Oleh: Dian Rahmat Nugraha,SHI, M.Sy (Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, E-mail: dianrachmathaeruman@gmail.com )
Abstrak – Hukum Islam membolehkan mengangkat anak namun dalam batas-batas tertentu yaitu selama tidak membawa dampak Hukum dalam hal hubungan darah, pewalian dan hubungan pewarisan dari orang tua angkatnya . Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Di Indonesia, perundangan wasiat ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Fasal 209 Kompilasi Hukum Islam memperuntukan bahwa terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. objektif kajian ini adalah untuk mengkaji fasal 209 untuk membandingkan antara Kompilasi Hukum Islam dengan Hukum Islam berdasarkan pandangan fuqaha dan hujah-hujah mereka. Kajian ini mengunakan kaidah analisis kandungan. Data-data dikumpul mengunakan kaidah analisis dokumen primer, sekunder dan perbandingan . Hasil kajian mendapati bahwa Hukum Islam memperbolehkan mengangkat anak namun dalam batas-batas tertentu yaitu selama tidak membawa akibat Hukum dalam hal hubungan darah, pewalian dan hubungan pewarisan dari orang tua angkat. ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa anak angkat atau orang tua angkat tidak ada hubungan pewarisan. tetapi sebagai pengakuan mengenai baiknya lembaga peradilan, hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantara wasiat atau wasiat wajibah. kajian ini ialah agar hakim pengadilan agama berani untuk menerapkan Hukum yang jelas kepada masyarakat sesuai fasal 5 ayat 1 undang-undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang materi kekuasaan kehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib mengali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum rasa keadilan yang jelas dalam masyarakat.
Kata kunci: Wasiat wajibah, anak angkat, kompilasi hukum Islam.
Pendahuluan Wasiat merupakan sesuatu yang penting kerana kekayaan merupakan salah satu dari apa-apa yang dicintai manusia, sehingga mungkin terjadi perselisihan antara ahli waris dalam hal pembahagian harta warisan. Perselisihan itu dapat dihindarkan dengan adanya pesan terakhir. Wasiat juga boleh bererti pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik [1]. Perbuatan penetapan pesan terakhir dari seseorang sebelum meninggal dunia dalam Islam ini dikenal dengan istilah wasiat. Dengan wasiat, pewaris dapat menentukan siapa sahaja yang akan menjadi waris. Dengan wasiat dapat juga warisan itu diperuntukkan kepada seseorang tertentu atau sejumlah benda yang dapat diganti. Wasiat berlaku setelah seseorang wafat dan merupakan suatu kewajipan yang harus ditunaikan oleh ahli waris (Andi Syamsu 2008: 62). Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dahulu, bukan hanya agama Islam sahaja yang mengatur, tetapi setiap kumpulan memiliki pemahaman tentang wasiat. Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbezaan dalam melaksanakannya. Semua memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut. Di Indonesia, mempunyai Afriyanto, dan Di antaranya di atur dalam kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KHUPerdata) untuk non muslim atau adat, sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. (Kompilasi Hukum Islam). Wasiat telah menjadi amalan atau praktik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. baik yang terjadi dalam kalangan kelurga mahupun antara pihak yang tidak terikat tali persaudaraan. Baik dilakukan secara lisan mahupun tulisan, hanya sahaja pelaksanaan wasiat tersebut tampaknya kabur. Apakah wasiat berdasarkan Hukum Islam atau yang berdasarkan hukum-Hukum yang lain. Mengingat wasiat merupakan suatu tindakan Hukum dan membawa akibat-akibat Hukum tertentu bagi pihak-pihaak yang lain. Wasiat tidak jarang menimbulkan sengketa diantara pihak-pihak yang terkait. Berbagai bentuk pemberian atau pelepasan harta kekayaan untuk tujuan -tujuan sosial yang terdapat dalam syariat Islam. Termasuk di dalamnya wasiat. Pada hakikatnya merupakan jawaban Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin terhadap problema-problema sosial ekonomi yang dialami oleh masyarakat. Allah menurunkan syariat Islam pada esensinya untuk menjadi rahmat bagi manusia dan seluruh alam beserta isinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang disampaikan melalui utusannya yaitu Muhammad SAW. yang tercantum dalam al-Qur’an (Surah Al-anbiyaa 21:107).
Maksudnya; Dan kami tidak mengutus engkau Muhammad SAW melainkan untuk menjadi Rahmatan Lil Alamin. Kerana kedudukannya sebagai rahmat bagi seluruh alam (sesuai dengan konteks tempat dan zaman), maka ditetapkan peraturan-peraturan Hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat, menolak mudharat dan kerusakan serta mewujudkan sebuah keadilan yang bersesuaian.
Dengan kata lain tidaklah disebut rahmat apabila peraturan Hukum yang ditetapkan itu tidak mewujudkan kemaslahatan serta kebahagian bagi seluruh manusia. Adapun dasar ditetapkan wasiat dalam Hukum perdata diatur didalam buku ke II tentang benda bab ke 13, tepatnya dalam fasal 875 KUHPerdata, dan dalam Hukum Islam dapat dibaca dalam al-Qur’an surah al-baqarah, 2: 180. Disamping ayat ini, turun pula ayat-ayat lain yang mengatur tentang pengalihan harta kekayaan yang ditinggal mati pemiliknya, iaitu pembahagian harta peninggalan melalui cara kewarisan yang lain disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa 4: 7, Dalam Ijtihad para fuqaha pengaturan wasiat tertuang dalam fasal 171 huruf F dan fasal 194-209 yang mengatur secara keseluruhan prosedur tentang wasiat.
Dilihat dari sisi harta yang ada pada pemilik harta dan orang yang akan berwasiat, ulama menetapkan Hukum yang berbeda bagi individu yang akan berwasiat sesuai objek wasiat tersebut. a. Wajib apabila Kewajiban berwasiat dilaksanakan apabila terdapat tanggungjawab syar’i kerana Allah SWT seperti penunaian zakat dan haji. Ini kerana dikuatiri sekiranya tidak diwasiatkan, tanggungjawab itu tidak dilaksanakan. Begitu juga tanggungjawab yang berkaitan dengan hak manusia, seperti hutang dan pemberitahuan harta yang diamanahkan kepada pemilik yang berhak sekiranya pemilik sebenar tidak diketahui. (Mustafa Al-Khin 1956: 69) b. Sunnah, apabila Wasiat adalah sunat mu’akkad menurut ijmak (kesepakatan) ulama kerana bersedekah pada waktu hidup itu lebih utama. Tambahan lagi, apabila wasiat yang diperuntukkan bagi tujuan kebajikan kepada kaum kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang soleh. c. Harus berwasiat apabila wasiat diberikan kepada rakan atau orang yang kaya yang bukan daripada golongan berilmu dan soleh. Bagaimanapun, jika pewasiat berniat baik dan untuk mengeratkan hubungan, maka wasiat itu sunat kerana terdapat unsur ibadat mentaati Allah ((Mustafa Al-Khin 1956: 71). d. Makruh berwasiat sekiranya pewasiat memiliki harta yang sedikit sedangkan dia mempunyai waris fakir yang memerlukan harta tersebut. Wasiat juga makruh sekiranya diberikan kepada orang fasik dan ahli maksiat sekiranya pewasiat berasa kemungkinan besar harta itu akan digunakan untuk kejahatan mereka (Sayyid Sabiq 1990: 222) e. Haram berwasiat dengan perkara yang ditegah oleh syara’ melakukanya, seperti mewasiatkan arak atau perbelanjaan untuk program yang merosakaan akhlak masyarakat. Wasiat seperti ini selain haram ia juga batal dan tidak boleh dilaksanakan.Antara wasiat yang diharamkan ialah wasiat yang bertujuan menyusahkan para waris dan menghalang mereka daripada mendapat bahagian yang ditetapkan oleh syara. Dan tidak terlepas dari alasan –alasan diatas, ketentuan pasal 194 ayat (1) KHI tentang usia: pewasiat adalah merupakan suatu ijtihad ulama fiqh Indonesia untuk menetapkan ketentuan hukum Islam bagi masyarakat Indonesia Khususnya
Dan Menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang mana menjelaskan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[1] Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dari perkawinan diharapkan akan lahir keturunan (anak) sebagai penerus dalam keluarganya, sehingga selaku ayah dan ibunya berkewajiban memelihara serta mendidiknya untuk tumbuh dan berkembang sesuai ketentuan dalam lingkungan keluarga maupun adat istiadat.
Hadirnya seorang keturunan adalah suatu hal yang sangat diidam-idamkan. Kebahagiaan dan keharmonisan suatu rumah tangga ditandai dengan lahirnya anak, karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (٧٢)
Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu jodoh ( istri ) dari dirimu ( bangsamu ) dan menjadikan anak-anak dan cucu-cucu dari istrimu itu, serta memberi rizki yang baik, apakah mereka percaya yang batil (tidak benar ) dan ingkar akan nikmat Allah.”[2]
Suatu keinginan untuk mempunyai keturunan adalah naluri manusiawi dan fitrah . Akan tetapi kadang-kadang naluri ini kembali pada takdir Allah SWT, dimana keinginan untuk mempunyai Keturunan tidak terwujud. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi keinginan tersebut. Dalam hal ini keinginan untuk memperoleh anak dapat diusahakan melalui cara mengangkat anak (adopsi).
Pengangkatan anak di sini merupakan jalan keluar untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga, karena antara tujuan penting perkawinan adalah untuk memperoleh buah hati, yaitu anak. Begitu berartinya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai konsekuaensi hukum, karena, misalnya, ketiadaan keturunan (anak). Perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa peristiwa hukum yang terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak mendapatkan keturunan (walaupun bukan satu-satunya alasan). Bertambahnya frekuensi perceraian, poligami dan adopsi anak yang dilakukan dalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan yang tidak menghasilkan pelanjut keluarga. Dengan demikian tujuan perkawinan itu tidak tercapai.”[3]
Keluarga mempunyai peranan yang sangat vital dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil di dalam masyarakat luas, yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Namun tidak selalu ketiga unsur itu terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat sebuah rumah tangga yang tidak mempunyai anak atau keturunan. Keturunan dalam suatu perkawinan dapat berasal dari darah dagingnya sendiri, yang didalam UU No 1 Tahun 1974 disebut sebagai anak yang sah.
Definisi anak syah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan (UU No.l Tahun 1974) adalah anak yang didapatkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang syah. Apabila pasangan suami istri tersebut dalam perkawinannya tidak bisa mempunyai keturunan, maka mereka juga dapat meneruskan keturunan agar suku tidak punah dengan jalan mengangkat anak atau sering juga disebut adopsi.[4]Adapun permasalahan penelitian ini adalah tentang tinjauan hukum Islam dan adat terhadap anak adopsi yang tidak mendapat warisan dan dihubungkan dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No.311 K/Pdt/1996 perihal Pembatalan Surat Wasiat dalam Sengketa Harta Warisan. Misalnya, bagaimana status hukum anak adopsi dalam kewarisan islam? Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutus perkara ini mulai dari Pengadilan hingga Mahkamah Agung? Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Adat terhadap Keputusan Mahkamah Agung RI No.311 K/Pdt/1996.
Agama Islam merupakan tata nilai ilahi yang sempurna untuk mengatur kehidupan manusia dalam segala aspeknya dengan tujuan untuk kemaslahatan manusia. Islam bersifat universal. Nilai-nilai ajarannya mampu menjawab tantangan yang timbul akibat kemajuan sosial dan budaya dari zaman ke zaman.[5]1 Islam seiring dan sejalan dengan akal manusia.[6]2 Dari sini, tampak bahwa agama Islam sangat memperhatikan dan menghargai daya nalar manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam menjaga keseimbangan antara nilai samawi (wahyu ilahi) dan nilai manusiawi (daya nalar manusia). Secara garis besar, Hukum Islam bersumber dari tiga ; yaitu pertama, al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama. Segala dalil hukum selain al- Qur’an, seperti al-Sunnah, al-Ijma, al-Qiyas hanya tumbuh dari al-Qur’an.[7]Namun ternyata, ketentuan hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an secara umum bersifat universal dan global, tidak mencakup rincian yang menyeluruh,[8] sehingga dalam tataran praktis memerlukan hukum.
Di samping itu, dalam penggalian hukum tidak boleh dibatasi pada al-Qur’an saja, tetapi harus diperhatikan penafsiran dan penjelasannya yaitu: sunnah;[9] Kedua, sunnah merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an;[10]6 Ketiga, ijtihad[11]yang merupakan sumber ketiga tatkala tidak ditemukan adanya aturan dari al- Qur’an dan al-Sunnah. Sumber Hukum Islam- sebagaimana disebutkan di atas- didasarkan pada sebuah hadits yang menceritakan dialog yang terjadi antara Rasûlullâh dengan Mu’âdz Bin Jabal. Hadits tersebut lengkapnya berbunyi sebagai berikut: memberikan n yang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin), penguat (muakkid) dan menetapkan hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an;[12] Ketiga, ijtihad[13] yang merupakan sumber ketiga tatkala tidak ditemukan adanya aturan dari al- Qur’an dan al-Sunnah. Sumber Hukum Islam- sebagaimana disebutkan di atas- didasarkan pada sebuah hadits yang menceritakan dialog yang terjadi antara Rasûlullâh dengan Mu’âdz Bin Jabal.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah berbentuk kajian kepustakaan dan analisis kandungan karena kajian ini membincangkan mengenai bagaimana status anak angkat menurut Hukum Islam dan bagaimana pengaturan wasiat wajibah terhadap anak angkat menurut Hukum Islam. Dalam kajian ilmiah, penggunaan metod merupakan hal yang dasar dan mutlak diperlukan. Oleh itu, penelitian ini sebagai satu kajian tentang undang-undang, maka untuk menggali data daripada sumber yang diperlukan, digunakanlah kaidah analisis dokumen dengan mengumpulkan, membaca dan meneliti daripada beberapa sumber rujukan yang berhubungan dengan pembahasan yang dimaksud ke dalam kajian ini, iaitu bagaimana status anak angkat menurut Hukum Islam dan bagaimana pengaturan wasiat wajibah terhadap anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan dibandingkan dengan Hukum Islam. Antara dokumen-dokumen yang dianalisis dalam pengumpulan data ialah : a. Sumber primer iaitu buku-buku sejarah tentang Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia b. Sumber sekunder iaitu sumber yang digunakan untuk menyokong dan melengkapi data penulisan ini, seperti buku dan kamus dan lain-lain. Semua maklumat yang diperoleh melalui sumber-sumber primer dan sekunder akan dianalisis dengan beberapa kaedah antaranya: a. Metode induktif iaitu metode untuk membuat kesimpulan daripada bukti-bukti yang bersifat khusus untuk mencari kesimpulan yang bersifat umum. Segala data daripada bahan-bahan rujukan akan dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan yang sebenar. Metod ini digunapakai untuk menganalisis dan memberikan ulasan terhadap buku Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia b. Metode deduktif iaitu suatu langkah yang bermatlamatkan untuk menganalisa penulisan yang berdasarkan kepada bukti umum untuk perkara-perkara yang khusus. Metode ini akan digunakan untuk mendedahkan sejarah Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia c. Metode komparatif iaitu metod untuk membuat perbandingan diantara Undang- Undnag Kompilasi Hukum Islam dengan Hukum Islam. Tujuannya untuk mencari perbedaan dalam sudut kelebihan, kekurangan dan kewujudan antara undang-undang dengan hukum Islam3 .Metodologi Kajian Metodologi kajian merupakan suatu kaedah yang digunakan untuk mencapai objektif kajian. Penyelidikan ini adalah berbentuk kajian kepustakaan dan analisis kandungan kerana kajian ini membincangkan mengenai bagaimana status anak angkat menurut Hukum Islam dan bagaimana pengaturan wasiat wajibah terhadap anak angkat menurut Hukum Islam. Dalam pengajian ilmiah, penggunaan metod merupakan hal yang asas dan mutlak diperlukan. Oleh itu, penelitian ini sebagai satu kajian tentang undang-undang, maka untuk menggali data daripada sumber yang diperlukan, digunakanlah kaedah analisis dokumen dengan mengumpulkan, membaca dan meneliti daripada beberapa sumber rujukan yang berhubungkait dengan pembahasan yang dimaksud ke dalam kajian ini, iaitu bagaimana status anak angkat menurut Hukum Islam dan bagaimana pengaturan wasiat wajibah terhadap anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan bagaimana dampak psikologisnya dan dibandingkan dengan Hukum Islam.
Antara dokumen-dokumen yang dianalisis dalam pengumpulan data ialah : a. Sumber primer iaitu buku-buku sejarah tentang Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia b. Sumber sekunder iaitu sumber yang digunakan untuk menyokong dan melengkapi data penulisan ini, seperti bukubuku, kamus dan lain-lain. Semua maklumat yang diperolehi melalui sumber-sumber primer dan sekunder akan dianalisis dengan beberapa kaedah antaranya: a. Metode induktif iaitu metode untuk membuat kesimpulan daripada bukti-bukti yang bersifat khusus untuk mencari kesimpulan yang bersifat umum. Segala data daripada bahan-bahan rujukan akan dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan yang sebenar. Metod ini digunapakai untuk menganalisis dan memberikan ulasan terhadap buku Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia b. Metode deduktif iaitu suatu langkah yang bermatlamatkan untuk menganalisa penulisan yang berdasarkan kepada bukti umum untuk perkara-perkara yang khusus. Metod ini akan digunakan untuk mendedahkan sejarah Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia c. Metode komparatif iaitu metod untuk membuat perbandingan diantara Undang- Undnag Kompilasi Hukum Islam dengan Hukum Islam. Tujuannya untuk mencari perbezaan dalam sudut kelebihan, kekurangan dan kewujudan antara undang-undang dengan hukum Islam[14].
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Anak Angkat Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Islam pengangkatan anak angkat memiliki perbincangan yang panjang. Secara Hukum Islam, mengangkat anak boleh sahaja dilakukan, tetapi mengangkat anak itu boleh namun dengan syarat yang ketat seperti tidak mengubah status keturunan nasab dan tidak boleh menyamakan kedudukan hukumnya dengan anak kandung. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam defenisi beralihnya tanggungjawab untuk memberikan nafkah, mendidik, memelihara, dan lainnya dalam konteks beribadah dan ingin mendapatkan pahala dari Allah SWT [15]. Berkaitan dengan peristiwa Nabi Muhammad SAW yang pernah mengangkat anak dan menjadikannya selayak anak kandung, maka Allah menurunkan ayat al-Qur’an ayat 4 dan 5 surah al-ahzab : Maksudnya : Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Allah tidak menjadikan anak anakmu itu sebagai anak-anak kandungmu sendiri. Dan demikian itu hanyalah perkataaanmu yang kamu ucapkan sahaja. Dan Allah mengatakan yang sebenranya dan dia menujukkan jalan yang benar.
Panggilan mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama ayah-ayah mereka, maka panggil mereka sebagai saudaramu seagama dan maula maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu, dan adalah Allah Maha pengasih lagi maha penyanyang (Fahmi Al-Amruzi 2014: 83) Konteks Hukum Islam awal sangat jelas adanya larangan pengangkatan anak dengan menisbahkan namanya terhadap anak angkatnya, tidak ada hubungan kekerabatan kewarisan bahkan tetap berlaku Hukum mahyam iaitu yang dianggap bukan muhrim serta diperbolehkan untuk mengawini mereka. konsep ini merupakan reaksi terhadap kebiasaan pra Islam (jahiliyah) ketika itu yang mengangap pengangkatan anak menimbulkan hubungan Hukum saling mewarisi anak dan orang tua angkatnyanya, kerana anak angkat itu dianggap sama seperti anak kandungnya sendiri.
Pengangkatan anak yang demikian memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya. Inilah yang dalam Hukum Islam dinamakan dengan pengangkatan anak secara tabanni ini dilarang oleh Hukum islam. Fakta demikian keberadaan anak angkat dalam Hukum Islam hanyalah legitimasi pembolehan atas tradisi suatu masyarakat sebelum kedatangan Islam dengan memberlakukan syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Tidak ada hak Hukum bagi anak angkat dalam kewarisan mahupun perwalian perkawinan. Hubungan mereka adalah seperti hubungan antara orang lain kecuali keterikatan oleh kasih sayang secara individu dan bantuan sosial orang tua angkat terhadap anak angkatnya untuk mendidik, mengasih sayangi dan membiayai untuk berbagai keperluan. Hukum anak angkat dalam Islam adalah tidak sama statusnya dengan anak kandung. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah al-Ahzab ayatأ 37 Artianya nya : Dan ingatlah ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah beri nikmat oleh Allah SWT dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya, pertahankanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang dinyatakan oleh allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah yang lebih berhak kamu takuti. Maka ketika zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap isterinya (menceraikannya) kami nikahkan engkau dengan dia (zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anakanak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istri. dan ketentuan itu pasti terjadi. Namun kesedaran beragama masyarakat Muslim yang makin meningkat telah mendorong semangat untuk melakukan penilaian terhadap hal-hal yang bertentangan dengan syaraiat Islam, antara lain masalah pengangkatan anak. Dan hasil ikhtiar selama ini mulai tampak dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman Hukum materil peradilan agama mengakui eksistensi lembaga pengangkatan anak (Jabatan Kebajikan Masyarakat) dengan mengatur anak angkat dalam rumusan fasal 171 Huruf h. Bunyi isi fasal 171 h anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan Islam secara konsisten mengawal penerapan hukumnya sehingga pengaruh positif terhadap kesadaran masyarakat yang beragama Islam untuk melakukan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam.
Anak angkat memiliki dua jenis iaitu pertama seseorang yang memelihara anak orang lain yang kurang mampu untuk dididik, dan disekolahkan pada pendidikan formal, pemeliharaan seperti ini hanyalah sebagai bantuan biasa, dan sangat dianjurkan dalam agama islam, dan hubungan pewarisan antara mereka tidak ada. Kedua, (Amin Hussein Nasution 2012: 192. mengangkat anak yang dalam Islam disebut Tabanni atau dalam Hukum positif disebut sebagai adopsi. orang tua yang mengangkat anak ini mengangap sebagai keluarga dalam segala hal. Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan himpunan kaidah-kaidah Islam yang disusun secara sistematis dan lengkap mengakui eksistensi lembaga pengangangkatan anak, dan juga menjadi sumber Hukum Islam bagi masyarakat muslim di indonesia yang melakukan perbuatan Hukum pengangkatan anak dan merupakan pedoman Hukum materil bagi pengadilan agama dalam mengadili perkara pengangkatan anak antara orang-orang yang beragama Islam menjadi kewenangan pengadilan agama dan pengadilan agama memberikan penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum islam. Hadith yang berkaitan dengan anak angkat, antara lain dijelaskan dalam hadith riwayat bukhari dan muslim: dari Abu Dzar R.A bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda tidak seorang pun yang mengakui (membangsakan dirinya) kepada bukan ayahnya, padahal ia mengetahui bahawa itu bukan ayah kandungnya, haram baginya surga[16] berdasarkan pemahaman demikian, Hukum Islam memperbolehkan mengangkat anak namun dalam batas-batas tertentu iaitu selama tidak membawa akibat Hukum dalam hal hubungan darah, hubungan perwalian dan hubungan warus pewarisan dari orang tua angkat. ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.
Dasar yang terkandung dalam konsep Hukum Islam yang pada sisinya tertentu memperbolehkan pengangkatan anak namun dalam sisi lain memberikan syarat yang ketat dan batasan pengertian pengangkatan anak ialah : 1. Memelihara garis turun nasab seorang anak angkat sehingga jelaslah kepada siapa anak angkat tersebut dihubungkan nasabnya yang berdampak pada hubungan, sebab dan akibat hukum. 2. Memelihara garis turun nasab bagi anak kandung sendiri sehingga tetap jelas hubungan Hukum dan akibat Hukum terhadapnya [17] Dalam Hukum Islam anak angkat tidak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya kerana anak angkat bukanlah nasab dari orang tua angkatanya, anak angkat hanya mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya sesuai dengan ketentuan Qs al-ahzab ayat 4 dan 5. dari bunyi ayat tersebut jelaslah bahawa status anak angkat dalam kewarisan tetap dengan status asalnya, dia mempunyai hubungan nasab dengan orang tua kandungnya, kerana itu dia hanya mempunyai hubungan kewarisan dengan orang tua kandungnya pula. dengan demikian pengangkatan anak tidaklah mengubah hubungan nasab yang telah ada sebelumnya, dan pula tidak mengubah hak kewarisannya antara dia dengan orang tua angkatnya atau sebaliknya. anak angkat dalam Hukum Islam tidak boleh menerima warisan tetapi boleh mendapatkan wasiat, wasiat itu namanya wasiat wajibah. Pemberlakuan wasiat wajibah mempengaruhi peralihan nilai hak warisan dari ahli waris yang lain. Istilah dalam Hukum Islam klasik tidak pernah dikenal. kemudian diberlakukan dalam beberapa negara Islam untuk kepentingan para cucu pancar perempuan baik laki-laki mahupun perempuan yang dalam Hukum waris Islam tidak memperbolehkan Hukum waris wasiat wajibah di indonesia dalam fasal 209 ayat 2 adalah bukan terhadap para cucu pancar perempuan tetapi terhadap anak angkat dari orang tua angkatnya. anak angkat selama ini tidak memiliki tempat dalam Hukum Islam untuk memperoleh bagian warisan. wasiat merupakan produk ijtihad ulama di Indonesia yang secara subtansi menurut pendapat ulama di timur tengah yang berlakukan wasiat wajibah. Di Indonesia ditujukan untuk anak angkat sedangkan di dunia Islam ditujukan untuk cucu pancar perempuan ( Fahmi Al-Amruzi 1996: 86).
Pengaturan Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Perbandingan terhadap Hukum Islam
Ruang lingkup agama dan ajaran agama Islam tersebut didukung dan jelas kelihatan pada kerangka dasarnya yang penting dipahami ialah agama bersumber dari wahyu (al-Qur’an ) dan sunnah ajaran Islam bersumber dari ra’yu manusia melalui ijtihad. Ajaran Islam adalah penjelasan agama Islam. Dengan mengikuti sistematik Imam, Islam dan ikhsan yang berasal dari hadith nabi Muhammad, kerangka dasar agama Islam, seperti telah dijelaskan diatas, terdiri dari 1. Akidah, 2. Syariah dan 3 . Akhlak.
Pada komponen syariah dan akhlak ruang lingkupnya jelas mengenai ibadah, muamalah dan sikap terhadap Allah serta mahkluk pada komponen akidah, ruang lingkup itu akan tampak pula jika dihubungkan dengan imam kepada Allah dan para nabi serta rasulnya. Hukum Islam adalah Hukum yang bersumber dari dan menjadi bahagian agama Islam ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab, kadangkala membingungkan, kalau tidak diketahui persis maknanya. Yang dimaksud adalah istilah-istilah 1. Hukum 2 Hukum dan ahkam, 3. Syariah dan syariat. 4. Ushul Fiqh dan Fiqh. Didalam sistem Hukum Islam ada lima hukum atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah mahupun muamalah , kelima jenis kaidah tersebut, disebut ahkam al-khamsah tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah atau pengolangan Hukum yang lima iaitu 1. jaiz atau mubah 2. Sunnah, 3. Makhruh, haram dan wajib (Mohammad Daud Ali : 2004 : 32 ).
Di dalam Hukum Islam isi terkandung nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada prinsip-prinsip yang solid, tidak akan berubah dan tidak akan di ubah. Bidang ini meliputi segala tatanan yang qat’iyah dan merupakan jati diri Hukum agama Islam. Dalam kelompok ini termasuk segala ketentuan yang berasal dari nilai-nilai fundamental. Di antara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah apa yang telah dirumuskan dalam tujuan Islam maqasid syari’ah iaitu kebahagian manusia , yang dapat dijabarkan dalam kemaslahatan, kenikmatan, keadilan, rahmat, dan seterusnya. Nilainilai kebahagian tersebut bersifat abstrak yang harus direalisasikan dengan bentuk nyata. Disamping nilai-nilai fundamental tersebut, terdapat pula nilai-nilai instrumental. Makna nilai intrumental terkandung dalam proses pengalaman nilai-nilai Hukum Islam in abstarnco menuju nilai nilai in concreto. proses tranformasi ini sering disebut sebagai proses operasional atau aktualisai berbicara dan membahas dinamika Hukum islam. Jadi, di dalam Hukum Islam terkandung nilai-nilai yang konstan kerana sifatnya memang demikian sesuai dengan perkembangan dan kebutuhannya. Dalam dimensi yang disebut terakhir ini, Hukum Islam bersikap adaptif, ertinya dapat menerima nilai-nilai baru dan nilai-nilai dari luar yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perubahan zaman. Para ulama bersepakat bahawa sumber Hukum Islam adalah wahyu dan rakyu wahyu meliputi alQur’an dan sunnah yang sering disebut sebagai dalil nagli sedangkan ra’yu (rasio, akal, daya pikir, nalar disebut dalil aqli. Dalam perkembangan Hukum Islam, ternyata ra’yu memainkan peran yang tidak dapat diabaikan.
Akal merupakan sumber dan sekaligus alat untuk memahami wahyu, sebagai sumber hukum, akal dapat digunakan sebagai sumber hukum, akal dapat digunakan untuk mengalirkan Hukum dari masalah-masalah yang tidak dinyatakan oleh wahyu atau yang tidak secara tegas dinyatakan oleh wahyu. Ijtihadbir rayi dapat dilakukan secara individual (ijtihad fardi) dan secara kolektif (ijtihad jama’i) ijtihad, apalagi ijtihad jama’i merupakan suplemen dari ushul fiqh dan dapat dirinci menjadi qiyas, istihsan, istislah, istishab, penilaian terhadap urf, dan lain-lain. Dalam kaitan dengan dimensi instrumental, peran akal disini sangat strategis[18]. Hukum Islam tidak membezakan dengan tajam antara Hukum perdata dengan Hukum publik ini disebbakan karena menurut Hukum Islam pada Hukum perdata terdapat segi-segi dari pada Hukum sivil ada segi-segi perdatanya. Dalam Hukum Islam tidak dibezakan kedua bidang Hukum itu, yang disebutkan adalah bahagian-bahagian saja seperti munakahat, wirasah, mualamat dan sebagainya.
Adopsi dalam Psikologi
Adopsi berdasarkan KBBI adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Dengan kata lain adopsi adalah proses dimana seorang dewasa secara legal dan permanen mengambil alih tanggung jawab orang tua terhadap seorang anak. Hal itu menyebabkan ia memiliki hak dan tanggung jawab orang tua kandung atau wali yang sah terhadap anak yang diadopsinya. Tindakan ini dapat dilakukan dengan berbagai macam alasan. Di masyarakat, terdapat anggapan yang berkembang tentang adopsi anak dan kemudian membentuk stigma tertentu terkait topik tersebut. Dari anggapan seperti “anak adopsi adalah anak pancingan untuk suami-istri memiliki anak kandung” hingga “anak adopsi dihilangkan identitas asli atau asal-usulnya demi kebaikan dan perkembangannya.” Namun, apakah anggapan-anggapan tersebut benar?
Anggapan masyarakat seputar anak adopsi.
1.Anak Adopsi Bisa Dijadikan “Pancingan”
Bagi pasangan yang sudah lama menikah namun belum dikaruniai buah hati, tentu memiliki tekanan tersendiri di masyarakat. Oleh karena itu biasanya mereka mengambil langkah untuk mengadopsi anak dan menjadikannya pancingan agar sang istri dapat segera hamil. Namun, menurut seorang psikolog seksual menyatakan bahwa mengadopsi anak tidak dapat dijadikan sebagai “pancingan” karena hanya meringankan tekanan dari lingkungan sosial untuk pasangan tersebut. Apabila pasangan menghendaki memiliki anak, maka perlu merencanakan dengan benar dan tanpa paksaan.
Adopsi adalah proses yang legal dan tata caranya diatur dalam hukum (salah satunya) melalui PP No. 54 tahun 2007. Untuk itu, pengangkatan anak dilindungi secara hukum dan diatur hak serta kewajiban orang tua yang ingin mengadopsi anak secara rinci dan bersifat mengikat. Artinya, apabila ada kasus pengangkatan anak dengan alasan “hanya” ingin menjadikannya sebuah “pancingan” dan mengabaikan hak serta kewajiban yang diatur dalam undang-undang, maka itu tidak dibenarkan.
2. Anak Adopsi Lebih Berpotensi “Bermasalah”Daripada Anak Kandung
Walaupun banyak penelitian yang menyebutkan bahwa anak adopsi memiliki probabilitas dalam mengalami masalah psikologis, neurologis, sosial, dan perilaku yang unik dalam setiap situasi yang mereka hadapi di lingkungan mereka masing-masing. Hal itu bisa saja karena pemisahan dari orang tua kandung, trauma, stigmatisasi, perubahan budaya, pebolakan dari lingkungan atau riwayat keluarga biologis yang jarang sekali tercatat data lengkapnya.
Terlebih ketika orang tua yang mengadopsi tidak memiliki cukup pengetahuan dalam mengadopsi anak. Bahkan beberapa kasus, orang tua yang mengadopsi secara sengaja menghilangkan asal-usul anak adopsinya dengan berbagai alasan. Apalagi dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang adopsi anak telah menyebutkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandungnya. Ditambah dalam pasal selanjutnya menyeburkan bahwa orang tua yang mengadopsi wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya.
Untuk itu, anak-anak sejak usia dini perlu diperkenalkan konsep adopsi. Hal itu bukan tanpa tujuan, melainkan agak si anak adopsi memahami asal-usulnya. Hal ini sangat penting karena berkaitan dengan konsep diri dan harga diri yang akan ia bentuk nantinya hingga dewasa. Selain itu, kisah adopsi pada usia dini ini dapat membantu orang tua untuk merasa nyaman dengan bahasa adopsi sehingga tidak perlu lagi canggung dalam membicarakan topik tersebut. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka diadopsi, siapa orang tua kandungnya dan keterbukaan serta tingkat kenyamanan orang tua menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk bertanya tentang adopsi sangat penting dalam menunjang hal tersebut. Pada kondisi ketika orang tua terbuka tentang keluarga kandung, anak adopsi akan mengerti perbedaan peran keluarga adopsi dan keluarga kandung dalam hidupnya. Namun, lagi-lagi hal tersebut tergantung pada keterbukaan hubungan di antara anak adopsi dengan orang tua yang mengadopsi.
Jadi, bukan berarti anak adopsi cenderung “bermasalah”. Perilaku anak, baik kandung maupun adopsi, dipengaruhi oleh pola pengasuhan dan lingkungannya sehingga tidak serta-merta anak adopsi kelak akan menjadi anak yang “bermasalah”. Bandura, seorang ahli yang mencetuskan teori pembelajaran sosial, menyatakan bahwa perilaku manusia diperoleh dari proses mengamati dan meniru perilaku orang lain.
3. Orang Tua Angkat Tidak Menyayangi Anak Adopsi
Keputusan untuk mengadopsi anak bukanlah sesuatu yang mudah. Tentu calon orang tua harus mampu merawat anak, termasuk mencintai mereka dengan sepenuh hati. Walaupun orang tua kandung memang memiliki cinta kasih yang besar pada anak kandungnya, tidak berarti pula orang tua angkat tidak bisa melakukan hal yang sama. Karena cinta dan keterikatan dengan anak bukan merupakan sesuatu yang hanya didapatkan dari faktor keturunan saja.
4. Adopsi Anak Hanya Dapat Dilakukan oleh Pasangan yang Menikah
Keputusan untuk mengadopsi anak juga dapat dilakukan oleh seseorang yang tidak sedang dalam ikatan pernikahan, sehingga akan menjadikannya sebagai seorang single parent. Biasanya tindakan ini dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas hidup calon anak adopsi. Namun, calon orang tua juga perlu mempertimbangkan berbagai hal sebelum mengadopsi anak, di antaranya ialah dukungan dari lingkungan, asal-usul anak, serta kemampuan finansial seperti yang telah disyaratkan pada Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007.[19]
Tujuan Adopsi Anak Keterangan dan contoh Persoalan Kasus Adopsi Anak
Maka dengan hal itu, tujuan adopsi anak antara lain untuk meneruskan keturunan, bagi suatu perkawinan atau pasangan yang tidak dikaruniai anak. Hal ini merupakan salah satu jalan alternatif yang baik serta dipandang manusiawi terhadap kehadiran seorang anak dalam sebuah rumah tangga. Akan tetapi perkembangan masyarakat sekarang menunjukkan bahwa tujuan pengangkatan anak tidak hanya atas motivasi untuk meneruskan keturunan saja, tetapi juga karena faktor poleksosdud dan lain sebagainya.[20]
Masalahnya berawal dari putusan Mahkamah Agung No.311 K/PDT/1996 mengenai pembatalan surat wasiat dalam sengketa harta warisan dengan kasus posisi sebagai berikut: Bermula dari penggugat yang bernama Wakini, yang mana sejak lahir tidak dibesarkan oleh orang tua aslinya. Tetapi ia dibesarkan layaknya anak kandung sendiri hingga Wakini menikah oleh pasangan Wagimin alias haji Mustopa dan Misan Alias Hj Fatimah yang merupakan orang tua adopsinya.
Wakini tinggal bersama keluarga H.Mustofa dan Hj.Fatimah di Dukuh Bodosari Desa Tunjungtirto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang Jawa Timur hingga ia dinikahkan. Setelah berkeluarga, Wakini tinggal di Kecamatan lain terpisah dari orang tua angkatnya. Ketika H.Mustofa meninggal pada tahun 1983, Hj Fatimah harus mengurus harta seorang diri , yang berupa tanah sawah seluas 0,037 hektar, tanah beran seluas dua petak, pekarangan yang luasnya 326 M2 dan rumah yang mereka tinggali seluas 250 M2.[21]
Pada saat Hj Fatimah sakit keras dan kritis, salah satu tetangganya, Nur Yasin, yang selanjutnya menjadi tergugat, membawa Hj Fatimah untuk tinggal di kediamannya, yang tidak jauh dari rumah Hj Fatimah. Menurut Yasin, tindakan itu semata-mata untuk kemanusiaan dan untuk memudahkan menolong Hj Fatimah yang sedang sakit kritis. Yasin merasa berkewajiban untuk bantu Hj. Fatimah, bagaimanapun dianggapnya untuk membalas budi baik H.Mustofa yang penah membiayai sekolahnya dahulu. Tindakan Yasin ini, membuat Wakini tersinggung karena ia tidak merasa diberitahu soal kepindahan ibu angkatnya ke rumah Yasin. Bahkan ketika Hj Fatimah sakit keras,Yasin membuat ‘surat pernyataan’ penyerahan hak milik dengan sepenuhnya tertanda cap jempol Hj Fatimah. Surat ini berkonten pernyataan Hj Fatimah pada Yasin untuk mewakafkan/menginfakkan harta yang ditinggalkannya kepada Lembaga Agama Islam di Singosari Malang untuk menegakkan dan memakmurkan Islam.[22]
Namun, sejak Hj. Fatimah meninggal pada tahun 1986, harta milik almarhum dikuasai oleh Yasin dan disewakannya. Wakini selaku anak adopsinya sudah berupaya untuk meraih haknya, tetapi upaya-upaya Wakini selalu gagal, dengan dalih Hj. Fatimah telah mewakafkan peninggalannya itu dan alasannya Wakini bukan anak kandung bawaan dari perkawinan sebelumnya bernama Ahmad. Harta peninggalan Hj Fatimah dan H Mustofa baru diserahkan Yasin kepada Majelis Nahdatul Ulama Cabang Singosari, Malang, pada tanggal 16 Februari 1993.[23]
Berdasarkan masalah di atas, terlihat jelas terjadi tarik menarik antara status hukum anak adopsi yang tidak mendapat wasiat dari keluarga yang membesarkannya serta ketentuan perundang-undangan yang memberikan ketentuan warisan kepada anak adopsi . Disamping itu, Keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan surat wasiat wajibah menjadi fokus lain dari penelitian ini.
Psikologis anak angkat
Praktik adopsi anak rentan memunculkan permasalahan dalam keluarga baik keluarga kandung maupun keluarga angkat dan yang paling utama adalah bagi diri anak adopsi itu sendiri[24]. Menurut (Gosita, 2004) anak dikorbankan untuk memenuhi kepentingan tertentu dari orangtua angkat dan orangtuanya sendiri serta juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengadopsian anak. Ketika anak adopsi dikagetkan dengan kenyataan bahwa dirinya ternyata hanyalah seorang anak adopsi. Pada umumnya anak adopsi tidak pernah bisa mengerti [25] alasan apapun yang membuat dirinya diberikan pada orang lain. Akibatnya anak yang dalam kondisi demikian akan mengalami gangguan sulit menyesuaikan diri (beradaptasi), berekspresi atau memiliki gangguan emosional. Karena adanya rasa tidak terima atau tidak suka dari anak adopsi atas dilakukannya pengadopsian terhadap dirinya (Psikologmalang.com, 11 Januari 2013). Meski dalam beberapa kejadian yang sering terjadi dalam konteks permasalahan anak angkat tidak berbanding lurus dengan realita yang ada. Hal ini diperhatikan dengan adanya kejadian seperti penganiayaan anak yang jadi viral ternyata oleh ibu angkat pada tanggal 4 Februari 2018 (Tempo.com, 4 Februari 2018). Kasus selanjutnya adalah pertemuan haru seorang warga Belanda yang berusaha keras mencari keluarga kandungnya dan akhirnya bertemu setelah 40 tahun terpisah (Suryamalang.com, 5 Mei 2018). Data di atas menunjukkan berbagai masalah muncul ketika seseorang menyadari dirinya adalah anak angkat dan bertanya atau memahami mengapa dirinya menjadi anak angkat. Pada umumnya anak tersebut akan mencari dan kembali kepada orangtua kandungnya (Heryanti, 2019). Meskipun mungkin tidak semua anak angkat yang mempermasalahkan statusnya sebagai anak angkat. Seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri[26]
Kondisi fisik, mental dan emosional dipengaruhi dan diarahkan oleh faktorfaktor lingkungan dimana kemungkinan seseorang bisa berkembang dengan baik (Masni, 2017). Penyesuaian diri merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Agar dia bisa beradaptasi ketika berada dalam lingkungan yang baru. Manusia tidak terlepas dari lingkungan sosial, karena menurut pandangan Neo Freudian, ciri penyesuaian diri yang baik adalah perkembangan menyeluruh dari potensi individu secara sosial dan kemampuan untuk membentuk hubungan yang hangat dan peduli terhadap orang lain, sehingga individu mampu untuk mencapai penyesuaian diri yang baik (Agustiani, 2006). Allah SWT menciptakan manusia dengan berbeda antara yang satu dengan yang lain (QS.Al Hujuraat:11), namun perbedaan itu bukanlah menjadi penghalang atau pertikaian diantara makhluk sosial. Kemampuan berkomuniakasi dan penyesuaian diri yang baik sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan, karena setiap manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dalam ruang lingkup tempat ia berada terutama pada anak-anak dengan ststus adopsi. Dengan artian dimanapun anak angkat (adopsi) berada mereka dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan yang baru disekitar mereka. Orang tua angkat tidak jarang berusaha untuk tetap merahasiakan status si anak. Mereka beralasan dengan merahasiakan status si anak, Penyesuaian Diri Anak Angkat Setelah Mengetahui Status Sebagai Anak Adopsi …|213 harapan bahwa hubungan bersama dengan anak angkatnya terjaga dengan baik dan anak tidak perlu merasa berbeda dengan anak yang lain. Bedasarkan temuan penelitian (Maharani, n.d.) memberitahukan identitas anak angkat dapat menimbulkan hasil atau reaksi yang berbeda dari si anak sesuai dengan tahapan usianya. Masalah mulai muncul ketika anak memasuki usia remaja. Anak mulai menanyakan status dan identitas dirinya pada orang tua angkatnya, maka orang tua angkat wajib memberitahukan kebenaran pada anak tentang yang sebenarnya (Putra, 2018). Di sisi lain, orang tua angkat tidak ingin melukai perasaan si anak jika memberitahukan identitas yang sebenarnya dan membuat anak merasa berbeda dengan teman-temannya.
Selanjutnya penelitian (Anggunsari, 2014) menunjukan bahwa perbedaan penyampaian pengadopsian oleh orang tua bergantung pada pengalaman personal perihal kondisi psikologis, lingkungan, budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh masing-masing keluarga. Keputusan untuk mengadopsi anak juga harus disertai dengan memiliki pertimbangan masa depan anak. Siapapun akan sampai pada tahap ingin mencari tahu asal-usulnya, sehingga orang tua yang mengadopsi harus siap menghadapi keadaan tersebut. Orang tua tidak membuka diri, dikhawatirkan akan ada letupan dari orang tua kandung, saudara, tetangga bahkan si anak sendiri (Anggunsari, 2014). Selain itu anak mempunyai hak untuk tahu identitas asli dirinya. Menurut para ahli psikologi anak (Dikonstruksikan et al., n.d.; Mulyadi et al., 2016) mengatakan bahwa pengungkapan identitas anak angkat perlu dilakukan karena anak perlu tahu siapa dirinya. Sebab, hal itu merupakan bagian dari hak anak. Anak perlu tahu siapa dirinya karena hal itu sangat diperlukan untuk membangun konsep diri dengan cara yang tepat (Anggraeni, 2019). Penyampaian informasi yang dirasa paling tepat adalah dengan cara memberitahukannya secara langsung kepada anak oleh kedua orang tua yang mengadopsi. Seperti yang dikemukakan oleh Psikolog Lembaga Experd Rima Olivia pada kumpulan Artikel Psikolog Anak 3 tahun 2014, bahwa sebaiknya informasi ini didapatnya dari orang tua yang selama ini membesarkan sebagai orang yang paling tahu tentang keadaannya. Bila orang tua angkat sendiri yang memberitahukan kepada anak adopsi tentang statusnya, orang tua memiliki kesempatan untuk meyakinkan anak bahwa kenyataan tentang statusnya ini tidak mengubah kasih sayang padanya.
Orang tua mempunyai peluang untuk mengendalikan reaksi anak menghadapi kenyataan yang mungkin dapat mengguncangnya (Anggunsari, 2014). Pada penelitian lain menunjukkan partisipan mampu menerima dirinya sebagai anak adopsi yang mengalami penolakan, menerima masa lalu. Partisipan mampu menjalin hubungan positif dengan lingkungan sekitar namun mengalami kesulitan dalam lingkungan keluarga, mandiri, memiliki harapan untuk mencapai tujuan hidup, dan mampu menempatkan diri. Faktor-faktor yang memengaruhi Psychological Well Being partisipan adalah faktor demografis, dukungan sosial dan pengalaman hidup (Anggara, 2016). Hal itu disebabkan oleh adanya usaha copingstress dan sikap untuk memaafkan. Namun sering terjadi bila anak angkat mengetahui status atau identitas dirinya, anak tersebut merasa sedih dan kecewa dengan keadaan dirinya yaitu suka menyendiri, sulit untuk berbaur dengan lingkungan, sibuk dengan urusan pribadinya, serta banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Penyesuaian pribadi adalah penerimaan individu terhadap dirinya ditandai oleh tidak adanya rasa benci dan adanya keinginan untuk lari dari kenyataan atau tidak percaya pada potensi dirinya (N. S. Lestari, 2018). Sedangkan penyesuaian social terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinteraksi dengan orang lain (Fadhillah, 2013). Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebayaa, anggota masyarakat luas secara umum (Anggreani, 2019). Menurut (Fahmī, 1982) penyesuaian diri pada pokoknya adalah kemampuan untuk membuat hubungan yang memuaskan antara orang dan lingkungan. Mencakup semua pengaruh kemungkinan dan kekuatan yang melingkungi individu, yang dapat mempengaruhi kegiatannya untuk mencapai ketenangan jiwa dan raga dalam kehidupan[27]
Lingkungan di sini salah satunya yaitu lingkungan sosial dimana individu hidup, termasuk anggotaanggotanya (Pitoewas, 2018). Penelitian ini menjadi menarik karena ingin mendalami lebih jauh bagaimana penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian sosial anak-anak yang di adopsi sejak kecil (bayi) yang kemudian mengetahui status mereka sebagai anak angkat. Sebagian besar anak-anak yang mengetahui status mereka sebagai anak angkat dapat menimbulkan masalah psikologis dan sosial. Biasanya seseorang agak sulit untuk menerima keadaan status dirinya sebagai anak angkat. Untuk dapat menyesuaikan diri perlu adanya perubahan mendasar dan menyeluruh untuk lebih menguatkan pandangan positif individu, termasuk pandangan positif dalam menerima kenyataan status dirinya yang sebenarnya terutama di lingkungan keluarga atau lingkungan sosial, sehingga anak mampu dalam melakukan penyesuaian diri.
Realitas Adopsi Anak Kedudukannya dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia
Realitas lain membuktikan bahwa telah terjadi suatu kasus ketidakadilan dimana anak adopsi yang sudah hidup lama dengan sebuah keluarga angkatnya dan mereka tidak memiliki anak kandung. Sampai akhirnya harta warisan keluarga tersebut tidak diberikan kepada anak adopsinya tersebut. Hal itu terjadi pada sebuah keluarga dimana keputusan hukumnya ditetapkan oleh Pengadilan Agama sampai Mahkamah Agung.[28] Adalah benar bahwa anak angkat tersebut tidak mendapat wasiat wajibah dari keluarga yang membesarkannya, tetapi secara hukum adat, ia berhak atas harta tersebut begitu pula pandangan Islam bahwa anak angkat mendapat 1/3 bagian dari harta yang ditinggalkan.[29]
Inti persoalan dari kasus ini adalah bahwa anak angkat tidak memiliki dan tidak mendapat wasiat wajibah secara tertulis dari keluarga yang membesarkannya sampai akhirnya harta tersebut diwakafkan ke sebuah lembaga keagamaan dan mendapat keputusan hukum dari Mahkamah Agung. Sementara anak angkat tersebut, dalam perjalanannya, menggugat keputusan Mahkamah Agung tersebut.
Menilik surat Al-Ahzab ayat 4-5 di atas dapat diketahui garis hukum anak adopsi, yakni :
- Allah tidak menjadikan dua buah hati dalam dada manusia. Dan Tuhan tidak akan menjadikan anak adopsimu sebagai anak kandungmu sendiri.
- Anak adopsimu bukanlah anak kandungmu.
- Panggillah anak angkatmu menurut nama ayahnya yang asli.
- Bekas istri anak adopsi boleh menikah dengan ayah angkat
Namun pada kenyataannya sejak zaman Jahilliah orang Arab mengenal dan telah melakukan adopsi anak. Nabi Muhammad SAW pada waktu itu pernah mengangkat seorang anak laki-laki bernama Zaid bin Haritsah. Dalam Al Ahzab Ayat (4 dan 5), sesungguhnya diturunkan untuk memberikan aturan kepada umat Islam dalam mengangkat anak dengan disesuaikan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan bangsa Arab pada waktu itu.
Menurut Soimin S. penamaan anak angkat tidak menjadikan seorang mendapatkan hubungan yang terdapat dalam darah. Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam Syariat dan qonun Islam untuk dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip dasar waris mewarisi dan prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arhaam. Hubungan anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya anak sulbu, artinya anak kandung yang berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung.[30]
Dalam perkembangganya, hukum Islam memperbolehkan pengangkatan anak asal tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, sehingga prinsip pengangkatan anak dalam hukum Islam hanya bersifat pengasuhan, pemberian kasih sayang dan pemberian pendidikan. M. Budiarto menerangkan menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi faktor faktor sebagai berikut: [31]
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan keluarganya.
2. Anak adopsi tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya. Demikian juga orang tua angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
3. Anak angkat dilarang menggunakan nama orang tua angkatnya secara langsung, kecuali sekedar sebagai alamat atau tanda pengenal di atas,
4. Orang tua angkatnya tidak bisa bertindak sebagai wali nikah dalam perkawinan anakadopsinya.
Apakah anak angkat dapat waris dari orang tua angkatnya ?
Apa itu anak angkat ? Anak yang diambil perawatanya dari orang tua kandung ke orang tua angkat Di atur di uu hkm perdata dan KHITapi beda dngan anak kandung , menurut hukum perdata barat maka jadi sama dengan anak kandung kalau di barat tapi di kita tidak di atur Menurut kompilasi hkm islam anak angkat tidak dapat waris , Kalau menurut hukum kita anak adalah yang ada hubungan darah dengan pewaris
Cara pengangkatan anak angkat
1..secara adat
2 Secara menurut kompilasi hukum islam
3. secara Menurut hukum perdata
Tapi semua harus minta putusan di pengadilan
Dan max 18 tahun dan di utamakan 6 tahun terus bagaimana kalau tidak mendapatkan waris ,…..si orang tua angkat bisa lewat wasiat tapu 1/3 Dan menurut hukum p[erdata maka secara hibah Jadi anak angkat tidak mendafatkan hak waris tapi dapat melalui wasiat dan hibah
Wasiat Wajibah dan Hak Waris Anak Adopsi
Al Qur’an tidak memberi hak bagi anak adopsi untuk menerima warisan dari orang tua angkatnya, namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan produk ulama dari berbagai madzhab dan dijadikan salah satu sumber rujukan hukum di negara Indonesia memberikan ketentuan bahwa anak angkat berhak menerima bagian warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 209 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai berikut:[32]
- Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya.
- Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orangtua angkatnya.
Melihat isi bunyi Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam ( KHI) ayat (1) dan (2) di atas dapat dipahami bahwa wasiat wajibah yang dimaksud oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua adopsinya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan.[33]
Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari adat istiadat masyarakat orang Islam di Indonesia dan telah merambah dalam praktik ke lembaga Peradilan Agama. Di beberapa tempat atau provinsi seperti di Kabupaten Bantul Jawa Tengah, Sulawesi, Yogyakarta, Semarang, Ungaran, dan juga daerah Jateng di daerah Kendal telah banyak dilakukan, dan Pengadilan Agama telah memberikan penetapan yang sekaligus dipandang sebagai yurisprudensi tetap tentang adopsi anak di kalangan hakim Peradilan Agama.
Ketentuan Adopsi Anak dan Wasiatnya dalam Hukum Indonesia
- Pembuatan Surat Wasiat
Kecakapan orang membuat testament ada ketentuan sebagai berikut:[34]
Pasal 859: “Untuk dapat atau menarik kembali suatu wasiat, orang harus mempunyai kemampuan berlatar “ yaitu pembuat testament harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat tesment ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakit begitu berat, sehingga ia tidak dapat berfikir secara teratur”.
Pasal 897: “Anak-anak di bawah umur yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat.”
Sama halnya seperti yang tercantum dalam pasal 194 dalam KHI, Buku II Bab Y yaitu: [35]
- Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahum, berakal sehat dan tanpa ada paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga;
- Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari wasiat;
- Pemilikan terhadap harta seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Mengenai sahnya ketentuan dalam tasment ada peraturan sebagai berikut:
Pasal 888: “Dalam semuat surat wasiat, persyaratan yang tidak dapat dimengeri atau tidak mungkin dijalankan, atau bertentangan dengan Undang-Undang dan kesusilaan, dianggap tidak tertulis.”
Maksudnya, yaitu jika testament memuat syarat-syarat yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan Undang-Undang dan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianggap tidak tertulis.
Pasal 890: “Penyebutan suatu alasan yang palsu harus dianggap tidak tertulis, kecuali bila dari wasiat itu ternyata bahwa pewaris itu tidak akan membuat wasiat itu. “
Maksudnya, yaitu jika di dalam testament disebut sebab yang palsu, dan isi dari testament itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka testament tidak sah.
Pasal 893: “surat-surat wasiat yang dibuat akibat paksaan, penipuan atau akal licik adalah batal.”
Dalam kompilasi Hukum Islam Buku II Bab V Pasal 197 mengenai batalnya surat wasiat yaitu:[36]
- Wasiat akan menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
- Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
- Dipersalahkan secara memfitnah telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
- Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
- Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
- Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
- Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya wasiat.
- Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya.
- Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
- Wasiat akan menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Pembagian Harta Warisan, Hak dan Kedudukan Anak Menurut Hukum Adat.
Menurut hukum adat, sistem bagi harta peninggalan adalah merupakan suatu perbuatan daripada para ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak dari para ahli waris. Pembagian harta warisan yang dijalankan atas dasar kerukunan, biasanya terjadi dengan penuh pengetahuan, bahwa semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, pada dasarnya mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya.[37]
Apabila ternyata dalam pembagian harta warisan tidak terdapat pemufakatan dalam penyelenggaraan pembagian harta warisan, maka hakim (hakim adat/hakim perdamaian desa atau hakim Pengadilan Negeri) berwenang, atas permohonan para ahli waris, untuk menetapkan cara pembagiannnya serta memimpin sendiri pelaksanaan pembagiannya.
Realisasi pembagian warisan tergantung pada hubungn dan sikap para ahli waris. Selain anak kandung, anak adopsi juga dipandang sebagai ahli waris, dengan berbagai macam variasi dalam hukum adat di berbagai tempat .
Apabila terdapat anak adopsi, menurut hukum adat anak adopsi hanya akan mewarisi harta gono-gini bersama-sama dengan ahli waris yang lainnya. Anak angkat tidak berhak atas harta asal dari orang tua angkatnya, sebab ia juga akan menjadi ahli waris dari orangtua kandungnya.Jadi dalam hukum adat dikenal sebutan bahwa anak adopsi memperoleh air dari dua sumber sebab disamping sebagai ahli waris orang tua kandungnya, ia juga menjadi ahli waris atas harta gono-gini dari orang tua angkatnya. Mengenai anak adopsi ini, hukum adat berbeda dengan hukum Islam dan hukum perdata barat BW. Hukum waris Islam dan hukum waris BW tidak mengenal anak angkat, sehingga dalam hukum waris Islam dan hukum BW tidak dikenal anak adopsi sebagai ahli waris.
Dalam hukum adat apabila pewaris tidak meninggalkan anak kandung maka anak adopsi mendapat bagian yang sama dengan anak kandung. Pembagian harta warisan terhadap anak adopsi berbeda-beda disetiap daerah dan menurut adat dari daerah masing-masing.
Seperti misalnya anak angkat akan menerima bagian harta peninggalan orang tua adopsinya sapamere atau saasihna. DI Saruni, keraton (Kecamatan Pandeglang), anak adopsi dianggap sebagai ahli waris jika ditetapkan dengan akta Pengadilan Negeri. Sedangkan di Cianjur seorang anak angkat yang ditetapkan dengan akta notaris, baru dianggap sebagai ahli waris. Baik di daerah Cianjur maupun di daerah Banjar, Ciamis, Kawali, seorang anak adopsi tetap merupakan ahli waris dari orang tua kandungnya. Oleh karena itu, pengangkatan anak sama sekali tidak memutuskan kedudukannya sebagai ahli waris dari orang tua aslinya.[38]
Anak adopsi di daerah Kawali dan Cikoneng, mempunyai kedudukan yang berbeda dengan di daerah-daerah tersebut di atas. Di kedua derah ini, dijumpai ketentuan, bahwa anak adopsi akan menerima bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya sama besar dengan anak kandung dari orang tua angkatnya. Dalam hal ini wasiat atau hibah, anak adopsi akan menerima bagian sesuai dengan bunyi wasiat atau hibah, dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 dari seluruh harta peninggalan (kawali).
Hak anak adopsi sama dengan hak anak kandung yaitu mempunyai hak untuk bisa dapat penghidupan yang layak, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, serta mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya.Kedudukan hukum anak adopsi ini, di beberapa daerah lingkungan hukum adat di negeri ternyata tidak sama. Di dalam masyarakat hukum yang sifat susunan keluarganya parental, seperti di Jawa Tengah dan di Jawa Barat, dan di dalam masyarakat hukum yang sifat susunan kekeluargaannya patrilineal, sepaerti di Bali kedudukan anak adopsi adalah berbeda.
Di pulau Dewata perbuatan mengangkat anak adalah merupakan perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarga dengan orang tua kandungnya serta memasukan anak itu ke dalam keluarga bapak angkatnya, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan turunan bapak angkatnya.
Di Jawa (Timur-Tengah-Barat) perbuatan mengangkat anak hanyalah memasukan anak itu ke kehidupan rumah tangga orang tuanya saja, sehingga ia selanjutnya menjadi anggota rumah tangga orang tua yang mengangkatnya, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orang tuanya sendiri. Jadi anak angkat di daerah ini tidak mempunyai kedudukan anak kandung serta tidak diambil dengan maksud untuk meneruskan turunan orang tua angkatnya.
Prof. Bertling menulis tentang kedudukan anak angkat sebagai berikut: “bahwa anak adopsi adalah bukan waris terhadap barang-barang asal orang tua angkatnya, melainkan ia mendapat keuntungan sebagai anggota rumah tangga, setelah orang tua angkatnya meninggal dunia”).[39]Kemudian seterusnya beliau menegaskan: “bahwa jikalau barang-barang gono-gini tidak mencukupi, pada bagian harta peninggalan nanti anak angkat dapat meminta bagian dari barang asal orang tua angkatnya yang tidak mempunyai anak anak kandung”
Tentang kedudukan hukum anak adopsi ini, kiranya perlu diperhatikan juga apa yang telah ditulis oleh Djodjodigeno Tirtawinata dalam buku mereka “Adat Privacrecht van Middle Java” yaitu sebagai berikut” “bahwa kedudukan anak adopsi dan anak kandung itu sepenuhnya sama, juga menutup anggota-anggota, kerabat lainnya sebagai ahli waris”. Ini adalah semata-mata merupakan penetapan secara konsekuen dari pada asas, bahwa adopsi adalah cara pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri.[40]
Kedudukan hukum anak adopsi seperti dikemukakan oleh Prof. Djodjodigeno Tirtawinata di atas, baru diperoleh anak adopsi bila orang tua mengangkat, memandang dan memperlakukan anak itu sebagai anak sendiri, baik lahir maupun batin.
Hal yang perlu diperhatikan tentang anak adopsi ini adalah, di Jawa khususnya, bahwa pertalian keluarga antara anak kandungnya dan orang tua aslinya tidak terputus, oleh karenanya, maka akan menjadi ahli waris dari orang tua kandungnyanya sendiri.
Sah atau Tidaknya Pembuat Surat Wasiat Tersebut Menurut Adat dan Hukum Indonesia
Berbicara masalah wasiat tidak terlepas dari masalah harta kekayaan, dalam hukum dikenan macam-macam harta diantaranya:[41]
- Harta kekayaan yang berwujud dan tidak dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya piutang yang hendak ditagih (Activa)
- Harta kekayaan yang merupakan utang-utang yang harus dibayar pada saat meninggal dunia atau pasiva.
- Harta kekayaan yang masih tercampur dengan harta bawaan masing-masing suami istri, harta bersama dan sebagainya dapat berupa:
- Harta bawaan suami atau istri yang diperoleh sebelum mereka menikah baik berasal dari usaha sendiri maupun harta yang diperoleh sebagai warisan mereka masing-masing
- Harta bawaan yang diperoleh dari setelah mereka menikah dan menjadi suami istri, tetapi bukan karena usahanya misalnya karena menerima hibah, wrisan dari oarang tua.
- Harta yang diperileh selama dalam perkawinan atau usaha mereka berdua suami istri atau salah seorang dari mereka menurut Undang-undang menjadi harta bersama.
- Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh mereka. Suami istri misalnya harta pusaka suku/klan atau kerabat mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus dikembalikan kepada asalnya klan atau suku tersebut
Berhubungan erat dengan harta kekayaan tidak lepas dengan cara peralihannya diantaranya dapat beralih dengan cara jual-beli, tukar menukar, waris maupun hibah, yang berhubungan dengan kasus ini adalah cara peralihan melalui hibah wasiat
Harta hibah ialah harta kekayaan seseorang yang dibagi-bagikannya diantara anak-anaknya pada waktu ia masih hidup, pembagian barang-barang milik itu tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu juga dari barang-barang itu kepada yang mendapat barang masing-0masing dan baru akan diserahkan apabila pemberi harta sudah meninggal dunia. Kalau itu terjadi maka perbuatan itu merupakan “hibah wasiat.”[42]
Sering hibah wasiat itu terjadi kalau pemilik kekayaan mempunyai keinginan supaya harta kekayaannya dikemudian hari setelah meninggal dunia akan diperlukan menurut cara tertentu. Terlebih apabila keinginan ini akan terasa apabila hukum waris yang dilaksanakan tidak cocok sama sekali dengan keinginannya.Tujuan hibah wasiat adalah mewajibkan para ahli waris untuk membagi harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris. Maksud alinnya untuk mencegah perselisihan. Syarat pokok untuk membuat “hibah wasiat” pada umumnya sama dengan syarat pokok bagi orang yang melakukan perbuatan hukum, yaitu bahwa orang itu harus mampu menentukan kemauannya secara bebas dari mereka.
Perbedaannya terletak pada “hibah biasa” pada umumnya tidak bisa ditarik kembali. Sedangkan “hibah wasiat” ini merupakan kemauan terakhir dari seorang manusia sebelum ia meninggal. Hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh si penghibah, maka sebetulnya tidak merupkan kemauan terakhir. Penarikan ini dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam. Hibah wasiat itu harus dilakukan di hadapan notaris.[43]
Ada kalanya pada keluarga Jawa ketika orang tua (pewaris) dalam keadaan sakit yang putus harapan akan panjang umru maka akan mengumpulkan anggota keluarga, anak istri dan mungkin juga tetangga dan perangkat desa (para ketua desa), untuk menyampaikan pesan tentang bagaimana seharusnya harta peninggalannya kelak dibagi dan diselesaikan apabila ia wafat. Pesan demikian itu disebut “welingan, wekasan, atau wasiat’. Pesan tersebut dapat dimaksudkan bukan untuk pembagian harta peninggalan, melainkan juga pesan khusus tentang hutang piutang, anjuran perkawinan dan pesan-pesan lainnya.
Oleh karena itu membuat wasiat bagi seorang pewaris untuk para warisnya dianjurkan jika untuk menjaga keseimbangan diantara para ahli waris. Banyaknya harta yang dapat diwariskan tidak boleh lebih dari 1/3 bagian dari seluruh warisan, dan jika lebih diperhitungkan lagi bagi para ahli waris yang lain. Dan apabila telah dimaksudkan untuk membuat surat wasiat hendaknya lebih cepat lebih baik. Yang penting adalah bahwa para ahli waris itu di kemudian hari seluruhnya bahagia dan sejahtera serta rukun hidup mereka.[44]
ANALISIS ANAK ADOPSI DAN WASIATNYA
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas apabila dihubungkan dengan kasus yang penulis teliti, maka terdapat penyimpangan yang dilakukan Hj. Fatimah dalam memberikan hartanya kepada Yasin, hal ini sesuai dengan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung yang menyatakan:
Menurut Mahkamah Agung, Judex Facti salah menafsirkan wasiat dari almarhum Hj. Fatimah, dalam “Surat Pernyataan Penyerahan Hak Milik” (bukti T-1a) adalah sah. Sedangkan menurut Mahkamah Agung Wasiat tersebut adalah tidak sah, dengan alasan sebagai berikut:
- Dalam wasiat, tidak disebutkan secara tegas dan jelas kepada siapa badan/Lembaga apa yang akan diterima harta benda yang diwariskan.
- Yang diwariskan meliputi seluruh harta benda milik Hj. Fatimah (Petak D dalam bukti T – 1a), sedangkan menurut hukum yang diperbolehkan untuk mewasiatkan hanya 1/3 bagian. Wasiat terhadap seluruh harta benda diperbolehkan jika ada persetujuan dari ahli waris.
Alat bukti T-1a tersebut menurut isinya adalah wasiat (bukan hibah atau infaq), karena wasiat, baru akan berlaku jika yang bersangkutan telah meninggal dunia (vide-T-1a)
Dengan alasan yuridis di atas, menurut pendapat penulis pemberia surat wasiat dari Hj. Fatimah kepada Tergugat adalah tidak sah menurut hukum, karena seperti dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 196 yaitu dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa dan atau siapaa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
Selain itu pembuatan surat wasiat tersebut dibuat pada saat Hj. Fatimah dalam keadaan sakit keras sehingga hal ini juga yang menjadi alasan pemberian surat wasiat tersebut tidak sah menurut hukum karena seperti yang tercantum dalam Pasal 895 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu “Untuk dapat membuat atau menarik kembali suatu wasiat, orang harus mempunyai budi akal, artinya tidak boleh membut testament ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya berat, sehingga ia tidak dapat berfikir secara teratur.
KESIMPULAN
- Hukum Islam memperbolehkan mengangkat anak namun dalam batas-batas tertentu iaitu selama tidak membawa akibat Hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dari orang tua angkat. ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Dan kompilasi Hukum Islam menegaskan bahawa anak angkat atau orang tua angkat tidak ada hubungan mewarisi. tetapi sebagai pengakuan mengenai baiknya lembaga pengangkatan anak, hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantara wasiat atau wasiat wajibah, KHI yang sekarang menjadi acuan oleh pengadilan agama bahawa anak angkat berhak memperoleh wasiat wajibah dengan syarat tidak melebihi 1/3 harta berdasarkan fasal 209 ayat 2 KHI. VII.
- Dalam relisasinya hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan untuk semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kasus putusan Mahkamah Agung RI. No.311 K/PDT/1996 mengenai Pembatalan Surat Wasiat dalam sengketa harta warisan, antara Wakini (Penggugat) dan Yasin (Tergugat) dalam pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung RI terhadap perkara tersebut adalah lebih tepat dalam penerapan hukumnya. Dalam putuan tersebut Mahkamah Agung menerangkan bahwa pihak penggugat adalah pihak yang benar karena berdasarkan bukti-bukti dan temuan nyata yang terungkap di persidangan menguatkan pada dalil gugatan penggugat;
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. (2006). Psikologi perkembangan: Pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: Refika Aditama.
Andriyani, J. (2016). Korelasi peran keluarga terhadap penyesuaian diri remaja. Jurnal Al-Bayan: Media Kajian Dan Pengembangan Ilmu Dakwah, 22(2). Anggara, O. F. (2016). Pengaruh Expressive Arts Therapy terhadap Dimensi Psychological Well Being Pada Anak Jalanan di Jaringan XYZ [PhD Thesis]. Universitas Airlangga.
Anggraeni, A. (2019). PembentukA. Pitlo, Dalam Asa Aarief. 1979, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. (Jakarta : Intermasa.Pustaka Sinar Grafika).
Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Akademi Presindo)
Afdhol, “Pengangkatan Anak Dan Aspek Hukumnya Dalam Hukum Adat”, Makalah Dalam Seminar Tentang Pengaturan Dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak (Depok: Fhui, 29 Desember 2006)
Bushar Muhammad, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat (Jakarta: Pradya Paramita)
Dewi Rosdiana, Tinjuan Yuridis Terhadap Kedudukan Surat Wasiat, (Tesis), Sukabumi
Eman Suparman, Hukum Kewarisan Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat,Dan Bw
Http://Almanhaj.Or.Id/Content/1929/Slash/0/Adopsi-Dan-Hukumnya/
Eman Suparman. 1991, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju)
Eman Suparman. 2005, Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw, (Bandung: Pt Refika Aditama)
Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju).
Amir Syarifudin. 2004. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Prenada Media)
Hasballah Thaib. 1992. Hukum Benda Menurut Islam, Medan: Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa.
Johnny Ibrahim. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayu Media Publishing).
M. Fahmi Al Amruzi, 2012, Rekontruksi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo)
Nina Nurmila, 2021, Modul Gender dalam Islam, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati)
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group).
Sayuti Thalib. 1984. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. (Jakarta: PT.Bina Aksara).
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press).
Soedharyo Soimin, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika)
Sulaeman Rasyid, 1964, Fiqh Islam, (Jakarta:Sinar Baru Algensindo)
Sulaiman Al Faifi, 2014, Ringkasan Fiqih Sunnah, (Jakarta: Beirut Publishing)
Surojo Wignjodipuro, 1995, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Pt Toko Gunung Agung).
Wirjono Prodjodikoro. 1983, Hukum Warisan Di Indonesia. (Bandung: Sumur)
M. Budiarto, 1985, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta; Akademika Presindo)
Muderis Zaini, 1992. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum, (Jakarta; Sinar Grafika), Cet: 11
Dedi Supriyadi. 2009, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam. (Bandung: Pustaka Al Fikriis)
Fadil Sj, 2013, Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia. 1.(Malang: Uin Maliki Fress).
Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kedua Bab Xiii
[1] Undang-Undang Hukum Keluarga tahun 1974 Pasal 1 ayat, dalam Nina Nurmila, Modul Gender dalam Islam, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2021), 88
[2] Q.S Al-Nahl [16]: 72.
[3] Soerjono Soekanto dan B Solaeman. Takeko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), 275.
[4] Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan (UU No.l Tahun 1974)
[5] ومكان زمان لكل صالحة الاسلامیة الشریعة lih. Muhammad Anis `Ubâdah, Târîkh al-Fiqh alIslâmiy fi `ahd al-Nubuwwah wa al-Shahâbat wa al-Tâbi’în, (Dâr al-Thibâ’ah: t.t), juz I, 1980, hlm.10. lih juga Musfir bin `Ali al-Qahthâniy, Manhâj Istimbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyat al-Mu`âshirat, Dirâsat Ta’shîliyyat Tathbîqiyyah, (Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadrâ), Cet. 1, 2002, hlm. 25
[6] Abû Ishâq al-Syâtibiy, al-Muwâfaqat, (Kairo:al-Maktabat al-Tijâriyat al-Kubrâ) 1975, juz III, hlm.20
[7] Hal ini ditegaskan di dalam al-Qur’an Surat an -Nahl:89 yang berbunyi: شیئ لكل تبیانا الكتاب علیك ونزلنا) Kami turunkan al-Kitab kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu).
[8] Abû Ishâq al-Syâtibî, op.cit, hlm.366
[9] Ibid, hlm.369
[10] Ijtihad secara etimologi diambil dari akar kata al-juhd yang berarti al-masyaqqat atau kesulitan dan kepayahan dan juga dari al-juhd yang semakna dengan al-thâqah (daya, kemampuan dan kekuatan) sehingga secara bahasa artinya adalah mencurahkan kemampuan dalam mencari sesuatu. Jamâl al-Dîn, Ibnu Mandzûr, Lisân al-`Arab, (Beirût:Dâr Shâdir), jilid 3, hlm 133 dan 135, Ahmad bin Faris, Mu`jam Maqâyis al-Lughah,(Beirût: Dâr al-Fikr), 1979 M, jilid 1, hlm. 486-487, al-Fairuzzabadi, al-Qâmus al-Muhîth, (Mesir: Musthafa al-Bâbiy al-Halabiy), 1371 H, hlm. 351 dan Muhammad al-Râziy, Mukhtâr al-Shihhâh,(Libanon:Maktabah Lubnân), 1986, hlm 101 Sedangkan secara istilah banyak definisi yang telah dikemukakan para ulama meski pada dasarnya tidak jauh berbeda yang membedakan hanya redaksinya saja Imâm al-Ghazâli Juwaini-al Imam sedangkan بذل المجتھد وسعھ في طلب العلم باحكام الشریعة : mendefiniskan mendefiniskan ijtihad sebagai berikut المقصود تحصیل في الوسع تفریغ yang pada intinya adalah seorang mujtahid mencurahkan segenap kemampuan dalam menemukan hukum syara. Lih.al- Juwaini, Al-Kâfiyat fi al-Jadal, (Kairo:Mathba`ah `Isa al-Bâbîy al-Halabîy), 1399 H/1979M, hlm 58 dan al-Ghazali, al-Mushtashfa min `ilm al-Ushûl, (al-Madînat al-Munawwarah: Syirkat al- Madînah al-Munawwarah li al-Thibâ`ah), 2008, jilid 2, hlm 350. Wahab Khallaf menyebutkan bahwa kata Adillat al-Ahkâm, Ushûl al-Ahkâm dan al-Mashâdir al-Tasyrî`iyyat li al-Ahkâm memiliki makna yang sama. Dalil-dalil syara` tersebut ada yang disepakati oleh Jumhur ulama yaitu Al-Qur’an, al-Hadits, Ijma dan qiyas. Sedangkan yang diperselisihkan ada enam meliputi: istihsân, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhâb, al-`Urf, qaul al-Shahâbi dan Syar`u man qablanâ. Lih. Wahab Khallaf, `Ilm Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Maktabat al-Da`wat al-Islâmiyyah, hal.20-21. Sedangkan Khudari Beik menyebutkan bahwa al-Adillat al-Syar`iyyah pada dasarnya ada dua yaitu: yang bersumber dari wahyu yaitu al-Qur’an dan al-Hadits dan yang bersumber dari naqli dalam bentuk qiyas dan al-Istidlâl.. Dan pembagian ini pada dasarnya jika yang dimaksud adalah ushûl al-Adillah. (Khudari Beik, Ushul al-Fiqh, (al-Maktabat al-Kubra) 1389 H, , Cet., 6, hal.207 3 عن الحارث بن عمرو عن أناس من أھل حمص من أصحاب معاذ عن معاذ أن رسول الله صلى الله علیھ وسلم لما بعثھ إلى الیمن قال لھ : كیف تقضي إذا عرض لك قضاء ؟ قال : أقضي بكتاب الله ، قال : فإن لم تجد في كتاب الله ؟ قال : فبسنة رسول الله ، قال : فإن لم تجد في سنة رسول الله ، ولا في كتاب الله ؟ قال : أجتھد رأیي ، ولا آلو ، فضرب رسول الله صلى الله علیھ وسلم صدره ، وقال : الحمد الذي وفق رسول رسول الله لما یرضي رسول الله (رواه ابو داود و 8 الترمذى) Dari al-Hârits Bin `Amr dari beberapa orang penduduk Hims yang termasuk shahabat-shahabatnya Mu`âdz bin Jabal dari Mu`âdz bin Jabal bahwasanya Rasûlullâh, ketika mengutusnya (Mu`âdz) ke Yaman- bersabda:” Bagaimana kau memberi keputusan apabila dihadapkan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Mu`âdz menjawab: Saya akan memutuskan berdasarkan Kitabullah. Rasûlullâh berkata: Jika engkau tidak menemukan di dalam Kitabullah? Mu`âdz menjawab: Dengan Sunnah Rasûlullâh. Rasûlullâh berkata: Jika engkau tidak menemukan di dalam sunnah Rasûlullâh? Mu`âdz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasûlullâh merasa lega dan berkata : segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik
[11]kitab alIhkâm fi Ushûl al-Ahkâm, juz 5, hlm, 121 menyebutkan bahwa hadits tersebut munqathi. Meskipun demikian, banyak sekali ulama yang menilai hadits tersebut shahîh diantaranya adalah al-Khatîb al-Baghdâdiy dalam kitabnya al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, al-Qâdhiy Abû Bakar Bin al- `Arabi dalam kitab-nya `Aridhah al-Ahwadziy dan dalam kitab Ahkâm al-Qur’ân, Ibn Taimiyyah memberikan penilaian bahwa sanad hadits tersebut baik sebagaimana dimuat dalam kitab-nya Muqaddimah al-Tafsîr, al-Hâfidz al-Dzahabiy dalam kitabnya Talkhîs Kitâb al-`Ilal menyebutkan bahwa sanad hadits tersebut hasan dan dalam kitabnya al-Siyâr sanadnya shâlih. http://majles.alukah.net/diunduh pada hari Minggu, 02 Oktober 2016 4 kepada utusan Rasûlullâh (Mu`âdz) dalam hal yang diridhai oleh Rasûlullâh.
[12] Ijtihad secara etimologi diambil dari akar kata al-juhd yang berarti al-masyaqqat atau kesulitan dan kepayahan dan juga dari al-juhd yang semakna dengan al-thâqah (daya, kemampuan dan kekuatan) sehingga secara bahasa artinya adalah mencurahkan kemampuan dalam mencari sesuatu. Jamâl al-Dîn, Ibnu Mandzûr, Lisân al-`Arab, (Beirût:Dâr Shâdir), jilid 3, hlm 133 dan 135, Ahmad bin Faris, Mu`jam Maqâyis al-Lughah,(Beirût: Dâr al-Fikr), 1979 M, jilid 1, hlm. 486-487, al-Fairuzzabadi, al-Qâmus al-Muhîth, (Mesir: Musthafa al-Bâbiy al-Halabiy), 1371 H, hlm. 351 dan Muhammad al-Râziy, Mukhtâr al-Shihhâh,(Libanon:Maktabah Lubnân), 1986, hlm 101 Sedangkan secara istilah banyak definisi yang telah dikemukakan para ulama meski pada dasarnya tidak jauh berbeda yang membedakan hanya redaksinya saja Imâm al-Ghazâli Juwaini-al Imam sedangkan بذل المجتھد وسعھ في طلب العلم باحكام الشریعة : mendefiniskan mendefiniskan ijtihad sebagai berikut المقصود تحصیل في الوسع تفریغ yang pada intinya adalah seorang mujtahid mencurahkan segenap kemampuan dalam menemukan hukum syara. Lih.al- Juwaini, Al-Kâfiyat fi al-Jadal, (Kairo:Mathba`ah `Isa al-Bâbîy al-Halabîy), 1399 H/1979M, hlm 58 dan al-Ghazali, al-Mushtashfa min `ilm al-Ushûl, (al-Madînat al-Munawwarah: Syirkat al- Madînah al-Munawwarah li al-Thibâ`ah), 2008, jilid 2, hlm 350. Wahab Khallaf menyebutkan bahwa kata Adillat al-Ahkâm, Ushûl al-Ahkâm dan al-Mashâdir al-Tasyrî`iyyat li al-Ahkâm memiliki makna yang sama. Dalil-dalil syara` tersebut ada yang disepakati oleh Jumhur ulama yaitu Al-Qur’an, al-Hadits, Ijma dan qiyas. Sedangkan yang diperselisihkan ada enam meliputi: istihsân, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhâb, al-`Urf, qaul al-Shahâbi dan Syar`u man qablanâ. Lih. Wahab Khallaf, `Ilm Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Maktabat al-Da`wat al-Islâmiyyah, hal.20-21. Sedangkan Khudari Beik menyebutkan bahwa al-Adillat al-Syar`iyyah pada dasarnya ada dua yaitu: yang bersumber dari wahyu yaitu al-Qur’an dan al-Hadits dan yang bersumber dari naqli dalam bentuk qiyas dan al-Istidlâl.. Dan pembagian ini pada dasarnya jika yang dimaksud adalah ushûl al-Adillah. (Khudari Beik, Ushul al-Fiqh, (al-Maktabat al-Kubra) 1389 H, , Cet., 6, hal.207 3 عن الحارث بن عمرو عن أناس من أھل حمص من أصحاب معاذ عن معاذ أن رسول الله صلى الله علیھ وسلم لما بعثھ إلى الیمن قال لھ : كیف تقضي إذا عرض لك قضاء ؟ قال : أقضي بكتاب الله ، قال : فإن لم تجد في كتاب الله ؟ قال : فبسنة رسول الله ، قال : فإن لم تجد في سنة رسول الله ، ولا في كتاب الله ؟ قال : أجتھد رأیي ، ولا آلو ، فضرب رسول الله صلى الله علیھ وسلم صدره ، وقال : الحمد الذي وفق رسول رسول الله لما یرضي رسول الله (رواه ابو داود و 8 الترمذى) Dari al-Hârits Bin `Amr dari beberapa orang penduduk Hims yang termasuk shahabat-shahabatnya Mu`âdz bin Jabal dari Mu`âdz bin Jabal bahwasanya Rasûlullâh, ketika mengutusnya (Mu`âdz) ke Yaman- bersabda:” Bagaimana kau memberi keputusan apabila dihadapkan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Mu`âdz menjawab: Saya akan memutuskan berdasarkan Kitabullah. Rasûlullâh berkata: Jika engkau tidak menemukan di dalam Kitabullah? Mu`âdz menjawab: Dengan Sunnah Rasûlullâh. Rasûlullâh berkata: Jika engkau tidak menemukan di dalam sunnah Rasûlullâh? Mu`âdz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasûlullâh merasa lega dan berkata : segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik
[13]kitab alIhkâm fi Ushûl al-Ahkâm, juz 5, hlm, 121 menyebutkan bahwa hadits tersebut munqathi. Meskipun demikian, banyak sekali ulama yang menilai hadits tersebut shahîh diantaranya adalah al-Khatîb al-Baghdâdiy dalam kitabnya al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, al-Qâdhiy Abû Bakar Bin al- `Arabi dalam kitab-nya `Aridhah al-Ahwadziy dan dalam kitab Ahkâm al-Qur’ân, Ibn Taimiyyah memberikan penilaian bahwa sanad hadits tersebut baik sebagaimana dimuat dalam kitab-nya Muqaddimah al-Tafsîr, al-Hâfidz al-Dzahabiy dalam kitabnya Talkhîs Kitâb al-`Ilal menyebutkan bahwa sanad hadits tersebut hasan dan dalam kitabnya al-Siyâr sanadnya shâlih. http://majles.alukah.net/diunduh pada hari Minggu, 02 Oktober 2016 4 kepada utusan Rasûlullâh (Mu`âdz) dalam hal yang diridhai oleh Rasûlullâh.
[14] Amrullah Ahmad. Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional. cetakan kedua. Jakarta. Gema Insani Press. 1996
[15] (Mustofa 2008: 39)
[16] (Mustofa 2008: 39)
[17] (Fahmi Al-Amruzi 1996: 85)
[18] (Amrullah Ahmad :1996 :54-55)
[19] https://pijarpsikologi.org/blog/fakta-dan-mitos-seputar-anak-adopsi
[20] Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992) Cet: 11, 7-8.
[21] Wawancara Enjang, asal Indihiang, tanggal 20 Februari 2021
[22] Wawancara Ido Ridwanullah, tanggal 26 Februari 2021
[23] Wawancara H. Endang Munawar, Ketua DMI Bungursari Tasikmalaya, pada 23 Februari 2021.
[24] (Ni’mah, 2018)
[25] 212|Turast: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2019
[26] (Safura & Supriyantini, 2006).
[27] Wijaya & Kusumaningtyas, 2013
[28] Wawancara KH Aban bunyamin , tanggal 26 Februari 2021
[29] Eman Suparman. Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw, (Bandung: Pt Refika Aditama, 2005)
[30] Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Gratika, 1992), 42.
[31] M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Jakarta; Akademika Presindo, 1985, 45
[32] Abdurrahman, KHI di Indonesia, (Jakarta: Akademi Presindo, 1995), 164
[33] Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Akademi Presindo)
[34] Eman Suparman. 2005, Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan BW, (Bandung: Pt Refika Aditama)
[35] Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ….., 170
[36] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ….., 175
[37] Eman Suparman. 2005, Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan BW, (Bandung: Pt Refika Aditama)
[38] Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.
[39] Afdhol, “Pengangkatan Anak Dan Aspek Hukumnya Dalam Hukum Adat”, Makalah Dalam Seminar Tentang Pengaturan Dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak (Depok: Fhui, 29 Desember 2006)
[40] Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.
[41] M. Fahmi Al Amruzi, 2012, Rekontruksi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo)
[42] Dewi Rosdiana, Tinjuan Yuridis Terhadap Kedudukan Surat Wasiat, (Tesis), Sukabumi
[43] Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.
[44] Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 32
Komentar