Maumere, Flores, NTT LINTAS PENA
Perkembangan jaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menggeser posisi nilai kearifan local dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan local tidak lagi dimaknai sebagai arah pedoman hidup,tetapi hanya dipandang sebagai objek narasi dan tontonan menarik karena mengandung nilai estetis,unik dan langka.
Fakta menunjukkan bahwa masyarakat kita mulai meninggalkan nilai-nilai kearifan local secara perlahan-lahan dan mengadopsi semangat hidup kekinian yang lebih modern. Mempertahankan dan mewariskan tradisi dipandang sebagi perbuatan konyol, tindakan arkais/kuno karena tidak sesuai dengan perkembangan jaman,tidak gaul/hits.
Demi melakukan pemaknaan ulang terhadap nilai-nilai kearifan local dalam memastikan terpenuhinya hak EKOSOB dan pembangunan, menggali nilai-nilai kearifan local yang telah hilang dan membangun kerangka berpikir masyarakat terkait pemenuhan hak budaya sebagai salah satu cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Untuk itu Perkumpulan Bantuan Hukum Nusa Tenggara (PBH-Nusra) bekerjasama dengan Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan (YIka) menyelenggarakan kegiatan Panel Diskusi yang bertajuk “Pemaknaan Nilai Kearifan Lokal dalam Pemenuhan Hak-Hak Ekonomi Sosial Budaya (EKOSOB) dan Pembangunan bertempat di Aula St. Camilus Social Centre Maumere, Senin, 29 Oktober 2018.
Panel diskusi yang menghadirkan 50 peserta yang terdiri dari utusan masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa, LSM,ORMAS dan Akademisi ini menghadirkan dua nara sumber Laurensius Nadus Ketua Aliansi Masyarakat Adat Flores bagian Timur dan Pastor Otto Gusti Madung, SVD, Akademisi yang juga Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Flores NTT yang membedah “Budaya dalam Perspektif HAM” dan dimoderatori oleh Antonius Yohanis Bala dari PBH Nusra.
Sius Nadus dari Aliansi Masyarakat Flores ini mengatakan negara ini dibangun berdasarkan kearifan local. Hal ini tertuang dalam UUD 45. Sejak tahun 1999 Gerakan Advokasi dan diakui sebagai kedaulatan masyarakat adat yang konstitusional.
“ Kearifan local masih tertanam kuat didalam pemenuhan hak ekonomi sosial budaya. Indikasi ini dapat ditunjukkan lewat penyelesaian masalah karena konflik masyarakat dan hukum adat diterapkan, dibidang ekonomi kearifan local yang berhubungan dengan petani dan hak atas tanah dan kekayaan alam,”ungkap Sius.
Pastor Otto Gusti Madung,SVD ketika membedah Materi “Budaya dalam Perspektif HAM” mengatakan Hak-hak asasi manusia adalah jaminan yang diberikan oleh pihak kuat kepada pihak lemah dalam masyarakat: meskipun kau tak punya kekuatan, tetapi kau tetap akan diperlakukan sebagai manusia dan tetap boleh hidup sesuai dengan harkatmu sebagai manusia.
Maka, jauh daripada individualisme, lanjut Pastor Otto, hak-hak asasi manusia merupakan sarana utama untuk menjamin solidaritas antara yang kuat dan lemah dalam masyarakat modern. Mengakui hak-hak asasi manusia berarti, bahwa dalam masyarakat itu mereka yang lemah atau minoritas tetap merupakan warga masyarakat yang sama bebas dan terhormat dalam harkat kemanusiaannya dengan yang lain-lain. Semua kasus hak asasi manusia selalu menyangkut pihak yang lemah, yang terancam, yang tidak dapat membela diri, yang dianggap tidak berguna.
“Dalam kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik moderen, hak-hak asasi manusia bukanlah pendukung individualisme, melainkan sebaliknya tanda solidaritas nyata sebuah bangsa dengan warga-warganya yang paling lemah. Dalam kondisi modern, kekeluargaan dan gotong –royong sebuah bangsa justru menjadi nyata apabila ia menyatakan dengan seresmi-resminya bahwa semua warganya, dalam situasi apa pun, selalu akan diperlakukan sebagai manusia.” tandas Pastor asal Manggarai Flores ini .( Yuven Fernandez)
Komentar