Oleh: Acep Sutrisna, (Pemerhati Kebijakan Publik Tasik Utara)
Pendahuluan: Kisah Para Penguasa di Meja Perjamuan
Di sebuah negeri yang konon kaya raya, di mana tanahnya subur dan lautnya luas, rakyatnya hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan. Negeri itu bukan tak memiliki pemimpin, justru terlalu banyak—dari mereka yang duduk di kursi empuk pemerintahan hingga yang bermain di balik layar, mengatur bidak kekuasaan dengan lobi dan transaksi gelap.
Mereka mengenakan jas mahal, berbicara dengan bahasa rakyat, namun sejatinya menggenggam pisau di balik punggung. Mereka menjanjikan kesejahteraan, tetapi memperkaya diri sendiri. Mereka bicara tentang moralitas, tetapi tangannya berlumuran dosa. Negeri ini, perlahan tapi pasti, berubah menjadi negeri para bedebah.
Bab 1: Rakyat yang Selalu Dibohongi
Pernahkah Anda melihat seorang ibu menangis karena harga sembako melambung tinggi sementara upah suaminya tetap stagnan? Atau seorang petani yang keringatnya tak pernah dihargai, dipaksa menjual hasil panennya dengan harga murah sementara perantara dan tengkulak menikmati untung besar?
Di negeri ini, kebijakan publik bukan dibuat untuk rakyat, tetapi untuk sekelompok kecil orang yang punya akses ke lingkaran kekuasaan. Subsidi dicabut, pajak dinaikkan, bansos dikorupsi, dan proyek infrastruktur menjadi ajang bancakan. Rakyat kecil? Hanya dianggap angka dalam statistik, yang diingat hanya saat pemilu tiba.
Mereka yang duduk di atas sana akan berkata, “Kami bekerja untuk rakyat,” tetapi kenyataannya, mereka bekerja untuk rekening dan dinasti politik mereka sendiri.
Bab 2: Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Di negeri para bedebah, hukum bagaikan pedang yang hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Seorang pencuri ayam dihukum bertahun-tahun di penjara, sementara seorang koruptor yang mencuri triliunan rupiah hanya mendapat vonis ringan dan bebas dengan fasilitas mewah.
Seorang aktivis yang mengkritik pemerintah langsung dicap sebagai pengganggu stabilitas negara, tetapi pejabat yang merampok uang rakyat justru diberi penghargaan dan jabatan baru.
Jika rakyat kecil terjerat masalah hukum, mereka akan diadili dengan cepat, tanpa ampun. Namun, jika seorang pejabat atau konglomerat tersandung kasus, selalu ada celah hukum, revisi aturan, atau “restorative justice” yang menguntungkan mereka.
Bab 3: Demokrasi yang Dimanipulasi
Di setiap pemilu, rakyat dipanggil untuk memilih pemimpin. Tapi apakah mereka benar-benar memiliki pilihan?
Di balik layar, politik uang, pencitraan kosong, dan oligarki telah mengunci sistem agar hanya segelintir orang yang bisa berkuasa. Partai politik dikuasai oleh keluarga dan kroni. Calon-calon independen nyaris mustahil menang tanpa dukungan modal besar.
Di media, rakyat disajikan drama politik yang lebih mirip sinetron—penuh janji, air mata buaya, dan serangan terhadap lawan. Namun, setelah pesta demokrasi usai, rakyat kembali dilupakan.
Mereka yang terpilih, bukan yang terbaik, tetapi yang paling pandai membeli suara dan membangun citra. Demokrasi di negeri ini hanyalah ilusi.
Kesimpulan: Akankah Rakyat Bangkit?
Negeri ini tidak kekurangan orang baik, tetapi mereka sering kali kalah suara, kalah modal, dan kalah strategi.
Namun, sejarah mengajarkan bahwa tidak ada kezaliman yang bertahan selamanya. Jika rakyat mau membuka mata, bersatu, dan menolak tunduk pada permainan para bedebah, masih ada harapan untuk perubahan.
Bukan dengan sekadar mengeluh di media sosial, bukan dengan pasrah menerima nasib, tetapi dengan bergerak, berpikir kritis, dan menolak tunduk pada sistem yang korup.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita akan terus menjadi penonton di negeri para bedebah, atau mulai berani melawan? (****
Komentar