oleh

Orang Tua Terlibat, Anak Hebat

Oleh: Teddy Fiktorius, M. Pd.

(Guru Bahasa Inggris SMP-SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat)

 

ANAK diibaratkan sebagai sebuah ember kosong. Jika diisi dengan air kotor, ember tersebut akan penuh dengan air kotor dan ikut menjadi kotor. Namun sebaliknya, jika diisi dengan air bersih, ember tersebut akan tetap bersih. Bahkan air bersih dapat membersihkan ember yang kotor. Analogi ini mengajarkan satu hal, yakni tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.

Dalam konteks pendidikan, keberhasilan bergantung pada sinergisitas tri-sentra pendidikan, yakni keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama. Keluarga dan pendidikan merupakan dua entitas yang tak terpisahkan. Di mana ada keluarga, di situ ada pendidikan. Apabila sejak kecil dibiasakan, dididik, dan dilatih secara berkelanjutan, anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula.

Akan tetapi, dalam kenyataannya, sebagian besar orang tua merupakan pendidik paling tak tersiapkan. Data Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan warga negara Indonesia hanya 8,56 tahun atau setara kelas 3 SMP. Artinya secara umum orang tua atau calon orang tua belum memiliki pendidikan yang cukup untuk menjadi orang tua yang handal dalam mendidik anak-anak.

Terlepas dari permasalahan di atas, setiap orang tua siap atau tidak siap berkewajiban mendidik anak-anaknya sejak dalam kandungan hingga selesai menempuh pendidikan di satuan pendidikan. Kebergantungan keberhasilan pendidikan terhadap keterlibatan keluarga diungkapkan oleh Greenwood & Hickman (2010) yang menyebutkan bahwa keterlibatan orang tua di sekolah memberikan kontribusi yang positif dalam prestasi akademis dan non akademis.

Saat ini, keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak menjadi sangat mendesak. Mengapa demikian? Sebab, bangsa ini sedang berjuang untuk menyiapkan generasi emas, yakni generasi yang menjadi lokomotif pembangunan bangsa untuk lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Indonesia yang tergolong anak-anak (0-14 tahun) mencapai 70,49 juta jiwa atau sekitar 26,6% dari total populasi. Bonus demografi inilah modal untuk menyongsong generasi emas 2045.

Akan tetapi, dalam menghadapi abad 21, apa yang mendesak di masa lalu belum tentu aplikatif lagi di masa sekarang. Dahulu CALISTUNG (baca, tulis, dan berhitung) bergaung kencang. Zaman NOW, 4+1 K (kritis, kreatif, komunikatf, dan kolaboratif plus karakter) menjadi basis penyiapan SDM kompetitif. Oleh karenanya, diperlukan metode yang mumpuni dalam keterlibatan orang tua untuk mendidik anak.

Pertama, pendidikan melalui keteladanan. Konsep diri anak-anak dipengaruhi oleh unsur dari luar diri mereka. Hal ini terjadi karena mereka sejak usia dini telah melihat, mendengar, dan mempelajari hal-hal di sekitar mereka. Mereka mengikuti apa yang dikerjakan dan diajarkan orang tua. Misalnya, senyum-salam-sapa-sopan-santun (5S) mereka lakukan sebagai hasil dari melihat perbuatan itu di lingkungannya, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran khusus yang intensif. Sifat peniru yang dimiliki mereka merupakan modal potensial dalam pendidikan anak.

Kedua, pendidikan melalui pembiasaan. Keterlibatan orang tua sebagai lingkungan terdekat sangat memengaruhi pembiasaan anak-anak. Dalam pembinaan karakter melalui pola pembiasaan, orang tua harus dapat berperan sebagai pembimbing yang mampu memberikan contoh dan mengarahkan karakter anak sehingga berada pada jalur yang benar. Jika anak melakukan kekeliruan, orang tua dengan bijaksana membenahinya. Begitu juga sebaliknya, jika anak melakukan perbuatan terpuji, orang tua wajib memberikan dorongan dengan pujian maupun hadiah.

Ketiga, pendidikan melalui penegakan aturan. Orang tua sebagai pendidik harus menumbuhkan pemahaman bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya. Esensi penegakan aturan adalah memberikan batasan yang tegas terkait mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Langkah awal untuk mewujudkan penegakan aturan dalam keluarga adalah dengan membuat peraturan keluarga yang disepakati bersama dan dapat mengikat semua anggota keluarga. Hal ini juga dapat melatih rasa tanggung jawab anak terhadap apa yang dilakukannya di rumah dan di masyarakat.

Keempat, pendidikan melalui pengajaran. Dalam konteks pendidikan keluarga, pengajaran dapat terjadi dengan direncanakan dan tanpa perencanaan. Pengajaran yang direncanakan mencakup aktivitas yang secara sadar dirancang untuk membantu anak dalam mengembangkan pengetahuan yang kemudian diwujudkan dalam sikap dan perilaku keseharian. Sedangkan pengajaran yang tidak direncanakan meliputi peristiwa kehidupan yang tanpa direncanakan namun dapat memengaruhi dan mengembangkan nilai dan kepribadian anak.

Kelima, pendidikan melalui pemotivasian. Dalam konteks pendidikan keluarga, pemotivasian dapat dimaknai sebagai upaya mendorong anak untuk mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan itu, orang tua dituntut untuk mampu menjadi motivator dengan menjadi teladan bagi anak-anaknya. “Ayo! Kamu pasti bisa!” merupakan contoh motivasi lisan yang memiliki efek psikologis yang besar terhadap kepercayaan diri anak.

Kita seyogyanya meyakini bahwa pada dasarnya setiap anak memiliki bibit-bibit nilai positif. Anak memerlukan campur tangan orang tua yang memungkinkan pengetahuan itu berkembang menjadi karakter diri dalam keseharian dan akhirnya menjadi budaya bersama.

Sudah waktunya keluarga beserta masyarakat menjadi tempat utama bagi anak untuk bertumbuhkembang menjadi generasi emas 2045. Sudah saatnya jua orang tua terlibat dan memikul tanggung jawab lebih besar dalam pendidikan anak. Sebab, jika bukan orang tua, lalu siapa lagi?***

 

Komentar