oleh

Nyawa Murah di Negeri Sendiri: Maraknya Penembakan Warga Sipil oleh Aparat

Oleh: Acep Sutrisna, (Pemerhati Masalah Sosial Politik Tasik Utara)

“Mengapa satu peluru lebih mudah dilepaskan daripada satu kata maaf?”

Di tengah kehidupan masyarakat yang seharusnya damai, berita penembakan terhadap warga sipil oleh aparat terus bermunculan bak luka lama yang tak kunjung sembuh. Tragedi ini menjadi refleksi menyakitkan tentang bagaimana nilai sebuah nyawa tampaknya semakin terdegradasi. Padahal, Indonesia bukanlah negara yang sedang darurat kriminal. Tingkat ancaman keamanan secara umum terbilang stabil, sehingga menjadi pertanyaan besar mengapa senjata sering kali menjadi “jawaban” bagi aparat.

Apakah Kita Sedang Perang?

Negara kita tidak berada dalam situasi darurat militer atau konflik bersenjata. Dalam kondisi seperti ini, persenjataan aparat, terutama bagi mereka yang bertugas di lapangan, seharusnya lebih selektif. Senjata api adalah alat mematikan, dan penggunaannya haruslah menjadi opsi terakhir ketika semua upaya non-kekerasan telah gagal. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Kasus-kasus penembakan yang berujung tewasnya warga sipil sering kali terjadi karena alasan yang tidak proporsional, seperti salah komunikasi, salah prosedur, atau bahkan tindakan impulsif aparat. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya merasa terlindungi justru hidup dalam ketakutan.

Tidak Semua Aparat Perlu Dipersenjatai

Banyak negara maju telah membatasi penggunaan senjata oleh aparat di wilayah-wilayah yang tidak masuk kategori rawan. Contoh nyata bisa dilihat di Inggris, di mana sebagian besar polisi yang bertugas di jalanan tidak membawa senjata api. Langkah ini bukan sekadar kebijakan, melainkan cerminan dari filosofi bahwa pelindung masyarakat harus mengutamakan dialog, bukan intimidasi.

Di Indonesia, pendekatan serupa dapat diterapkan. Aparat tidak perlu dipersenjatai, kecuali benar-benar dalam kondisi yang mendesak atau di wilayah tertentu dengan tingkat risiko tinggi. Penggunaan senjata hanya untuk kebutuhan taktis, seperti melawan ancaman teroris atau penanganan kriminal bersenjata. Selebihnya, aparat bisa mengandalkan cara-cara humanis yang lebih efektif dalam membangun rasa aman masyarakat.

Pelatihan Ulang: Jalan Tengah untuk Solusi

Selain pembatasan senjata, pemerintah dan institusi terkait perlu mengevaluasi ulang pelatihan aparat. Fokusnya bukan hanya pada penggunaan senjata, tetapi juga pengendalian emosi, komunikasi efektif, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Pelatihan ini penting untuk memastikan bahwa setiap keputusan aparat di lapangan benar-benar mempertimbangkan dampaknya terhadap hak asasi manusia.

Rasa Aman yang Memudar

Ketika aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi ancaman, maka rasa aman masyarakat semakin tergerus. Sebuah tragedi tidak hanya menghancurkan keluarga korban, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi keamanan. Akibatnya, masyarakat tidak lagi merasa nyaman untuk melapor atau meminta bantuan, karena takut menjadi korban berikutnya.

Kapan Keadilan Akan Tegak?

Pertanyaan besar yang terus menggema adalah: di mana tanggung jawab dan keadilan dalam setiap kasus penembakan warga sipil? Sering kali, kasus-kasus ini berujung pada impunitas atau hukuman yang tidak setimpal. Jika kondisi ini terus dibiarkan, tidak hanya nyawa yang akan hilang, tetapi juga kepercayaan terhadap sistem hukum dan keamanan di negeri ini.

Menghentikan tragedi ini bukan hanya tugas aparat, tetapi tanggung jawab bersama. Mulai dari kebijakan yang lebih ketat, pengawasan yang lebih transparan, hingga partisipasi masyarakat dalam mengawasi tindakan aparat. Sudah saatnya kita berhenti membiarkan nyawa menjadi murah di negeri sendiri.(***