satu-satunya media komunikasi yang digunakan manusia; (2) era melek huruf (literate era), yaitu zaman ketika ditemukannya abjad dan komunikasi tulisan mulai digunakan; (3) era cetak (print era), yaitu zaman ketika ditemukannya mesin cetak sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi massa lewat penerbitan media massa cetak seperti buku, koran, hingga majalah; dan (4) era elektronik (electronic era), yaitu zaman ketika alat-alat elektronik ditemukan dan digunakan sebagai media untuk mendistribusikan pesan-pesan melalui telegraf, radio, dan televisi.

Menurut McLuhan, setiap media adalah perluasan manusia (the extensions of man). Perluasan manusia yang dimaksudkan di sini ialah meliputi baik psikis maupun seluruh indera atau organ yang dimiliki manusia. Roda adalah perluasan dari kaki, radio perluasan dari mulut dan telinga, tulisan perluasan dari mata, komputer perluasan dari sistem syaraf, dan sebagainya. Dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: The Extensions of Man, McLuhan memberi daftar dari bermacam-macam media, antara lain bilangan, pakaian, uang, telegraf, telepon, televisi, jalan, foto, mesin tik, permainan, film, radio, dan senapan.

McLuhan membagi media menjadi dua jenis, yaitu “media panas” (hot media) dan “media dingin” (cool media). Media panas adalah media yang tidak menuntut perhatian besar dari pendengar, pembaca, atau penonton (audiens) media bersangkutan. Menurut McLuhan, media panas merupakan komunikasi definisi tinggi (high-definition communication) yang menyediakan data sensoris lengkap yang dapat diterima indera manusia; dalam menggunakan media ini audiens tidak dituntut untuk menggunakan daya imajinasinya, atau dengan kata lain sangat sedikit sekali daya imajinasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, partisipasi audiens dalam media panas sangatlah rendah karena makna dari informasi yang diterima audiens sudah sangat lengkap dan jelas.

Di sisi lain, media dingin merupakan media definisi rendah yang membutuhkan partisipasi audiens yang cukup besar, dengan kata lain media dingin merupakan komunikasi definisi rendah yang menuntut partisipasi aktif dari penonton, pendengar, atau pembaca. Tidak banyak yang dapat diberikan media jenis ini kepada audiens, dan audiens harus memenuhi sendiri hal-hal yang tidak disediakan media dingin. Audiens harus menciptakan makna melalui inderanya dan secara imajinatif melibatkan dirinya.

Naskah Sunda kuno—yang di dalamnya memuat banyak sekali pengetahuan yang diwariskan oleh masyarakat Sunda zaman dahulu—termasuk ke dalam salah satu media komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan pesan maupun media transmisi informasi, sehingga pesan-pesan, amanat, nasihat, dan beragam ilmu pengetahuan dapat diketahui dan diamalkan oleh masyarakat Sunda zaman sekarang. Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda juga dapat lestari hingga kini berkat adanya naskah-naskah Sunda kuno.

            Jika kita memandang naskah-naskah Sunda kuno tersebut dari konsep media McLuhan, bisa dibilang naskah-naskah ini termasuk ke dalam salah satu fase sejarah media McLuhan, yakni literate era, di mana indera yang dominan digunakan adalah penglihatan. Dengan adanya aksara Sunda, serta media untuk mendokumentasikan informasi (daun lontar), pesan-pesan serta ilmu pengetahuan masyarakat Sunda zaman dahulu dapat tersampaikan melalui naskah-naskah Sunda kuno hasil produk dari para cendekiawan Sunda. Meskipun memang masyarakat Sunda zaman dahulu juga pasti lama mengalami tribal era, di mana pesan-pesan disampaikan secara lisan.

            Naskah-naskah Sunda kuno yang melewati tahap trasliterasi memang pada dasarnya membutuhkan pemaknaan mendalam dari para filolog (para ilmuwan aksara kuno), karena penulis dan pembaca terpisah dari teks di dalam naskah. Namun pada hakikatnya, pesan-pesan yang tersampaikan dalam naskah-naskah tersebut tetaplah sebuah informasi yang kaya akan khazanah ilmu pengetahuan.Naskah-naskah Sunda kuno ini juga berperan sebagai perluasan manusia, dengan kata lain, pembuat teks dalam naskah-naskah ini menggunakan teknologi berupa naskah untuk menyampaikan pesan-pesan yang berisi agama, bahasa, hukum atau aturan, kemasyarakatan, paririmbon, mitologi, pendidikan, pengetahuan, sastra, sastra sejarah, sejarah, dan seni. Hal ini sejalan dengan pernyataan McLuhan yang memandang penemuan teknologi sebagai hal yang sangat vital karena menjadi kepanjangan atau eksistensi dari kekuatan pengetahuan (kognitif) dan persepsi pikiran manusia.

Naskah-naskah Sunda kuno juga termasuk ke dalam media dingin (cool media) karena menuntut partisipasi aktif dari pembacanya. Para peneliti dan penggarap naskah-naskah Sunda kuno, dalam hal ini para filolog, melakukan beberapa proses sebelum bisa memaknai teks yang terkandung dalam naskah-naskah tersebut. Mulai dari tahap pemotretan naskah (dalam kondisi naskah masih asli, di mana aksara tertulis di atas daun lontar), menyalin naskah dari aksara Sunda/Jawa/Pegon ke dalam aksara alfabetis, sampai pada menerjemahkan teks dari bahasa Sunda kuno/Jawa Kuno ke dalam bahasa Sunda masa kini atau ke dalam bahasa Indonesia. Proses pembacaan naskah yang sudah ditransliterasi pun membutuhkan pemaknaan yang dalam, agar makna yang terkandung dalam naskah dapat dipahami dengan baik dan benar. Dengan kata lain, pembaca harus menciptakan makna melalui inderanya dan secara imajinatif melibatkan dirinya.

Kesimpulannya, naskah Sunda kuno yang secara umum di dalamnya berisi informasi-informasi mengenai agama, bahasa, hukum atau aturan, kemasyarakatan, paririmbon, mitologi, pendidikan, pengetahuan, sastra, sastra sejarah, sejarah, dan seni dapat dikatakan sebagai media komunikasi yang menyampaikan pesan dari penulis (para cendekiawan Sunda zaman dulu) kepada pembaca (masyarakat Sunda zaman sekarang). Jika ditinjau dari konsep media Marshall McLuhan, naskah Sunda kuno ini merupakan perluasan manusia (the extensions of man) sebagai sebuah upaya teknologis untuk mewujudkan kemampuan komunikasi. Naskah Sunda kuno yang dibuat pada masa literate era termasuk ke dalam media dingin (cool media) karena menuntut partisipasi aktif bagi pembacanya.

(***Rangga Saptya Mohamad Permana adalah dosen tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Program S-3 Film, Media, Communications and Journalism Monash University, Australia. Penulis biasa berkorespondensi melalui alamat email ranggasaptyamp@gmail.com.