Oleh: Acep Sutrisna, Tim Analis Gatra
KETIKA ruang publik dijadikan objek transaksi dan tanah negara dialihfungsikan untuk kepentingan segelintir pihak, maka keadilan sosial yang menjadi prinsip dasar hukum Indonesia tengah dipertaruhkan. Inilah realitas suram yang terjadi di kawasan pesisir Tangerang. Kawasan pantai yang semestinya menjadi hak semua orang, kini tercoreng dengan praktik penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang melanggar hukum.
Ketika kawasan pantai yang seharusnya menjadi ruang publik dialihfungsikan menjadi area privat dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), hak masyarakat untuk menikmati keindahan dan manfaat kawasan pesisir menjadi terancam. Fakta ini tidak hanya melukai keadilan sosial, tetapi juga melanggar berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pantai Adalah Milik Publik
Pantai merupakan bagian dari tanah negara yang fungsinya telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kawasan pesisir, termasuk sempadan pantai (100 meter dari titik pasang tertinggi), memiliki status sebagai tanah negara yang tidak dapat dimiliki secara pribadi.
Dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021, disebutkan bahwa kawasan sempadan pantai tidak dapat diberikan hak atas tanah, termasuk Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Mengingat pantai adalah ruang yang vital bagi masyarakat, kebijakan ini bertujuan melindungi hak publik untuk mengakses wilayah pesisir tanpa hambatan.
Mengapa HGB di Pantai Tidak Sah?
Hak Guna Bangunan (HGB) hanya dapat diterbitkan di atas tanah yang memiliki hak dasar, seperti Hak Milik atau Hak Pengelolaan (HPL). Pantai, sebagai bagian dari tanah negara, tidak memenuhi kriteria ini. Namun, penerbitan HGB tetap dimungkinkan untuk tujuan yang sesuai aturan, seperti izin usaha di kawasan pesisir, dengan syarat tetap menghormati batas sempadan pantai dan peraturan lingkungan.
Kasus di Tangerang: Tanda Tanya atas Integritas
Baru-baru ini, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid meminta maaf atas kegaduhan terkait penerbitan 263 SHGB di kawasan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang. Sertifikat ini diterbitkan atas nama beberapa perusahaan besar, di antaranya:
PT Intan Agung Makmur (234 bidang).
PT Cahaya Inti Sentosa (20 bidang).
Perorangan (9 bidang).
Ironisnya, kawasan tersebut jelas berada di wilayah pesisir yang secara hukum tidak layak untuk disertifikasi. Bagaimana praktik ini bisa lolos?
Dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Penerbitan SHGB di kawasan pantai jelas bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, termasuk:
1. UUPA (UU No. 5/1960)
Pasal 2 ayat (4) menegaskan bahwa tanah negara, termasuk pantai, harus digunakan untuk kepentingan umum.
2. UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27/2007)
Pasal 35 menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan pesisir harus dilakukan tanpa menghilangkan hak publik.
3. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18/2021
Pasal 17 melarang pemberian hak atas tanah di sempadan pantai.
4. KUHPerdata Pasal 1365
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terjadi jika pelanggaran ini merugikan masyarakat, termasuk akses mereka ke pantai.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
1. Pejabat BPN
Pejabat yang menerbitkan sertifikat tanpa dasar hukum jelas bertanggung jawab atas penyalahgunaan wewenang ini.
2. Pemegang Sertifikat
Jika pemegang sertifikat mengetahui status pantai sebagai tanah negara namun tetap mengajukan permohonan, mereka dapat dianggap bersalah.
3. Pihak Ketiga
Pihak yang terlibat dalam manipulasi data atau memfasilitasi penerbitan ilegal dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 55 dan 56 KUHP.
Langkah Penegakan Hukum
Kejadian ini membuka peluang untuk dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap penerbitan sertifikat. Langkah hukum yang perlu diambil meliputi:
1. Administratif
Pencabutan sertifikat yang diterbitkan secara melawan hukum oleh BPN.
2. Pidana
Pejabat yang terlibat dapat dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika ada unsur penyalahgunaan jabatan.
3. Perdata
Gugatan masyarakat atas kerugian yang mereka alami.
Kembali ke Hak Publik
Hak masyarakat atas kawasan pantai adalah bagian dari keadilan sosial yang tidak bisa ditawar. Pemerintah, melalui Kementerian ATR/BPN, harus bertindak tegas terhadap pelanggaran ini dan memastikan kawasan pesisir tetap menjadi milik publik.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga pantai sebagai ruang bersama, bukan ruang eksklusif bagi segelintir pihak. Jangan biarkan praktik ilegal ini mencederai hak kita sebagai bangsa yang kaya akan pesisir dan laut.
“Pantai untuk semua, bukan untuk segelintir orang!”