Oleh : Yuda Wibiksana
Dalam sebuah kajian ilmiah, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dan beberapa riwayat tentang nilai nilai ketakwaan, tulisan ini disadur dan disempurnakan oleh saya yang diambil dari beberapa sumber terpercaya dan tentunya sesuai apa yang Nabi Muhammad ﷺ wasiatkan tentang kejadian kejadian di akhir zaman..
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)
Rosulullah Muhammad ﷺ bersabda :
fitnah Sarra’ yang asapnya muncul dari bawah kedua kaki seorang laki-laki Ahlu-baitku (keturunan Nabi) ia mengaku berasal dari keturunanku padahal bukan (tidak diakui Nabi). Wali-waliku adalah orang yang bertaqwa. (HR. Abu Dawud, IV/4242)
Keturunan memang penting, tetapi menjadi bermasalah ketika terlalu membangga-banggakan keturunan (nasab), apalagi bermasalah jika yang diakuinya adalah Nasab Suci Baginda Nabi ﷺ ini bukan masalah Ba’alawi ini masalah menjaga Kesucian Nasab Suci Baginda Nabi ﷺ kalo mencatut nama Penjahat sih tidak masalah, dan Bagaimana seandainya ada sekelompok orang yang bernama atau bergelar “Habib” yang mengaku keturunan Nabi ﷺ namun kelakuan, ahlaknya jauh dari ahlak Rosulullah ﷺ dan tidak mengikuti ajaran-ajaran dari Nabi ??
Abdullah bin Umar berkata, “Saat kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bercerita tentang fitnah, panjang lebar beliau bercerita seputar fitnah itu hingga beliau menyebutkan tentang fitnah Al Ahlas. Seorang laki-laki lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu fitnah Al Ahlas?” beliau menjawab: “Adanya permusuhan dan peperangan, Kemudian fitnah Sarra’ yang asapnya muncul dari bawah kedua kaki seorang laki-laki Ahlu-baitku (keturunan Nabi) ia mengaku berasal dari keturunanku padahal bukan (tidak diakui Nabi). Wali-waliku adalah orang yang bertaqwa. (HR. Abu Dawud, IV/4242)
Tak sedikit orang di dunia ini yang terus larut dalam aliran perasaan membanggakan dirinya, nasabnya dan tentunya itu bermasalah dengan makna kemuliaan itu sendiri, dimana sesungguhnya dalam ajaran Islam, yang disebutkan dalam Alquran, kemuliaan yang sesungguhnya ialah berdasarkan ketakwaan seseorang, sebagaimana Allah firmankan didalam Surat Al-Hujurat : Ayat 13
Bahwa kemuliaan seseorang berdasarkan ketakwaan menunjukkan bahwa derajat mulia bukan dilahirkan, tetapi perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh. Ini mempunyai makna semua sama di hadapan Allah swt. Dan ini juga bermakna bahwa merasa diri lebih mulia dari orang lain (hanya karena keturunan) adalah suatu kesombongan yang berdosa. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Allah tidak suka hamba-hambaNya memakai milikNya: “Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya” (HR. Muslim). “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan” (HR. Muslim).
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat, mereka yang merupakan keturuan Sayyidah Fathimah dari jalur Hasan maupun Husain adalah keturunan Rasulullah ﷺ melalui jalur nasab. Adapula orang lain yang bisa menyambung kepada Baginda Nabi bukan melalui jalur nasab, tapi karena jalur sebab. Mereka adalah para ulama yang benar-benar ulama, yaitu mereka yang selain alim juga mengamalkan ilmunya. Dalam sebuah hadits yang panjang, diriwayatkan oleh Katsir bin Qais Rasulullah ﷺ disebutkan:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi.” (Sunan Abi Dawud, juz 1, halaman 81)
Nabi tidak meninggalkan harta benda, bukan dinar, bukan pula dirham. Yang ditinggalkan adalah ilmu. Oleh karena itu yang menjadi pewaris gudang ilmu Rasulullah ﷺ adalah orang-orang yang berilmu. Baik itu dzurriyyah (keluarga) secara nasab maupun tidak. Apabila ternyata ada dzurriyah Rasul secara nasab namun ia sekaligus menjadi ulama, lengkaplah dia karena keilmuan dan mempunyai keturunan darah daging Rasululllah ﷺ yang mulia.
Dari dulu Nabiﷺ sudah wasiatkan akan datang suatu zaman orang yang mengagung-agungkan kemuliaan “yang asapnya muncul dari bawah kedua kaki seorang laki-laki Ahlu-baitku (keturunan Nabi) ia mengaku berasal dari keturunanku padahal bukan (tidak diakui Nabi) dari Ahlul-baitku. Wali-waliku adalah orang yang bertaqwa. (HR. Abu Dawud, IV/4242)
Oleh karena itu, mengikuti sikap-sikap baik para utusan Allah menjadi penentu. Bisa jadi, ada keluarga Nabi tapi karena tidak mengikuti jejak Nabinya, ia bisa tidak diakui bagian Nabi itu sendiri Begitu pula sebaliknya, bukan keluarga Nabi namun patuh kepada Nabi, ia bisa dianggap menjadi keluarganya Nabi Muhammad ﷺ. Semua tergantung pada kepatuhan, ketakwaan bukan keturunan !
Karena itu, dari pada menghabiskan waktu, pikiran, harta dan tenaga untuk membanggakan diri dan mengikuti sekeompok orang yang mengaku keturunan Nabiﷺ tapi ternyata palsu, maka bukankah lebih baik bekerja untuk diri sendiri dalam meningkatkan ketakwaan diri. yang ini jauh lebih bermanfaat dan berpahala buat kita serta menjauhkan diri dari perbuatan yang mengandung dosa
~ wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.
(Allah adalah zat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya)