oleh

Pelanggaran HKI Zaman NOW: Antara Totalitas dan Realitas

Oleh: Teddy Fiktorius, M.Pd.

(Guru Bahasa Inggris SMP-SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat)

Profesionalisme guru dan perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan dua substansi penting yang berjalan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. Maka dari itu, tidak mengherankan jika terdapat dua Undang-Undang Republik Indonesia yang mengatur kedua substansi tersebut, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Secara spesifik, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 40 Ayat (1) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 14 ayat (1) mengamanatkan bahwa seluruh guru di Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak eksklusif dalam melaksanakan tugas keprofesionalan berupa hak atas kekayaan intelektual.

Dunia pendidikan di Indonesia sangat rentan terhadap aksi pelanggaran HKI. Mengapa demikian? Di satu sisi, guru dituntut totalitasnya dalam pengembangan materi pembelajaran. Di sisi lain, guru dihadapkan pada realitas di lapangan bahwa menggandakan sebagian atau bahkan seluruh buku merupakan jalan pintas, padahal dalam kekayaan intelektual tersebut melekat hak cipta penulis. Apabila kegiatan fotokopi dilakukan tanpa memeroleh izin dari pemegang hak cipta, maka tindakan ini dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Selanjutnya dapat kita simpulkan bahwa guru merupakan subjek pelanggar hak cipta, hak yang bisa saja dimiliki oleh guru lainnya yang menjadi pemegang hak cipta atas kekayaan intelektual tersebut. Pernyataan tersebut memiliki implikasi bahwa upaya peningkatan profesionalisme guru dinodai sendiri oleh rekan satu profesi. Sungguh miris memang.

Kasus di atas merupakan contoh kecil nan nyata dari praktik pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan oleh guru tanpa menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk dari pelanggaran hak cipta. Tanpa disadari tindakan tersebut dapat berujung pada pembunuhan kreativitas rekan guru lainnya sebagai penulis. Guru sebagai pemegang hak cipta dirugikan oleh guru yang melanggar hak cipta secara moril dan materil. Eskalasi pelanggaran hak cipta demikian akan berimbas pada profesionalisme guru. Guru sebagai pencipta karya intelektual pada akhirnya merasa enggan untuk berkarya karena hasil karyanya tidak dihargai dan dilindungi secara optimal. Keengganan untuk berkarya tentu pada akhirnya akan berpengaruh negatif pada upaya pengembangan profesionalisme guru.

Jika kondisinya seperti ini, jargon “guru mulia karena karya” hanya akan terdengar manis di telinga, namun terasa pahit jika dilaksanakan. Sebagai konsekuensinya, jargon baru yang lebih bijaksana perlu digaungkan ke telinga para guru, yakni “guru mulia karena menghargai HKI”.

Lalu, langkah apa yang harus ditempuh oleh pemerintah sebagai upaya perlindungan HKI para guru?

Sebagai langkah preventif, pemerintah memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan sosialisasi yang lebih intens tentang pentingnya penghargaan dan perlindungan terhadap suatu kekayaan intelektual. Sebagai hasil dari upaya sosialisasi tersebut, diharapkan pemakai karya intelektual memiliki kesadaran penuh untuk menghargai hasil karya orang lain. Mereka juga perlu menyadari bahwa tindakan pelanggaran hak cipta merupakan tindakan yang memiliki unsur pidana. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak melakukan pelanggaran.

Sebagai langkah represif dalam upaya penegakan hukum perlindungan HKI, pemerintah harus memberikan sanksi pidana yang tegas kepada pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan pelanggaran hak cipta. Sebagai hasil dari upaya penindakan hukum tersebut, diharapkan timbulnya efek jera bagi pelanggar sehingga tindakan serupa tidak diulangi di kemudian hari.

Pembahasan perihal perlindungan HKI dengan contoh kasus di atas tidak berakhir di sini saja. Dapat ditarik kesimpulan bahwa contoh kasus pelanggaran HKI tersebut merupakan contoh tindakan pelanggaran yang masih bersifat konvensional, yakni pelanggaran yang mengandalkan mesin fotokopi untuk proses penggandaan. Tentu saja, fenomena tersebut masih terkurung oleh ruang dan waktu. Akan tetapi, dinamika perlindungan HKI terasa lebih signifikan ketika era digital abad 21 membawa dampak yang luas bagi perkembangan IPTEK.

Di era digital, teknologi informasi dan komunikasi secara radikal telah merubah cara-cara akses dan penggunaan karya intelektual. Teknologi memungkinkan informasi dan komunikasi terjadi di mana pun dan kapan pun dengan biaya yang lebih ringan dan waktu yang lebih cepat. Karya-karya intelektual berbentuk digital dengan mudah diperoleh dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Pernyataan ini senada dengan Syafrinaldi (2012) yang menjelaskan bahwa tindakan tersebut merupakan ancaman yang potensial terhadap perlindungan HKI. Apa yang pada zaman sebelumnya membutuhkan waktu yang lama untuk didapatkan telah menjadi barang yang saat ini dapat dijangkau hanya dalam hitungan menit. Sebagai contoh, materi pembelajaran yang memiliki hak cipta dengan mudah dan cepat diunduh, digandakan, dan dipakai dalam kegiatan belajar mengajar tanpa memerhatikan hak cipta yang melekat pada karya tersebut.

Contoh kasus di atas hanya sebagian kecil dari bentuk modern pelanggaran HKI zaman NOW di mana membajak, menjiplak, menggandakan, atau apapun istilah yang dipakai untuk merujuk pada tindakan pelanggaran HKI, adalah hal yang mudah dilakukan karena teknologi sudah sedemikian maju dan payung hukum terhadap para pemegang hak cipta dirasakan belum begitu kuat penegakannya di Indonesia. Kondisi demikian kemudian melahirkan pemikiran yang skeptis, yakni dengan tidak optimalnya perlindungan HKI, maka guru-guru yang sebenarnya memiliki potensi untuk menghasilkan karya yang kreatif, inovatif, dan kompetitif memiliki keengganan untuk berkarya karena berasumsi bahwa hasil karyanya akan dibajak.

Jika sudah demikian, upaya peningkatan profesionalisme guru akan menjadi hal yang dianggap sekilas lalu bagi para guru. Pada akhirnya, seyogyanya perlu dilakukan penyesuaian jargon, yakni “guru mulia karena karya” menjadi “guru profesional karena HKInya terjamin”. Iya, kan?

Komentar