Oleh: Drs.Andre Vincent Wenas,MM.MBA (Pegiat Media Sosial, Kolomnis, Pemerhati Ekonomi-Politik ,dan Jubir DPP PSI)
MUNGKIN ini latar belakangnya. Sampai akhir Maret 2021, Kemenkeu mencatat penerimaan pajak baru mencapai Rp 228,1 triliun dari target Rp 1.229,6 triliun. Cuma 18,6% dari pagu anggaran. Artinya penerimaan pajak masih terkontraksi (turun) 5,6% dibanding tahun lalu.
Maka, segala daya upaya mesti dikerahkan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Termasuk wacana pajak dari sembako. Lho kok sembako? Bukankah sembako itu makanannya rakyat kecil?
Nah itu dia, maka kita pun perlu bertanya lagi, sembako yang mana? Sembako yang dijual dimana? Atau sembako yang dijual kepada siapa? Atau kapan?
Sementara ini yang terpantau dari pemberitaan di media, yang dimaksud dengan sembako yang bakal dikenakan PPN itu adalah: beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, Bumbu-bumbuan, gula konsumsi.
PPN adalah jenis pajak tidak langsung yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Pajaknya dipungut dari (disetor oleh) para pedagangnya, bukan oleh konsumennya.
Tapi yang jelas tetap bisa berdampak pada nilai harga akhir yang mesti dibayar oleh konsumen (pembeli).
Mengenai rencana ini, ada hal penting yang disampaikan oleh Stafsus Menkeu, Yustinus Prastowo, bahwa pemerintah tak akan ‘membabi buta’ dalam menaikkan tarif PPN dan dalam rangka memperluas objek pajak.
Hmm… tentu kita bertanya lagi, apa ya yang dimaksud dengan ‘tak akan membabi buta’ dalam menaikkan tarif dan memperluas objek pajak itu?
Tentang wacana kenaikannya adalah dari 10% menjadi 12% lalu daftar sembako yang bakal dikenakan PPN juga sudah ada. Lalu apakah yang dimaksud itu adalah dalam soal distribusinya? Artinya lokasi tempat penjualannya? Apakah bakal ada perbedaan kalau dijual di Mall dengan di pasar becek? Sampai di sini terus terang kita belum jelas juga.
Namun kita berterima kasih atas penjelasan tentang perbandingan tarif pajak di beberapa negara lain. Misalnya tentang kebijakan Presiden Joe Biden (Amerika Serikat) yang berencana menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 21% jadi 28%. Juga Inggris yang akan mengerek tarif PPh badan dari 19% jadi 23%.
Dari sisi PPN kabarnya ada 15 negara yang mengubah aturan pungutan demi membiayai penanganan pandemi. Rata-rata tarif PPN di 127 negara adalah 15,4%. Bahkan ada 24 negara yang menerapkan tarif PPN di atas 20%, 104 negara antara 11% – 20%. Sisanya beragam sekitar 10% ke bawah.
Di tiap negara pun tarif pajaknya tidaklah tunggal. Contohnya, Austria sebesar 13% – 20%, Italia 10% – 22%, Latvia 5% – 21%, Prancis 10% – 20%, dan Kolombia 5% – 19%. Multi tarif.
Setelah membandingkan dengan kondisi di berbagai negara itu, pertanyaannya tetap, bagaimana persisnya kebijakan yang ‘tak akan membabi buta’ itu bakal diterapkan di Indonesia?
Kiranya hal itulah yang mesti dengan transparan dipaparkan dengan rinci dan terang benderang. Sementara ini soalnya memang masih wacana.
Untuk itu kiranya Kemenkeu bisa membicarakannya dengan para wakil rakyat kita saat membahas draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang kabarnya bakal dibahas bersama DPR tak lama lagi.
Sampai di sini, kita hanya ingin mengingatkan saja, bahwa kondisi ekonomi di piramida bawah sangatlah berat saat ini. Kalau rencana kenaikan pajak ini berlaku untuk semua segmen maka tidak tepat dijalankan tahun ini bahkan sampai tahun depan.
Taruhlah di tahun depan bakal ada pembalikan ekonomi, namun itu pun tidak serta merta perekonomian di segmen menengah bawah bisa langsung tumbuh pesat. Tentu butuh waktu untuk proses penyesuaian, dan itu tentunya tidaklah sebentar.
Janganlah sampai masyarakat di bawah yang sudah kesusahan dalam 2 tahun terakhir langsung dikenakan tambahan pajak lagi. Rasanya ini kurang pas. Cobalah para cerdik-pandai di kementerian keuangan bisa lebih kreatif dalam mencari tambahan pajak pasca-pandemi dengan relatif tidak memberatkan masyarakat menengah ke bawah.
Bukankah pajak itu adalah – salah satu – instrumen untuk mendekatkan disparitas antara kelompok pendapatan tinggi dan rendah? Maka diperlukan kreativitas, otak-atik-otak serta sikap hati yang bijak untuk mencari berbagai potensi pendapatan pajak yang lebih berkeadilan sosial.
Kita mesti yakin bahwa Kemenkeu pasti mampu untuk memikirkan banyak alternatif penarikan pajak lainnya dengan semangat memperpendek disparitas pendapatan. Demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan kita juga yakin bahwa PPN yang untuk sembako di segmen rakyat kebanyakan tidak perlu masuk di dalamnya. Paling tidak untuk beberapa tahun ke depan. Yang mereka butuhkan justru insentif dan program stimulasi yang lebih ekstensif (juga intensif) demi penggeliatan ekonomi (konsumsi dan produksi) di unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
Maka, mengejar target kelompok mampu secara ekonomi tentu lebih memenuhi rasa keadilan sosial, terlebih dalam kondisi pandemi dan ekonomi yang sulit bagi rakyat bawah.
Penerapan skema multitarif PPN nampaknya lebih merefleksikan asas keadilan, dimana terhadap barang-barang esensial yang dibutuhkan masyarakat pajaknya lebih murah. Sementara pajak atas barang yang dikonsumsi masyarakat kelas atas akan lebih mahal tarifnya.
“Collecting more taxes than is absolutely necessary is legalized robbery!” – Calvin Coolidge.
10/06/2021
Komentar