Oleh: Dian Rahmat Nugraha.SHI,M.Sy (Mahasiswa S.3 UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
ABSTRAK. Pembaruan hukum keluarga di negeri kita melalui putusan pejabat berwenang atau penguasa sangat mungkin mengalami pembaruan melihat perkembangan situasi dan kondisi yang ada di masyarakat yang dinamis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja pembaruan hukum keluarga di negeri ini ,. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif-kualitatif, dengan menggunakan pendekatan kajian pustaka (library research). Di sini penulis mengumpulkan literature-literatur yang sesuai dengan tema kajian, lalu membacanya, mencatat dan menganalisisnya. Analisa data melalui tahap memilihan, menelaah, sampai pada menyimpulkan. Penelitian menyimpulkan bahwa Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia, adalah suatu keniscayaan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, pengaruh globalisasi ekonomi, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang hukum, dan juga pengaruh pembaruan pemikiran Islam yang mengharuskan pintu ijtihad senantiasa terbuka untuk menemukan hukum baru terhadap persoalan baru dalam hukum keluarga , prinsip hukum keluarga dirasakan sudah cukup baik dan dengan political willnya pemerintah , masyarakat kita atau rakyat kita sudah sedikit mengalami kemajuan di banding negara lain, dan hukum keluarga di kita sudah di atur dengan perjuangan yang keras dan berdarah darah hukum keluarga ini adanya pembaruan hukum yang berlandaskan keadilan dan bersifat progresif yang di kontruksi dari hukum fiqih dan hukum adat, meski belum maksimal karena banyaknya pertentangan yang silih berganti tinggal kita mengoftimalkan saja kebijakan yang didapat dari perjuangan legislatif dan eksekutif dan pelan tapi pasti kita terus memaksimalkan kemaslahatan kita bersama
PENDAHULUAN
Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka disebabkan antara lain oleh UndangUndang Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, utamanya kehidupan wanita, isteri, ibu dan anak-anak di dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya. Sepanjang sejarahnya, bahwa hukum keluarga di Indonesia telah mengalami pasang surut seirama dengan pasang surut sampai perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia pada zaman penjajahan Barat dahulu.
Pada masa Kerajaan Islam di Pulau Jawa (berlangsung sekitar tahun 1613-1882), al-ahwal al-syakhsyiyyah (hukum keluarga), menunjukan lahirnya realitas baru, yakni diterimanya norma-norma sosial Islam secara damai oleh sebagian besar penduduk Nusantara. Hukum keluarga Islam sebagai hukum bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, karena kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakannya dalam kekuasaannya masing-masing. Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.c[1]Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.[2] Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga / perkawinan.[3] Hal ini sesuai dengan konteks Indonesia, sebuah negara yang telah melakukan pembaruan dalam hukum keluarga Islam.[4] Secara historis, pembaruan hukum perkawinan Islam di Indonesia dapat dibagi dalam tiga periode yaitu:[5] (1) pra penjajajahan; (2) masa penjajahan; dan (3) masa kemerdekaan (masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa reformasi).
Pembaruan hukum keluarga Islam bagi kita adalah gerakan ijtihad untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya ataupun menetapkan hukum -hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara tertentu(berdasarkan kaidah-kaidah istinbat al-ahkim yang dibenarkan) untuk menjadikan hukum Islam dapat tampil lebih segar dan Nampak modern (tidak ketinggalan zaman).Berbeda dengan kedua pandangan di atas, Sulaiman Abdullah melihat pembaruan hukum Islam dari sisi perubahannya serta fungsi dari hukum itu sendiri. Jika perubahan hukumnya hanya sebatas pemberian isi konkrit terhadap norma yang abstrak sehingga hukum difungsikan sebagai social control maka hal ini disebut sebagai perubahan penerapan.
Dengan demikian pembaruan hukum Islam dilakukan agar mampu merealisasi tujuan syari’ah semaksimal mungkin yang meliputi kemaslahatan hidup manusia di dunia an akhirat. Memang sejak awal, hukum Islam pada hakekaatnya adalah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia yang selanjutnya oleh al-Shatibi dipilah ke dalam tiga kategori yaitu maqasid al-daryriyah, maqasid al-hajiyah dan maqasid al-tahsiniyah. Maqasid daruriyah dimaksudkan untuk memelihara eksistensi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat yang meliputi pemeliharaan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Maqasid al-hajiyah dimaksudkan untuk menhilangkan kesulitan, sementara maqasid al-tahsiniyah dimaksudkan agar manusia dalam kehidupannya dapat mencapai tingkat sempurna.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan pembaruan HKI dengan mengacu kepada beberapa uraian di atas adalah upaya maksimal yang dilakukan untuk membuat formulasi hukum keluarga Islam yang adaptif terhadap perkembangan zaman dan tentunya harus memenuhi rukun pembaruan yaitu tujuan, ijtihad, pelaku pembaruan, wilayah ijtihad, faktor penyebab terjadinya pembaruan hokum dan fungsi hukum.
Hukum keluarga Islam dirasa sangat penting kehadirannya di tengah-tengah masyarakat muslim karena permasalahan tentang keluarga menyangkut tentang perkawinan, kewarisan dan lain sebagainya yang tidak bisa disamakan dengan yang beragama non muslim, sehingga masyarakat menginginkan adanya hokum keluarga Islam yang berlaku khusus, apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin berkembang pula sehingga dibutuhkan metode-metode untuk pembaruan hukum. Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah jawaban dari keresahan, ketidakpastian dan tuntutan masyarakat muslim untuk menjadi pedoman, dan rujukan dalam mengatasi permasalahan seputar hukum keluarga.
Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun 1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan agama , hukum perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masingmasing penduduk. Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan untuk umat Islam. Saat ini umat Islam di Indonesia merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada sakralitas baru sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat dievaluasi apalagi direvisi. Padahal, sejarah banyak mencatat dan menggambarkan tentang evolusi hukum termasuk dalam hal hukum keluarga. Oleh karena itu, melalui pendekatan historis, makalah ini akan menggambarkan secara holistik sejarah evolusi hukum keluarga Islam di Indonesia seputar konsep, metode dan model pembaharuannya serta aspek pembaharuan yang dilakukan.
Permasalahan Dalam makalah ini yang menjadi pokok masalahnya adalah bagaimana bentuk pembaharuan hukum keluarga di Indonsesia yang mungkin kita sudah merealisasikanny secara empiris dalam kehidupan sekarang ini
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif-kualitatif, dengan menggunakan pendekatan kajian pustaka (library research). Penelitian deskriptif
HASIL DAN PEMBAHASAN
Undang-undang no. 1 tahun 1974 dalam berbagai perspektif baik dalam Perspektif Historis-Politis dan Perspektif Sosiologis-Filosofis
hukum Islam bidang keluarga di Indonesia yang mempunyai daya tahan dari hempasan arus westernisasi yang dilaksanakan melalui sekularisme di segala bidang kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman, tempat, dan dikodifikasikan, baik secara parsial, maupun total, yang telah dimulai secara sadar sejak awal abad XX setahap demi setahap[6]. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengalami proses sejarah yang sangat panjang. Berawal pada tahun 1950 ketika pemerintah membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Teuku Muhammad Hasan untuk membuat rancangan UU yang khusus mengatur tentang hokum perkawinan, talak, dan rujuk yang kemudian rancangan tersebut diselesaikan pada tahun 1952 sekalipun pada akhirnya rancangan itu gagal untuk diajukan ke DPR karena banyaknya kritik dari berbagai pihak.
Namun pada saat yang sama, tatkala tahun 1958 RUU perkawinan umat Islam diajukan ke DPR secara bersamaan muncul RUU perkawinan yang berlaku secara nasional, tetapi undang-undang perkawinan umat Islam ataupun rancangan undang-undang nasional tidak berhasil dijadikan sebagai undang-undang dan dikembalikan kepada pemerintah, tahun berikutnya tepatnya pada tanggal 31 Juli 1973 rancangan undang-undang perkawinan yang pada akhirnya menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diajukan oleh presiden kepada piminan DPRRI. RUU tentang perkawinan yang diajukan pemerintah adalah RUU perkawinan nasional yang berlaku untuk semua warga Negara dan disinyalir bercirikan sekuler dan bahkan secara ekstrim terdapat tuduhan bahwa RUU tersebut sengaja dibuat untuk mengkristenkan Indonesia, sehingga secara provokatif hamka menfatwakan keharaman untuk mengikuti RUU perkawinan yang diajukan oleh pemerintah dan barang siapa yang masih tetap melaksanakan RUU tersebut maka ia adalah kafir.
Selain itu, dari rangkaian historis di atas juga terlihat bahwa RUU Perkawinan yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-undang berkisar antara tahun 1973, kemudian pada tahun 1974 rancangan itu disahan menjadi undang-undang dan selanjutnya pada tahun 1975 Undang-undang perkawinan telah berlaku secara efektif.
Dalam kajian politik, eraOrde Baru (1966-1998) menurut analisa Mahfud tergolong ke dalam konfigurasi politik yang otoriter yang ditunjukkan oleh peran eksekutif yang sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislative didirikan sebagai lembaga yang lemah. Sehingga hokum yang dilahirkan berkarakter konservatif dan ortodoks. Dalam hal ini, hokum bersifat positivis-instrumentalis dan berfungsi sebagai alat ampuh bagi pelaksanaan ideology dan program Negara.
Kajian ini menguatkan pemahaman bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan produk politik dari konfigurasi politik yang otoriter, sehingga Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 layak disebut sebagai undang-undang yang berkarakter ortodoks. Hal ini terlihat dari peranan masyarakat yang sangat minim dalam proses pembuatan undang-undang tersebut, sebaliknya ia dikuasai oleh pihak eksekutif terutama lembaga kepresidenan yang memliki kewenangan terhadap hokum.
Untuk mentipologikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ke dalam produk hokum yang responsive memang cukup beralasan, selain undang-undang tersebut mampu bertahan dalam kisaran waktu yang cukup lama yakni sejak diundangkannya pada tahun 1974 hingga kini baru dilakukan perubahan terhadap pasal 43 ayat (1) juga didukung oleh landasan teoretik.
Terlepas dari pengkategorian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai produk hukum yang ortodoks ataukan produk hokum yang responsive, undang-undang tersebut adalah peraturan tertulis yang hanya dapat menjamin kepastian hokum sekalipun dengan ongkos yang sangat mahal yaitu adanya kesulitan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi disekelilingnya sehingga dengan demikiaan perubahan hokum menjadi masalah yang penting.
Dan Seiring dengan perkembangan hukum, sosial, dan budaya masyarakat, tentunya UU Perkawinan membutuhkan penyempurnaan. Penyempurnaan dilakukan mengingat dalam penyelenggaraan perkawinan ada yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dari pembentukan UU Perkawinan. Hal tersebut antara lain terlihat dari adanya perbedaan batas umur untuk kawin bagi pria dan wanita, ketiadaan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan hanya karena keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan, serta ketiadaan perlindungan terhadap hak-hak suami isteri yang sebelumnya belum melakukan perjanjian perkawinan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap UU Perkawinan.[7]
Bangsa Indonesia bersepakat mencantumkan tujuan bernegaranya dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Lebih jelasnya, tujuan bernegara Indonesia sebagaimana tertuang dalam Alinea Keempat UUD NRI Tahun 1945, adalah Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Keluarga merupakan satuan terkecil dan bersifat dasar bagi tercapainya kehidupan sosial masyarakat. Lembaga keluarga memiliki fungsi pokok dalam memenuhi kebutuhan biologis, sosial ekonomi, dan pendidikan. Jika dalam keluarga tidak tercapai kebahagiaan kekal dan sejahtera tentunya akan berdampak pada masyarakat secara luas. Oleh karena nya, negara memberikan perhatian yang khusus terhadap lembaga perkawinan sebagai pintu gerbang menuju terbentuknya keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera. Salah satu upaya negara dalam mewujudkan keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera adalah dengan menjadikan lembaga perkawinan sebagai suatu lembaga yang diikat secara lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita dewasa didasarkan pada persetujuan keduanya. Bahwa dalam perkawinan, baik pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban sebagai suami isteri untuk melaksanakan peran masing-masing dalam membentuk keluarga bahagia kekal dan sejahtera berdasarkan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum. Berdasarkan hal tersebut maka negara perlu hadir untuk memastikan adanya keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan lembaga perkawinan sehingga tujuan perkawinan dapat tercapai.contoh pembarua hukum keluarga di Indonesia diantaranya
Kasus anak luar kawin dan Pencatatan Perkawinan Dalam Sorotan Fiqh Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974/ konstitusi kita
Status anak menurut hukum Islam disini yaitu status anak menurut hukum fiqih. Dalam Islam anak adalah anak yang dilahirkan, anak tercipta melalui ciptaan Allah dengan perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan kelahirannya. Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak di dalam Islam adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.
Hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan. Dalam hukum Islam ada ketentuan batasan kelahirannya, yaitu batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah 6 (enam) bulan. Berdasarkan bunyi dalam Al-Qur’an:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…”[8].
Dan dalam surat Luqman ayat (14) :
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya : ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun…”
Ini menjelaskan masa kehamilan dan masa menyusu yang ada pada ayat pertaman itu , digabungkan menjadi 30 (tiga puluh) bulan. Tidak dirinci dalam ayat ini, beberapa bulan masa hamil dan berapa bulan masa menyusu. Dan Ayat kedua tersebut menjelaskan masa menyusu selama 2 tahun (24 bulan). Ayat ini dianggap sebagai penjelasan dari masa menyusu yang disebut secara global dalam ayat disebut pertama di atas.
Hukum Islam ada yang menjelaskan anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan (177 hari) semenjak pernikahan orang tuanya, tidak perduli apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam perkawinan ataukah sudah berpisah karena wafatnya si suami, atau karena perceraian di masa hidupnya. Dan jika anak itu lahir sebelum genap jangka waktu 177 hari itu maka anak itu hanya sah bagi ibunya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 30 bulan setelah dikurangi 24 bulan masa menyusu, sisanya tinggal enam bulan sebagai masa minimal kehamilan. Aswadi Syukur, menyebutkan bahwa para fukaha menetapkan suatu tenggang kandungan yang terpendek adalah 180 hari. Seluruh mazhab fikih, baik mazhab Sunni maupun Syi’ah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan.
Penghitungan antara jarak kelahiran dengan masa kehamilan terdapat perbedaan. Menurut kalangan Mazhab Hanafiah dihitung dari waktu akad nikah. Dan menurut mayoritas ulama dihitung dari masa adanya kemungkinan mereka bersenggama. Maka berdasarkan pendapat di atas, anak yang dilahirkan pada waktu kurang dari enam bulan setelah akad nikah seperti dalam aliran mazhab Abu Hanifah, atau kurang dari enam bulan semenjak waktunya kemungkinan senggama seperti pendapat mayoritas ulama, adalah tidak dapat dinisbahkan kepada laki-laki atau suami wanita yang melahirkannya. Hal itu menunjukkan bahwa kehamilan itu bukan dari suaminya.
Wahbah az-Zuhulaili dalam Aswadi Syukur berpendapat:
Anak tersebut tidak bisa dinisbahkan kepada suami perempuan itu. Tidak sahnya seorang anak untuk dinisbahkan kepada suami ibunya, mengandung pengertian bahwa anak itu dianggap sebagai anak yang tidak legal, tidak mempunyai nasab, sehingga tidak mempunyai hak sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orang tuanya.
Memastikan bahwa anak apakah sungguh-sungguh anak ayahnya (dapat dinisbahkan kepada suami ibunya) yang sah, para fukaha menetapkan ada tiga dasar yang dapat dipergunakan untuk menentukan apakah anak yang sah atau tidak :
- Tempat Tidur yang Sah (Al-Firasyus Shahih)
Tempat tidur yang sah adalah adanya tali perkawinan yang sah antara ayah dan ibu si anak semenjak mulai mengandung. Maka apabila bayi yang dalam kandungan itu lahir, keturunannya dihubungkan kepada kedua orang tuanya, tidak diperlukan lagi adanya pengakuan dari pihak si ayah dan bukti-bukti lain untuk menetapkan keturunannya.
- Pengakuan
Seorang anak yang sah dapat ditetapkan dengan melalui pengakuan dengan syarat:
- Orang yang diakui itu tidak dikenal keturunannya.
- Adanya kemungkinan orang yang diakui itu sebagai anak bagi orang yang mengakuinya.
- Pengakuan itu dibenarkan oleh anak yang diakuinya.
Apabila syarat-syarat itu telah dipenuhi maka anak yang diakui itu sebagai anak sah dari yang mengakuinya.
- Saksi
Keturunan anak yang sah dapat juga ditentukan dengan adanya bukti yang konkret seperti adanya dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang wanita. Apabila seseorang mengakui bahwa seseorang yang lain adalah anaknya yang sah sedang orang yang diakui itu menolak, maka yang mengakui dapat mengemukakan dua orang saksi sebagai bukti dan hakim memutuskan bahwa orang yang diakui itu adalah anak yang sah. Dari uraian tersebut diatas penulis berpendapat bahwa status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil menurut hukum Islam adalah apabila anak tersebut lahir sekurang-kurangnya enam bulan dari pernikahan yang sah kedua orang tuanya, maka anak tersebut adalah anak sah dan dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Sedangkan apabila anak itu lahir kurang dari enam bulan semenjak pernikahan yang sah kedua orang tuanya, maka anak tersebut adalah anak yang tidak sah dan tidak dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Anak ini hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibunya saja.
Hubungan yang kokoh dari hubungan pertalian darah oleh hukum syara’ diberikan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Adanya hubungan nasab antara orang tua dengan anak, menimbulkan hak-hak anak atas orang tuanya, yaitu
- Hak Radla’
Hak Radla’ artinya hak anak untuk mendapatkan pelayanan makanan pokoknya dengan jalan menyusu pada ibunya..
- Hak Hadlanah
Menurut Bahasa kata “hadlanah” berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Menurut istilah fikih, hadlanah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.13 Para ahli fiqh mendefinisikan “hadhanah” ialah:
“Melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusakya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. Anak yang sah nasabnya berarti tugas hadlanah akan dipikul oleh dua orang ibu bapaknya sekaligus bersama-sama.
- Hak Walayah (Perwalian)
Dalam pemeliharaan anak dari kecil sampai baligh selain ada hak hadlanah juga terdapat hak perwalian. Dalam Hukum Islam, perwalian anak dibagi menjadi tiga, yaitu :
- Perwalian dalam pemeliharaan dan pendidikan anak
- Perwalian harta
- Perwalian nikah
- Hak Nafkah
Hak untuk mendapatkan nafkah adalah hak anak yang berhubungan langsung dengan nasab. Begitu anak lahir, maka hak nafkahnya sudah mulai harus dipenuhi. Hak nafkah anak ini saling terkait dengan masing-masing hak-hak di atas.
Ahli fikih, orang yang pertama yang bertanggung jawab atas nafkah anak adalah kerabat terdekat dalam garis nasab, dan dalam hal ini adalah ayah kandung.
- Status Anak menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (pasal 42). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 42 ayat 1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut (pasal 44 ayat 1). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
UU No. 1 Tahun 1974 anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang bukan pemberi benih kandungan wanita itu, maka anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari perkawinan wanita itu dengan pria itu. Dalam hukum adat perkawinan serupa itu disebut kawin tetap malu artinya agar si anak lahir mempunyai bapak.
Seorang anak syah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian, seorang anak sungguh-sungguh anak ayahnya tentunya sukar didapat. Sehubungan dengan itu, oleh undang-undang ditetapkan suatu tenggang kandungan yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya dihapuskan, adalah anak yang tidak sah. Jikalau seorang anak dilahirkan sebelumnya lewat 180 hari setelah hari pernikahan orang tuanya, maka ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu, kecuali jika ia sudah mengetahui bahwa isterinya mengandung sebelum pernikahan dilangsungkan atau jika ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan surat kelahiran ini turut ditandatangani olehnya. Dalam kedua hal tersebut si ayah itu dianggap telah menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri. Penyangkalan sahnya anak tidak tergantung pada terus berlangsungnya atau dihapuskannya perkawinan, begitu pula tidak tergantung pada pertanyaan apakah anak itu masih hidup atau telah meninggal, meskipun sudah barang tentu seorang anak yang lahir mati tidak perlu disangkal sahnya.
Ayah dapat juga menyangkal sahnya anak dengan alasan isterinya telah berzina dengan lain lelaki, apabila kelahiran anak itu disembunyikan. Di sini si ayah itu harus membuktikan bahwa isterinya telah berzina dengan lelaki lain dalam waktu antara 180 dan 300 hari sebelum kelahiran anak itu. Tenggang waktu untuk penyangkalan, ialah satu bulan jika si ayah berada di tempat kelahiran anak, dua bulan sesudah ia kembali jikalau ia sedang bepergian waktu anak dilahirkan atau dua bulan setelahnya ia mengetahui tentang kelahiran anak, jika kelahiran itu disembunyikan. Apabila tenggang waktu tersebut telah lewat, si ayah itu tak dapat lagi mengajukan penyangkalan terhadap anaknya.
Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan adanya hubungan seperti antara anak dengan orang tuanya. Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan mewakili anak yang di-sangkal itu. Ibu si anak yang disangkal itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang keadaan mengenai anak itu dan juga paling mempunyai kepentingan, haruslah dipanggil di muka hakim. Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan “natuurlijk kind” ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.
- Status Anak menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam kompilasi Hukum Islam Orang Tua berkewajiban :
- Sebagai Wali dalam Perkawinan (Pasal 21 Kompilasi Hukum Islam)
- Pemeliharaan anak termasuk mewakili anak dalam perbuatan hukum di dalam ataupun di luar Pengadilan (Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam). Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merumuskan hak-hak anak sebagai berikut :
- Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
- Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
- Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
- Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah resmi.
- Status Anak menurut Hukum Positif
Kedudukan anak dari hasil perkawinan di luar nikah menurut hukum positif atau dalam perundang-undangan yaitu menurut KUH Perdata, anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya (pasal 250). Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh (6 bulan) dari perkawinan, dapat diingkari oleh suami (pasal 251). Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusuk dari ayah dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau ia pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri (pasal 272). Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan ayah atau ibunya (pasal 280).
KUH Perdata anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak itu benih orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat dalam perkawinan. Kemudian dalam pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatakan bahwa: “Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Ketentuan tersebut, menegaskan wanita yang hamil kemudian kawin sah dengan seorang pria, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari perkawinan wanita dengan pria tersebut tanpa ada batas waktu usia kehamilan. Muhammad Irfan Idris menyebutkan: Anak yang di dalam kandungan dianggap mempunyai hubungan darah dan hubungan hukum dengan pria yang mengawini ibunya. Anggapan ini didasarkan nilai hukum adat yang menetapkan asas “setiap tanaman yang tumbuh di ladang seorang dialah pemilik tanaman meskipun bukan dia yang menanam”. Dan kebolehan kawin hamil tersebut untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak yang ada dalam kandungan.
Ketentuan dan berbagai pendapat tersebut di atas maka penulis berpendapat bahwa anak hasil dari perkawinan wanita hamil menurut hukum positif di Indonesia adalah anak yang sah, tanpa melihat batas waktu kehamilan dengan perkawinan yang dilangsungkan dan secara hukum memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Sehingga semua akibat hukum antara anak dan orang tua berlaku baginya.
Hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti, bahwa yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak sah. Sedangkan keturunan yang tidak sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, orang menyebut anak yang demikian ini adalah anak luar kawin.
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa konsekuensi dalam bidang perwarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43).
Hubungan kekeluargaan sedarah/nasab dalam Hukum Perdata mempunyai arti yang sangat penting. Ada banyak ketentuan dalam hukum keluarga yang didasarkan atas adanya hubungan darah.
Kedudukan anak tersebut baik berdasarkan KUH Perdata maupun UU No 1 Tahun 1974 yang hanya ditentukan adalah tentang kedudukan anak sah dan tidak sah dan tidak membicarakan tentang kedudukan anak lainnya seperti kenyataannya di dalam kehidupan keluarga/rumah tangga dalam masyarakat. Sedangkan dalam hukum Islam seseorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikanya. [9] Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka disebabkan antara lain oleh UndangUndang Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, utamanya kehidupan wanita, isteri, ibu dan anak-anak di dalamnya, dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya. Sepanjang sejarahnya, bahwa hukum keluarga di Indonesia telah mengalami pasang surut seirama dengan pasang surut sampai perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia pada zaman penjajahan Barat dahulu.
Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Pembaruan pemikiran hukum Islam pada masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih cendrung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Ada dua konsep dalam pembaruan, yakni; (1) konsep konvensional, dan (2) konsep kontemporer yang muncul dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dalam bentuk kodifikasi. Penerapan metode konvensional, para ulama terlihat dalam berijtihad dan menerapkan pandanagn hukumnya dengan mencatat ayat al Quran dan Sunnah.
Konsepsi Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Pada dasarnya sesuatu itu tidak akan terbentuk karena tidak adanya sesuatu hal yang mendasarinya, seperti halnya hukum keluarga Islam tidak akan pernah ada tanpa adanya sesuatu yang melatar belakanginya. Pembahasan ini penting dilakukan karena tidak semua masyarakat Indonesia beragama Islam sehingga sejarah, peristiwa dan sebab lahirnya hukum keluarga Islam dianggap sangat kontroversial.
Akan tetapi sebagian ulama lain justru merasa bangga dengan lahirnya kedua undangundang itu karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam perkembangan
Hukum Keluarga Islam di Indonesia Antara Syariah dan Hukum Sekuler
Jumlah umat Islam di dunia mencapai hampir seperempat jumlah manusia seluruhnya.[10] Mereka tinggal menyebar di beberapa negara, baik sebagai kelompok mayoritas maupun minoritas. Sebagai mayoritas, umat Islam berada di 44 negara seperti di negara-negara Timur Tengah dan beberapa negara di Asia. Empat negara yang penduduknya paling banyak beragama Islam adalah Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan India.[11]
Indonesia merupakan negara yang jumlah mayoritas penduduknya beragama Islam, namun konstitusi negaranya tidak menyatakan diri sebagai negara Islam melainkan sebagai negara yang mengakui otoritas agama dalam membangun karakter bangsa. Indonesia mengakomodir hukum-hukum agama sebagai sumber legislasi nasional, selain hukum adat dan hukum barat
Kondisi demikian menyebabkan hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum di dunia ini seperti lenyap di permukaan kecuali hukum keluarga. Dalam pembaharuan hukum keluarga Islam, Indonesia cendrung menempuh jalan kompromi antara syari’ah dan hukum sekuler. Hukum keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu pada kitab-kitab fiqh klasik, fiqh modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan agama (yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia.
“Arah Pembangunan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Pendekatan Intgratif dan Interkonektif dalam Membangun Keluarga Sakinah”, merupakan salah satu rujukan penting dalam menemukan konsep arah membangun keluarga untuk masa mendatang.[12]
Diperlukan adanya berbagai pendekatan dan aspek yang melingkupi hukum keluarga yang selama ini masih belum banyak dikaji. Satu wujud dari kajian pembangunan hukum keluarga dari perspektif hukum keluarga antara syariah dan berbau sekuler dikaitkan dengan hukum keluarga di Indonesia, dalam rekonstruksi pembangunan hukum keluarga Islam. Dalam hal ini, hukum keluarga dapat dikatakan sebagai kebijakan publik dalam progam-progam sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan dapat mengantisipasi kegagalan progam adminitrasi. Selain itu kebijakan yang dibentuk hendaknya memiliki dampak yang bagus dalam kehidupan keluarga di masa mendatang.[13]
Kilas Balik Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Secara historis, hukum keluarga Islam mencuat kepermukaan bermula dari diakuinya peradilan agama secara resmi sebagai salah satu pelaksana “judicial power” dalam negara hukum melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang dirubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 terakhir dirubah dengan Undanh-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Lebih lanjut, kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisatorisnya telah diatur dan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang mempunyai kewenangan mengadili perkara tertentu: (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan (9) ekonomi syari‟ah, bagi penduduk yang beragama Islam. Kenyataan eksisten pengadilan agama belum disertai dengan perangkat atau sarana hukum positif yang menyeluruh, serta berlaku secara unifikasi sebagai rujukan. Meskipun hukum materiil yang menjadi yurisdiksi pegadilan agama sudah dikodifikasi dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentangn Perkawinan jo aturan pelaksanaannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun pada dasarnya hal-hal yang diatur di dalamnya baru merupakan pokok-pokok saja. Akibatnya, para hakim yang seharusnya mengacu pada undang-undang, kemudian kembali merujuk kepada doktrin-doktrin yang tertuang dalam kitab fiqh klasik.
Sehingga tidak heran terdapat perbedaan putusan hukum antar pengadilan agama tentang persoalan yang sama adalah suatu hal yang dapat dimaklumi, sebagaimana ungkapan different judge different sentence.[14]
PENUTUP
Setelah melakukan penulisan masalah, maka dapat penulis tarik kesimpulan sebagai berikut :
Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia, adalah suatu keniscayaan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, pengaruh globalisasi ekonomi, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang hukum, dan juga pengaruh pembaruan pemikiran Islam yang mengharuskan pintu ijtihad senantiasa terbuka untuk menemukan hukum baru terhadap persoalan baru dalam hukum keluarga. Dan Tujuan pembaruan hukum keluarga Islam yang dipraktikan di Indonesia merupakan untuk menjawab tantangan modernitas dalam bidang hukum keluarga, karena pemahaman konvensional yang mapan tentang berbagai ayat al Quran, hadis dan kitab-kitab fiqh dianggap tidak mampu menjawab tantangan problem hukum keluarga yang muncul pada era modern
DAFTAR PUSTAKA
- Hanafie, (1991), Usul Fiqh, Jakarta : Wijaya.
Abu Hadian Shafiyarrahman, (2003), Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana.
Ahmad Kamil dan Fauzan, (2008), Hukum Perlindungan dan Pengankatan Anak di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Ahmad Rofiq, (2002), Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Aswadi Syukur, (2005), Intisari Hukum Perkawinan dan Kekeluargaan dalam Fikih Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
Depag RI, (2000), Al-Qur’an dan Terjermah, Semarang: Toha
Fadil SJ, Noor Salam, (2013), Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia. Malang: UIN Maliki Press.
Kamal Mochtarm, (2008), Azas-azas Hukum Islam Tentang Pernikahan, Jakarta: Bulan Bintang. Kansil, (2001),
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Moh Rifai, (2001),
Ilmu Fiqih Islam, Semarang: CV Toha Putra. Muhammad Ali Ash-Shabuni, (2005),
Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press.Muhammad Jawad Mughniyah, (2000),
Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera.Nur Djaman, (2001),
Fiqih Munakaha, Semarang: Dina Utama. Sayyid Sabiq, (2006),
Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara.Subekti, (2002),
Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Internassa.Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang PerkawinanZakariya Ahmad Al-barry, (2001),
Hukum-Hukum Anak Dalam Islam, Jakarta: Bulang Bintang. A. Pitlo, Dalam Asa Aarief. 1979,
Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. (Jakarta : Intermasa.Pustaka Sinar Grafika).
Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Akademi Presindo)
Ahmad mufid. Buku pintar hukum islam. Jakarta: pustaka al kautsar, 2020.
Ahmad sarwat , lc, ma. Ensiklopedi fikih indonesia. Vol. 1. 1. Jakarta: gramedia pustaka utama, 2019.
Dedi supriyadi. Perbandingan hkm perkawinan di dunia islam. Bandung: pustaka al fikriis, 2009.
———. Sejarah peradaban islam. Vol. 1. Bandung: pustaka setia, 2008.
Dr fauzi,ma. Sejarah hukum islam. Pertama. Vol. 1. Jakarta: prenadamedia group, 2018. Www.prenadamedia.com.
———. Sejarah hukum islam. Pertama. Vol. 1. Jakarta: prenadamedia group, 2018. Www.prenadamedia.com.
Dr H abdul helim. Makasid al -syari’ah versus usul al fiqh. 1 1. Yogyakarta: pustaka pelajar, 2019.
Dr h fadil sj,m.ag. Pembaruan hukum keluarga di indonesia. 1. Uin maliki fress, 2013.
Prof dr jaih mubarok. Sejarah peradaban islam. Bandung: pustaka islamika, 2008.
Sayuti thalib. Hukum kewarisan islam di indonesia. Revisi. 1
Ahmad, Amrullah SF dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: GemaInsani Press, 1996.
Alimuddin, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan Bagi Hakim Pengadilan Agama, Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Anderson, J.N.D., Islamic law in Moderen World, alih bahasa oleh Machnun Husain, dengan judul: Hukum Islam di Dunia Moderen, Cet.I; Surabaya: Amar Press, 1991
Al-Ẓāhir, Ibnu Ḥazm, al-Muḥalla, Beirut: Dār al-Fikr, t.t. Badra, Abūal-‘Ain, Ahkām al-Waṣāyāwa al-Hibah, Iskandariyah: Mu’assasah Shabbab alJāmiah, t.t.
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999.
Brown, L. Carl, Religion and State: The Muslim Approach to Politics, New York: Colombia University Press, 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Donohue, John, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Djazuli, A., Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapannya, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Fanani, Ahmad Zaenal, Pmbaharuan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia (Prspektf Keadilan Jender), Yogyakarta: UII Press, 2015.
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006.
Mudzhar, M., Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam, Jurnal Studi Islam, 1, 1999.
Muhyiddin, dan Abdul Hamid, Muhammad, Ahkām al-Mawārith fi Sharā’at al-Islāmīyah ala Maẓāhib al-Arba’ah, t.tp: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t. Miller, David H. Olson dan Brent C. (ed.), Family Studies: Review VOL. 2. JAKARTA TIMUR: SINAR GRAFIKA, 2018.
Ahmad, Amrullah SF dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: GemaInsani Press, 1996.
Alimuddin, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan Bagi Hakim Pengadilan Agama, Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Anderson, J.N.D., Islamic law in Moderen World, alih bahasa oleh Machnun Husain, dengan judul: Hukum Islam di Dunia Moderen, Cet.I; Surabaya: Amar Press, 1991
[1] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 53
[2] Ibid, hlm. 145
[3] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 70
[4] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2005, hlm. 162-164
[5] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009, hlm. 15-90
[6] M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1997, hlm. 92.
[7] Fadil Sj,M.Ag. pembaruan hukum keluarga di indonesia. 1. UIN maliki fress, 2013. hal 42
[8] Qs. Al-Ahqof Ayat 14
[9] M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1997, hlm. 92.
[10] L. Carl Brown, Religion and State: The Muslim Approach to Politics, New York: Colombia University Press, 2000
[11] Salah Sultan, Metodological Regulation for the fiqh of Muslim Minorities, dalam www. Salahsoltan. Com/main/index. Php?id
[12] Khoiruddin Nasution, Arah Pembangunan Hukum Keluarga: Pendekatan Integratif dan Interkonektif dalam Pembangunan Keluarga Sakinah, dalam As-Syir’ah: Jurnall Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46 No. I, Januari-Juni 2012, hlm. 84.
[13] David H. Olson dan Brent C. Miller (ed.), Family Studies: Review Yearbook; A General Framework for Family Impact Analysis, London/ Beverly Hills/ New Delhi: Sage Publiction, 1983, hlm. 31-32.
[14] Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 17.