oleh

Peranan Mafhum Mukholafah Dalam Menetapkan Hukum

dari Al Qur’an dan Sunnah

Oleh:Dian Rahmat Nugraha, SHI,M.Sy  (Mahasiswa S.3 UIN  Sunan Gunung Djati Bandung)

AL-QURAN  merupakan wahyu Alloh yang di turunkan melalui nabi kita Muhammad dengan tidak ada satupun yang bisa menandinginya dan Alloh Senantiasa Akan Menjaganya Sesuai Dalam Al Qur’an

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

‘Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”.,

 dengan kata kata apapun Al-quran akan di jaga sebagai muizat yang di turunkan kepada nabi kita dan ayatnya yang begitu indah jika di lantunkan dan tidak pernah bosan ketika didengarkan dan juga menjadi obat tatkala di bacakan dan membacanya pun mendapat pahala bahkan bisa jadi dua pahala ketika kita terus belajar yakni pahala belajarnya dan pahala membacanya

Namun dengan luasnya kandungan yang ada dalam Al quran pun pada kenyataanya membuat pembaca dan pembelajar tidak bisa memaknai kandungan kita ini dengan tidak di barengi ilmu yang cukup apalagi  tidak mengetahu tentang adanya mafhum ini  . Ulama dengan berbagai mazhabnya yang berbeda-beda sepakat bahwa manusia tidak terlepas dari hukum dalam kehidupannya sehari-hari, baik hukum yang mangatur hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) ataupun yang mengatur hubungan antar sesama manusia.[1]

Redaksi al Qur`an dan hadis ada yang dapat dipahami dengan apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang. Namun ada kalanya harus masuk ke kedalaman kata atau kalimat yang terkandung di dalamnya sehingga lahir makna-makna baru yang tidak berhubungan langsung dengan apa yang tertulis. Dalam pandangan ulama Syafi’iyah ada dua macam untuk memahami redaksi nash tersebut, yaitu mantuq dan mafhum yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang salah satu bentuk mafhum, yaitu mafhum mukhalafah dalam pemikiran ulama Syafi’iyah dan landasan hukum ulama Hanafiyah menolak untuk berdalil dengan mafhum mukhalafah ini. Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari‟ baik itu yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun as-Sunnah semuanya mempunyai dilalah yang bermacam-macam serta metode yang berbeda-beda untuk mencetuskan sebuah hukum yang diinginkan oleh Allah swt. Bukan berarti dilalah lafadz tersebut sudah cukup hanya dengan dipahami dari segi bahasa yang diungkapkan oleh lafad tersebut atau hanya dengan memahami manthuq sharih dari lafad itu sendiri, akan tetapi disamping itu


[1]  Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah (Beirut: Dar al-Qalam, 1966), hlm. 9

masih terdapat dilalah lain yang juga dijadikan pegangan oleh para ulama‟ Ushul dalam meng-istinbath-kan sebuah hukum, seperti dilalah al-Isyarah, al-Iqtidha‟, at-Tanbih, serta tidak sedikit dari para kalangan Ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhalaf  meskipun imam Abu Hanifah mengingkarinya .[1] Redaksi al-Qur`an dan hadis ada yang dapat dipahami dengan apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang.

Ø  Pengertian  Mafhum Mukhalafah

Pengertian Mafhum Mukhalafah Secara etimologi  ﻣﻔﻬﻮم   adalah isim maf’ul dari ﻓﻬﻢ yang berarti yang “mengerti atau paham”.  Jadi mafhum adalah sesuatu yang dimengerti dan dipahami. Mafhum menurut istilah Ushul Fiqh adalah “penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan” atau Penunjukan lafal atas tetapnya hokum yang tidak disebutkan kebalikan dari yang disebutkan karena tidak adanya suatu persaratan pada hukum[2] secara lebih sederhana mafhum adalah “apa yang dapat dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan

Para ahli ushul fiqih mengatakan mafhum mukhalafah dibangun sesuai dengan pertentangan dua hal yaitu al-jumlah dhahir (kalimat jelas) berupa al-mantuq al musbad dan kalimat yang tidak jelas yang berupa al-maskuut ‘anhu al manfii[3].  Dari pengertian mafhum tersebut di atas, mafhum terbagi atas dua macam, yaitu mafhum muwafaqah (mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz) dan mafhum mukhalafah. Atau bisa juga diartikan sebagai penetapan hukum bagi yang tidak disebutkan oleh nash yang berlawanan dengan yang disebutkan[4]. Dengan kata lain, Mafhum Mukhalafah merupakan kebalikan dari hukum yang disebut, karena tidak adanya batasan. Misalnya firman Allah SWT dalam surah al-hujuurat ayat 6. [5]

اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”

Surah di atas pada kalimat, “In jaakum faasiqun binabaan fatabayyanuu”, berarti ketika yang memberi kabar orang munafik, maka perlu ditabayyun. Mafhum mukhalafah dalam hal ini adalah ketika yang datang orang yang adil maka tidak perlu di tabayyun. Secara garis besar kaidah pengertian ini adalah bahwasanya nash syar’i tidak memiliki dalalah (pengertian) atas suatu hukum bagi sesuatu hal yang dipahami berlainan dengan manthuq-nya (yang tertulis dalam nashnya), sebab ia bukan bagian dalam pengertian-pengertiannya melalui salah satu teknik dalalah yang empat macam tersebut. Namun hukum sesuatu yang dipahami tidak sama dengan yang disebutkan dalam nash, dan tidak disinggung-singgung, diketahui dalil lainya dari dalil syar’i yang diantaranya merupakan ibadah ashliyyah yang hukum asalnya boleh. Firman Allah:

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak                                                            menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[6].

Nash di atas menyatakan pengharaman darah yang mengalir. Mafhum-nya (pengertian yang dipahami) secara berbeda dalam nash dan ayat tersebut tidak menunjukkan kehalalannya atas darah yang tidak mengalir, namun penghalalan tersebut bisa dilihat kemubahan hukum asalnya maupun dalil syar’i manapun.

Pembahasan mafhum mukhlafah berbeda diantara ulama ushul, seperti Imam Hanafi memakai istilah takhsis (mengkhususkan) dengan menyebut selainnya (maa adahu). Imam Syafi’i menyebut dengan mafhum mukhalafah dengan dalilul khitab (teks yang tesusun dalam qur’an dan sunnah). Ulama ushul fiqih bersepakat tidak memakai hujjah dengan nash atas dasar mafhum mukhalafah dalam suatu bentuk dan sepakat menjadikannya sebagai hujjah dalam bentuk tertentu, dan bentuk lainnya, mereka tidak sama pendapat tentang kehujjahannya.

Ø  Mafhum mukhalafah yang disepakati untuk dijadikan sebagai hujjah, antara lain:

Adapun mafhum al-mukhalafah terbagi dalam beberapa kategori :

  1. Mafhum ash-shifah, pemahaman atas penggunaan sifat dalam redaksi.
  2. Mafhum asy-syarth, pemahaman atas penggunaan syarat dalam redaksi
  3. Mafhum al-ghayah, pemahaman atas penggunaan batasa dalam redaksi.
  4. Mafhum al-‘adad, pemahaman atas penggunaan bilangan dalam redaksi :dan
  5. Mafhum al-laqab, pemahaman atas penggunaan nama benda,atau sebutan orang ( ibnu al-lahham ,2001:234-236;Zaidan,2009:290-292 )

Yang  tersirat  ( al-mafhum )   adalah “al-lafzhu yadullu la fi mahallu an-nutqi–   kata yang memiliki makna tidak sebagaimana mestinya .” ( ibnu bayyah ,1999:84) dalam pengertian lain ,yang tersirat dapat dipahami sebagai “ petunjuk yang memiliki makna berdasarkan pemahaman teks “. Sekedar tambahan    . petunjuk yang tersirat di bagidalam dua ( 2 ) bagian kategori

  1. Sesuai dengan redaksi  ( mafhum al-muwafaqah)  ,pemahaman sesuai dengan redaksi yang di ucapkan atau di tulis : dan
  2. Berbeda dengan redaksi ( mafhum al-mukhalafah ) , pemahaman tidak sesuai dengan redaksi yang diucapkan atau ditulis , Contoh :

1.Nabi bersabda sebagaimana diriwayatkan imam uibnu hibban :

اخبرنا الحسن بن سفيان…..عن عكرمة بن عن ابن عباس…..

فقال انَّ المَاء لاينجِسه ٌ شىء

aku mendapat informasi dari Al-Hasan ibnu sufyan ,dari ikrimah,dari ibnu abbas,bahwa Nabi bersabda , “ sesungguhnya ,tidak ada sesuatu yang dapat membuat air menjadi najis .”[7]

Hadist ini bukan berarti menjelaskan bila benda cair tidak bias dipengaruhi oleh najis,atau selain benda cair ( benda padat ) serta merta menjadi tidak suci bila terkena najis.

2. Nabi bersabda ,sebagaimana diriwayatkan Imam Abu dawud.

حدثنا محمد بن العلاء….عن عبد الله ابن عبد الله بن عمر عن ابىه …فقال : اذاً كانّ الماء قُلتىنِ لم ىحمل الخبث

   “ aku di beritahu oleh Muhammad bin Al-‘Ala’ , dari Abdulloh bin Abdulloh bin Umar dari ayahnya ( Umar bin Al-Khaththab ) bahwa Nabi bersabda : “bila kapasitas air mencapai dua kulah ,ia tetap suci meski terkena najis.”  ( H.R Abu Dawud ,1999:31/63 )

Kendati hadist ini menjelaskan bahwa sesuatu yang najis tidak mempengaruhi kadr kesucian air dua kulah , bukan berarti air dua kulah tetap suci meski terkena najis. Melainkan, petunjuk tersebut menyimpan beberapa rincian :

  1. Air dua kulah tetap suci,bila najis yang mengenainya tidak mengubah sifat-sifat air ( warna,bau,atau rasa):
  2. Air dua kulah menjadi najis ,bila najis yang mengenainya mengubah sifat-sifatnya

  Petunjuk “yang tersurat” adalah   syariat  ,sedang petunjuk “yang tersirat “ adalah hakikat. Yang tersurat menyembunyikan sesuatu yang tersirat , sebagaimana yang lahir menyimpan yang batin, bukan sebaliknya. Setiap petunjuk yang tersurat didalamnya pasti menyimpan penjelasan “ yang tersirat” , sebagaimana syariat merupakan bentuk konkret tatanan nilai yang bernama hakikat. Meski ia belum memahami maksud dari hakikat itu sendiri. Terkait hal ini, syaikhul akbar muhyiddin ibnu arabi (w.638 H./1240 M ) menjelaskan ,

            “ syari’at adalah bagian terpenting ( intisari ) akal, dan hakikat adalah bagian terbaik dari syari’at. Perumpamaan ketiganya laksana kandungan minyak dalam daging yang dilindungi kulit daging  (syari’at) melindungi minyak ( hakikat ) dan kulit ( akal) melindungi daging ( syari’at). Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan syari’at tanpa menggunakan akal adalah sia-sia. Sebab alloh tidak memberlakukan hokum bagi orang yang tak berakal. Sebagaimana alloh tidak memperhitungkan perilaku orang gila, anak kecil, maupun orang tua yang amat pikun. Hal ini, juga berlaku bagi orang yang melaksanakan hakikat tanpa syari’at, yakni apa yang ia perjuangkan tak bermakna apa-apa[8]…”

Ulama Syafi’iyah mendefinisikan mafhum mukhalafah sebagai berikut :


ﻫﻮ ﺣﻴﺚ ﻳﻜﻮ ن اﻟﻤﺴﻜﻮت ﻋﻨﻪ ﻣﺧﺎﻟﻔﺎ ﻟﻠﻤﺬ ﻛﻮر اﻟﺤﻜﻢ إﺛﺒﺎﺗﺎ وﻧﻔﻴﺎ
dimana (hukum) yang tidak disebut (yang dipaham dari lafaz nash) yang berbeda dengan (hukum) yang disebut lafaz nash, baik dalam itsbat maupun nafy.”

Atau bisa juga diartikan dengan “hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq.  Dengan bahasa lain mafhum mukhalafah adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya.

Dengan demikian suatu nash bisa menunjukkan dua hukum, yaitu hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) suatu nash dan hukum yang dipahami dari kebalikan nash tersebut. Jika bunyi suatu nash menunjukkan pada hukum halal dengan adaanya batasan (qayd), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, bila qaydnya tidak ada. Seperti firman Allah SWT : “

وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا اَنْ يَّنْكِحَ الْمُحْصَنٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ فَمِنْ مَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِّنْ فَتَيٰتِكُمُ الْمُؤْمِنٰتِۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِكُمْ ۗ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَانْكِحُوْهُنَّ بِاِذْنِ اَهْلِهِنَّ وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ مُحْصَنٰتٍ غَيْرَ مُسٰفِحٰتٍ وَّلَا مُتَّخِذٰتِ اَخْدَانٍ ۚ فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۗ وَاَنْ تَصْبِرُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.”[9]

Bunyi (manthuq) ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) : orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Kemudian jika dipahami dengan kebalikan (mafhum mukhalafah) dari bunyinya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mampu menikah dengan wanita yang merdeka.

Mafhum mukhalafah disebut juga dalil al-khitab. Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebut. Dinamai dalil khitab, karena dalil hukumnya diambil dari jenis khitabnya atau karena khitabnya sendiri menunjukkan atas hukum itu.

  1. اﻟﺼﻔﺔ ﻣﻔﻬﻮم )  Mafhum sifat Ialah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafaz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.  Dengan bahasa lain mafhum sifat ialah suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat tersebut tidak ada. Atau dengan arti sederhana selama ada sifat, maka berlaku hukum pada lafaz itu.

Tetapi bila sifat tersebut tidak ada, maka berlakulah hukum yang sebaliknya. Atau adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu sifat terhadap kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut.[10] 

Misalnya Firman Allah Surat Al-Nisa‟, 4 : 25 : 

وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمً

Artinya: Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki mukmin boleh menikahi budak perempuan yang beriman ketika tidak mampu menikahi perempuan beriman yang merdeka. Melalui mafhum mukhalafah diketahui haramnya menikahi budak perempuan yang tidak beriman Contoh dalam firman Allah SWT


Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.”[11]

Manthuq ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd) orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Kemudian jika dipahami dengan mafhum mukhalafah dari lafaznya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila hamba sahaya tersebut tidak mukmin. Akan tetapi ulama Hanafiyah yang tidak mau mempergunakan mafhum mukhalafah tidak memperdulikan tentang beriman seorang hamba sahaya atau tidak. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin adalah syah,  berdasarkan firman Allah SWT

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.  (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian”.[12]

Contoh lain dalam hadis Rasulullah SAW :
ﻓﻲ ﺳﺎﺋﻤﺔ اﻟﻐﻨﻢ إذا ﻛﺎﻧﺖ أرﺑﻌﻴﻦ ﻓﻔﻴﻬﺎ ﺷﺎة )   رواﻩ ﻣﺎﻟﻚ وأﺑﻮ داود(

“Zakat binatang ternak, apabila telah mencapai 40 ekor kambing”. (HR. Malik dan Abu Dawud)  Hadis ini  menggunakan lafal  ﺳﺎﺋﻤﺔ  (yang diternak di padang rumput lepas tanpa perlu diambilkan makanannya), jika dipahami secara mafhum mukhalafah dalam bentuk mafhum sifat, maka binatang ternak  اﻟﻤﻌﻠﻮﻓﺔ   (yang diambilkan makanannya), maka tidak ada kewajiban menzakatkan ternak kambing yang ma’lunah

اذا رّتِّبَ الحكمُ علي وصْفِ يٌمكنٌ ان‘ يكونً معتبرَاَ لم يجّزٌ اطراحهً

Bila rangkaian petunjuk di sertai sifat, petunjuk berlaku mengikuti sifat “Alloh berfirman dalam Al-Quran,

وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا

Diantara  sifat hamba –hamba tuhan  yang maha penyayang adalah mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang yang bodoh menyapa ,mereka mengucapkan kata-kata ( yang mengandung ) keselamatan . [13]

Dalam ayat ini, seolah-olah Alloh menyatakan .” bila kamu beriman kepada-Ku dan meyakini bahwa Akulah yang maha penyayang , mengapa kamu tidak belajar menyayangi orang lain sebagaimana aku menyayangi mereka ? mengapa kamu tidak mau belajar berendah hati ? mengertilah ! sesering apapun kamu menyatakan keimananmu kepada-Ku di hadapan orang lain,,itu tak berguna sama sekali bila kamu masih saja tinggi hati, mereka benr sendiri ,dan menganggap paling suci.

Apa kau kira ketika orang-orang bodoh itu menyepelekan aturan=Ku, mengabaikan perintah-Ku atau bahkan tidak menyembah-Ku ,aku menjadi kecil, aku tidak berdaya untuk menghukum mereka ? hingga kamu harus menghukum, mengadili dan merusak harta benda mereka, yang seakan-akan aku membutuhkan pertolonganmu.Tidak ! tidak sama sekali .justru apa yang kau lakukan itu  tak ada bedanya dengan mereka.” Ringkasnya, ayat tersebut seakan-akan menegaskan bahwa “tidak selayaknya seorang hamba yang beriman kepada Alloh melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai keimanan kepada-Nya.”

contoh  

  1. Alloh berfirman dalam al-Quran

وَمَنْ يَّدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهٗ بِهٖۙ فَاِنَّمَا حِسَابُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الْكٰفِرُوْنَ

“Barang siapa menyembah tuhan yang lain disamping Alloh, padahal  tidak ada satupun    dasar yang membenarkannya, maka ia bertanggung jawab langsung kepada Tuhannya….( Al-mu’minun :117 )

Redaksi  لابرهان له به    merupakan sifat dari redaksi  ومن يدع مع الله الها اخر   yang seakan-akan member pemahaman bahwa “menyekutukan alloh dapat dibenarkan bila ada dasr hukum  yang menjelaskannya.” Namun, harus dipahami bahwa redaksi لا برهان    merupakan sifat penegas yang menjelaskan bahwa “ selamanya tidak akan ada petunjuk yang dapat dijadikan dasar hukum untuk melakukan tindak kemusyrikan “. Singkatnya pemahaman yang keluar adalah “ bila seseorang menyekutukan alloh karena ada dasar hukum  yang membolehkannya ,maka orang itu dusta ( gila )”.

  • Alloh berfirman dalam al-Quran

وَلَاَمَةٌ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكَةٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَتۡكُمۡ‌ۚ

“Sungguh ,seorang perempuan budak yang beriman itu lebih baik dibnding seorang perempuan (merdeka) tapi musyrik,meski ia menarik hati kalian….’ ( Al-Baqarah : 221 )

Kata  مؤمنة  merupakan sifat dari redaksi  ولامة, sehingga ayat tersebut member penjelasan bahwa “ dihadapan Alloh, seorang perempuan budak meski buruk rupa asal beriman , itu lebih baik (mulia) disbanding perempuan merdeka yang cantiknya bukan main tapi musyrik.” Lalu, mana yang lebih baik antar perempuan budak “buruk rupa” tapi non-muslim ,dengan perempuan merdeka “cantik jelita “ tapi musyrik ?

Begini kira-kira pemahaman yang keluar dari ayat tersebut :

Karena kata  مؤمنة  merupakan sifat penegas ,maka yang pertama (non-muslim) lebih baik dibanding  yang  ke dua  ( musyrik ) di hadapan Alloh. Sekedar tambahan .ada perbedaan mendasar antara term al-iman  (pelakunya disebut mukmin) dan al-islam ( pelakunya disebut muslim ) .meski pada tataran tertentu sebagian ulama menganggapnya sama. Diantara perbedaan tersebut adalah :

  1.  Iman berkaitan dengan keyakinan hati ( nilai), sedang islam berkaitan dengan kepatuhan tindakan ( fakta )
  2. Seseorang dianggap beriman (mu’min) manakala ia meyakini : pertama ,Alloh itu satu, dua ,para malaikat itu nyata, tiga, Alloh menurunkan beragam kitab pada para utusan –Nya, empat, membenarkan para utusan ( rosul ) –Nya, lima, pengadilan di Hari akhir pasti terjadi, dan enam penetapan taqdir baik dan buruk mutlak berada dalam kekuasaan Alloh.

Adapun,orang di anggap beragama islam ( muslim ) manakala ia pertama , membaca dua kalimat syahadat, dua, melaksanakan shalat lima waktu, tiga , membayar zakat (bila mampu), empat, berpuasa di bulan ramadhan (bila mampu). Lima, melaksanakan haji ( bila mampu).

  1. Orang yang memegang teguh pilar keimanan sebagaimana tersebut di atas, tidak bisa dianggap musyrik kendati tidak bisa melaksanakan lima pilar keislaman ( tidak beragama islam ).namun, orang yang melaksanakan lima pilar keislaman sebagaimana tersebut di atas,dapat dianggap musyrik manakala tidak melaksanakan 6 pilar keimanan dan lain sebagainya. [14](

Ringkasnya , idealnya seseorang memang harus mu’min dan muslim. Namun, kalau dihadapkan pada pertanyaan ,mana yang lebih baik “mu’min  tapi bukan muslim atau muslim tapi tidak mu’min.’ pribadi penulis akan menjawab, lebih baik mu’min meski tidak muslim. Sebab seorang muslim yang tidak mu’min itu lebih berbahaya dibanding orang mu’min meski tidak muslim.

2)    Mafhum syarat ( اﻟﺷﺮط ﻣﻔﻬﻮم ) Mafhum syarat

Adalah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum pada sesuatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi. Atau dalam definisi yanglebih sederhana : bila syarat terpenuhi, maka berlaku hukum, tetapi bila syarat itu tidak terpenuhi, maka dapat ditetapkan hukum yang sebaliknya. Atau pendapat lain  Mafhum syarath adalah memahami nash dengan menetapkan sebuah hukum yang merupakan kebalikan yang bergantung pada syarat atau bersamaan, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi.  Atau  Mafhum al-syarat ialah menetapkan kebalikan hukum yang terkait dengan syarat ketika syarat tersebut tidak ada. Misalnya, firman Allah surat Talaq, 65:6:

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ

Artinya : Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,  

Ayat ini menegaskan adanya kewajiban suami memberi nafkah terhadap isterinya yang telah ditalak baik dalam keadaan hamil. Secara mafhum mukhalafah, suami tidak berkewajiban memberi nafkah terhadap isterinya yang telah di talak yang tidak dalam keadaan hamil.

Contoh lain Surah an-Nisa’ ayat 4.

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

 “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.  kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”[15]20. Mantuq-bih ayat di atas menyebutkan bahwa seseorang boleh memakan atau mengambil mas kawin yang pernah diberikan kepada isterinya denga syarat isteri merelakan.

Mafhum mukhalafahnya adalah suami tidak dibenarkan mengambil atau memakan mas kawin yang pernah diberikan itu jika istri tidak mengizinkannya. Iwad memahami mafhum Syarat dalam bentuk madlulun nahwi (dilihat dari makna sintaksis) dengan penggunaan penggunaan kata in, idza[16] …. Dan contoh lain Artinya:”

Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…”[17].

Mafhum mukhalafah-nya adalah jika isteri yang ditalaq tersebut tidak dalam keadaan hamil. Sebagai contoh, firman Allah SWT :

“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”[18]

Manthuq ayat ini mewajibkan mantan suami memberi nafkah kepada mantan isterinya dengan syarat wanita itu sedang hamil. Dengan demikian, maka berdasarkan mafhum syarat, mantan isteri yang telah dicerai dan tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya.

Namun ulama Hanafiyah mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa iddah, kecuali isteri yang dicerai tersebut telah membebaskannya , berdasarkan firman Allah SWT :

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya”.[19]  Dan tentang mafhum syarat juga

الشرطَ لاَ يقتضىِ وقوعهّ

            “ terkadang  syarat tidak harus dipenuhi seperti ketentuan  “ ( Ibnu Katsir ,1999.(3):232)

            Alloh berfirman dalam Al-Qur’an,

قُلْ اِنْ كَانَ لِلرَّحْمٰنِ وَلَدٌ ۖفَاَنَا۠ اَوَّلُ الْعٰبِدِيْنَ

            “ katakanlah,”jika tuhan Yang Maha Pengasih benar-benar mempunyai anak,akulah (Muhammad) orang yang pertama kali memuliakan (anak itu ).” ( Az-Zukhruf : 81 )

            Dalam ayat ini , seolah-olah Alloh menyatakan , jika orang-orang di sekitarmu menganggap  Aku  menpunyai anak ,katakan pada mereka, siapa nama anak itu ? dimana ia dilahirkan dan tinggal ? dimana ia belajar ? apa pekerjaannya ? laki-laki atau perempuan ? pintar atau bodoh ? kuat atau lemah ? makan atau tidak ? tidur atau tidak?menikah atau tidak ? agar aku dapat memuliakannya !”

            Bila mereka menjawab, “Namanya si A, lahir dan tinggal di B,belajar di C, pekerjaannya D, ia laki-laki ,sangat pandai ,kuat sekali,tidak pernah makan, tidur apalagi menikah, “maka katakanlah ,”Alloh maha memberi nama, bagaimana mungkin anaknya dibatasi tempat ,ruang dan waktu. Alloh maha mengetahui ,bagaimana mungkin anaknya perlu belajar,alloh maha kaya,bagaimana mungkin anaknya perlu belajar. Alloh tidak laki-laki atau perempuan., bagaimana mungkin anaknya seorang laki-laki.bila ia sangat pandai ,apa bedanya dengan kita ? bila ia sangat kuat,apa bedanya dengan gunung ?, bila ia tidak pernah makan ,apa bedanya dengan batu ? bila ia tidak pernah tidur, apa bedanya dengan matahari ? bila ia tidak menikah, apa bedanya dengan buimi.  Aneh..? bagaimana mungkin anak Alloh memiliki ciri-ciri  seperti makhluk-Nya.” Ringkasnya, ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa “ kebenaran jawaban mengikuti kebenaran pertanyaan. Bila pertanyaannya benar, jawabannya mungkin benar, meski juga bisa salah’’.

Contoh

  1. Allah  SWT berfirman dalam Al-Qur’an,

                                                                                     اِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَاِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۚوَاِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَاِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِي

’Jika engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba –hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni  mereka, sesungguhnya engkau maha perkasa lagi maha bijaksana.”(Al_Maa’idah: 118).

Redaksi    ان تعذ بهم merupakan syarat bagi redaksi selanjutnya, yang seakan-akan  memberi pemahaman bahwa “untuk menunjukkan kekuasaan-nya Allah harus menyiksa manusia yang membangkang pada-nya”.Begitu pula dengan redaksi وان تغفر هم , yang seakan-akan member pemahaman bahwa ‘’untuk menunjukan kebijaksanaan-nya, Allah harus mengampuni manusia yang berdosa”.

Padahal, tidak begitu maksud ayat tersebut, yang seakan-akan member tahu bahwa “Allah takut kehilangan Realitas keagungan dan keindahan-Nya di hadapan manusia”. Melainkan, ayat tersebut ingin menegaskan bahwa “meski Allah tidak menyiksa hamba-nya, bukan berarti Ia kehilangan kekuasaan-nya dan meski Allah tidak mengampuni hamba-nya, bukan berarti Allah tidak maha pengampun”.  Sebab, menyiksa atau mengampuni mutlak menjadi hak proregatif Allah, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kredibelitas Allah di hadapan manusia.

  • Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an                                                                                                                                                         

 ذٰلِكَ هُدَى اللّٰهِ يَهْدِيْ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ ۗوَلَوْ اَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْن

“Itulah petunjuk Allah, yang Ia berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyapnya seluruh amalan yang telah mereka kerjakan.”(Al-An’am:88 )

Redaksi  ولو اشزكوا   merupakan syarat bagi redaksi selanjutnya, yang seakan-akan member pemahaman bahwa “orang yang melakukan tindak kemusyrikan,berarti telah menandatangani kontrak penghapusan pahala atas seluruh kebajikan yang di lakukan. “ Padahal tidak begitu maksudnya, yang seakan-akan menjelaskan bahwa  “ Alloh takut bila manusia menduakan diri-Nya, sehingga ia harus menakut-nakuti manusia dengan menghapus seluruh amalan mereka jika melakukan hal tersebut.”

Melainkan ,ayat tersebut ingin menegaskan bahwa “ tindak kemusyrikan itu sangat berbahaya bagi manusia, karena hal itu dapat merusak kejiwaannya. Yang ujung-ujungnya mereka akan cepat frustasi , putus asa ,stress,bingung,marah,gila atau bahkan bunuh diri.” Pengetahuan tentang keberadaan Alloh jelas berbeda dengan pengetahuan tentang Hakikat Alloh. Kita saja bisa mengatakan Alloh itu “Ada” meski tidak berupa fisik, materi atau tinggal di suatu tempat. Namun apa yang kita ungkapkan hanya terkait pada substansi keber-Ada-annya  bukan pada esensi hakikatnya. Sebab kata “Ada” yang kita maksudkan hanyalah lawan dari kata keti-‘Ada-an .

Pengetahuan tentang keberadaan Alloh adalah  melaksanakan kebenaran atas sesuatu “yang terpikirkan “ ,sementara pengetahuan tentang hakikat Alloh adalah menerima kebenaran atas sesuatu yang tak terpikirkan. Kebenaran yang tak terpikirkan tidak membutuhkan dasar argumentasi agar ia diterima, sementara kebenaran “yang terpikirkan” memerlukan bukti rasional. Singkatnya, kebenaran “yang terpikirkan” adalah implementasi nilai-nilai keislaman , sedang kebenaran “yang tak terpikirkan” adalah manifestasi nilai-nilai keimanan. Sebagaimana pandangan yang dipaparkan Syaikhul Akbar Muhyiddin ad-Ibnu  Arabi (w.638 H/1240 M ).

“ keimanan adalah cahaya yang ditanamkan Alloh pada hati setiap manusia yang ia kehendaki tanp membutuhkan analisis logika , maupun pembuktian ilmiah untuk membenarkannya.sebab keimanan adalah pengetahuan  “tak terpikirkan” yang tertanam dalam hati seorang mukmin tanpa mampu mengelaknya (lihat Al-A’raf(7):172). Oleh karenanya,bila seseorang mendasarkan keimanan nya pada bukti-bukti yang dihadirkan alloh ,maka nilai keimanannya akan berkurang manakala bukti yang ditampakkan tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan.ini adalah resiko bila keimanan disandarkan pada sesuatu “yang terpikirkan”, bukannya sesuatu “yang tak terpikirkan”[20]

akhir kata ,mungkinkah seseorang yang tidak mampu memahami dirinya dapat memahami keagungan  dan keindahan Alloh?.

3)    Mafhum al-ghayah ( اﻟﻐﺎﻴﺔ ﻣﻔﻬﻮم ) / limit waktu

Mafhum al-ghayah ialah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada hukum yang dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit waktu sudah berlalu. Atau dalam definisi yang lebih sederhana : sebelum limit waktu yang ditentukan habis, maka berlaku hukum, tetapi setelah limit waktu yang ditentukan habis, maka hukum tersebut tidak berlaku lagi.

Contohnya, firman Allah SWT : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.”[21]

 Manthuq dari ayat tersebut tidak bolehnya menikahi istri yang telah ditalak tiga hingga ia mengawini laki-laki lain. Sedangkan mafhum ghayah dari ayat ini ialah bila bekas isteri yang ditalak tiga telah kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya, maka boleh mengawini bekas isterinya yang telah ditalak tiga itu.

Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah menetapkan hukum syara’ dengan mafhum ghayah ini. Sementara itu ulama Hanafiyah dan sebagian ulama fuqaha lainnya tidak mau menggunakan mafhum ghayah ini. Berkenaan dengan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hukum asal adalah memperbolehkan menikahi isteri yang ditalak tiga demi kemaslahatan isteri tersebut. Sedang larangan tersebut dibatasi (qayd) dengan suatu batasan atau waktu yang berlangsung selama batas waktu tersebut masih ada. Jika batas waktu tersebut telah hilang maka kembali halal.

Mafhum Gayah;  penunjukkan suatu lafal yang terkait padanya hukum yang dibatasi dengan limit waktu atas tidak berlakunya hukum itu setelah limit waktunya berlalu. Contohnya, firman Allah surat al-Baqarah, 2:187:

حِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain…

Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.

Contoh lain orang yang berwakaf berkata, Saya tetapkan besaran wakaf seperempat harta setelah dibagikan pada keluargaku yang fakir.  Yang disebut adalah penetapan pemberian hak pada keluarganya yang fakir. Jadi mafhum mukhalafah-nya adalah penafian hak keluarga yang tidak fakir. Nash ini bukan sebuah hujjah atas kedua hukum. Hujjah ini bisa diserupakan pada orang yang melakukan akad. Orang yang bertasharruf, pengarang ataupun orang berkata manapun, jika sifat atau syarat atau hitungan atau batas maksimal yang dibatasi, merupakan hujjah bagi penetapan hukum baginya. Apabila terdapat sesuatu yang membatasinya dan peniadaan hukum itu jika batasannya tidak ada. Sebab sebenarnya kebiasaan manusia dan peristilahan mereka untuk memahami dan mengungkapkan sebuah ketentuan ini. Andaikan penafian dan penetapan tersebut tidak dimengerti, tentu berakibat pada hal-hal yang siasia belaka, selain jika ada qarinah (indikasi) memperilhatkan bahwa pembatasan tersebut untuk pengkhususan.

  • اﻟﻌﺪﺩ ﻣﻔﻬﻮم ) / bilangan

Mafhum al-‘adad Ialah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya hukum dengan jumlah bilangan tertentu, yang selanjutnya menafikan hukum tersebut pada jumlah bilangan selain yang dilafazkan dalam nash. Atau pendapat lain Mafhum al-adad; ialah penunjukkan suatu lafal yang terkait padanya hukum dengan bilangan tertentu terhadap hukum kebalikannya ketika bilangan itu tidak ada atau penetapan kebalikan dari hukum apabila bilangan yang dibatasi,  apabila bilangan tersebut tidak terpenuhi.  . Misalnya, firman Allah surat al-Nur, 24 : 4:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ

Artinya :  Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,

Berdasarkan ayat ini, hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik melakukan zina, sementara ia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi adalah didera sebanyak 80 kali. Dalam hal ini, tidak boleh mengurangi dan menambah hukuman dera dari 80 kali.

Dan seperti dalam hadits Nabi Muhammad saw bersabda  :  Artinya: Apabila anjing meminum di bejana salah seorang di antara kamu, maka cucilah bejana itu sampai tujuh kali, maka mahum mukhalafahnya tidak boleh mencuci bejana yang bekas dijilat anjing itu kurang dari bilangan tersebut.

لزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

Atau dalam ayat lain firman Allah SWT : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”[22]

Manthuq dari ayat di atas adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina laki-laki dan perempuan. Mafhum al-‘adad dari ayat tersebut adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang ditentukan

Ayat diatasi bisa dipahami bahwa hukuman bagi orang-orang yang menuduh orang-orang baik telah berbuat baik, namun tidak bisa mendatangkan empat saksi telah ditetapkan hukuman delapan puluh kali deraan, tidak boleh lebih atau kurang. Selain dapat tambahan akibat kejahatan yang lain. Larangan ini berlaku berdasar mafhum mukhalafah, apabila hukuman telah ditetapkan  kadarnya, dilarang untuk menambah atau mengurangi.

5)    Mafhum al-laqab ( اﻟﻟﻗﺐ ﻣﻔﻬﻮم ) / gelar atau sebutan

Mafhum al-laqab ialah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang lain.  Atau Pendapat Lain Mafhum laqab ialah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim jenis dalam suatu nash, sebagai contoh dari sabda Rasulullah Saw. Artinya :

 pada gandum dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.

اِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ رَاَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَاَيْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ

Dan contoh lainnya , firman Allah SWT : “(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku…,[23])

Dalam manthuq ayat ini Yusuf melaaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa mimpinya. Jadi, hanya Yusuf sendiri yang disebutkan. Dengan demikian mafhum laqabnya ialah selain Yusuf tidak dapat disebutkan sebagai orang yang melaporkan kepada ayah Yusuf tentang peristiwa mimpinya. Ulama ushul fiqh, selain al-Daqqaq sepakat bahwa mafhum laqab bukanlah hujjah. Sebab mafhum ini tidak mencerminkan suatu pembatasan hukum terhadapnya, bukan pula menegaskan pengkhususan terhadapnya, mapun pengecualian terhadap hal-hal lainnya.

Atau contoh lain   Mafhum laqab merupakan penetapan hukum yang hanya penyebutannya dikhususkan (takhsis) penyebutan dalam nash dengan jenis dan hukumnya, sehingga hukum itu hanya berlaku yang hanya disebutkan dan tidak berlaku bagi objek yang tidak disebutkan.  “Muhammadan rasulullah” artinya Muhammad rasulullah. Mafhum mukhalafah-nya selain Muhammad bukanlah rasul atau utusan Allah SWT.  Seperti dalam surah An-Nisa’, ayat 23: —

  Ulama ushul sepakat tidak menggunakan mafhum laqab, yakni menyebut sebuah hukum yang telah ditetapkan sesuai jenis atau macamnya, sehingga hukum positif dalam masalah yang ada dalam nash dan negatif bagi masalah tidak disebut. Seperti sabda nabi Muhammad “Fil Burri Shadaqotun” artinya pada gandum ada (kewajiban) zakat. Lafazh “Burr” adalah nama bagi biji-bijan tertentu yang wajib zakat. Dalam sabda yang nabi SAW  “Fil Gommi zakatun” artinya pada kambing liar ada (kewajiban) zakat. Pemahaman ini tidak bisa dibenarkan baik menurut bahasa, menurut syara‟, maupun menurut adat kebiasaan, bahwa penyebutan lafazh burr mengecualikan segala biji-bijian lainnya. Tidak pula dipahami tentang penyebutan ghanam merupakan pengecualian terhadap jenis binatang ternak lainnya yang merumput. Tidak pula difahami, bahwa pewajiban zakat pada burr (satu jenis gandum) memberikan pemahaman bahwa tidak ada kewajiban zakat pada sya’ir (jenis gandum), jagung, bijibijan lainnya. Tidak pula difahami bahwasannya pewajiban zakat pada kambing memberikan pemahaman bahwa zakat tidak wajib pada sapi, unta dan lainnya.

 Ahli ushul fiqh setuju tidak memakai hujjah dalam mafhum mukhalafah dengan laqab ini. Hal ini disebabkan tidak disebutkan dengan tujuan pembatasan, pentakshsisan dan tanpa pengecualian dalam hal ini.  Terdapat persamaan antara nash syar’iyah ataupun nash undangundang hukum positif, transaksi, tashaaruuf (pengelolaan harta benda). Seperti dalam Surah al-Imron ayat 130, yang berbunyi

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan

Ayat di atas tidak bisa menggunakan mafhum mukhalafah, karena dari konteks di atas apabila tidak berlipat ganda, berarti riba menjadi halal. Walaupun tidak berlipat ganda, yang namanya riba tetap haram. Orang yang sudah meninggal dunia hutangnya dibayarkan dari harta peninggalannya. Kalimat  ini tidak bisa dipahami, selain hutangnya, misal biaya persiapan dan wasiat-wasiat yang terlaksana tidak dibayarkan dari harta peninggalannya.

  “diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan”[24]. Para ulama’ ushul fiqh memberi batasan terkait mafhum mukhalafah antara lain sebagai berikut[25]

Alloh berfirman dalam al –Quran ,

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ

“ Muhammad adalah utusan alloh, adapun, orang-orang  yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir,namun  saling menyayangi terhadap sesamanya…( Al-Fath :29 )

 Dalam ayat ini seolah-olah Alloh menyatakan , “Setelah Muhammad , Sang Nabi agung itu , bukanlah utusan-Ku, jika di antara kalian ada yang mengaku utusan-Ku,anggaplah orang gila ,yang mana segala ucapannya dan tindakannya harus kalian sikapi sebagaimana menyikapi orang gila pada umumnya .benar memang ,jika para pendahulumu yang mengikuti ajaran Muhammad itu keras terhadap orang-orang kafir, namun mereka tidak menyukai kekerasan,apalagi membentuk organisasi untuk melakukan tindak kekerasan dan pengrusakan.mereka saling menyayangi antar sesamanya .menghormati orang lain yang berbeda keyakinan dengan mereka, dan selalu menghidupkan rasa toleransi beragama sebagaimana mustinya tanpa mengurangi nilai keimanannya kepada-Ku “.

Ringkasnya, ayat tersebut seakan-akan menegaskan bahwa “ Muhammad adalah utusan akhir zaman ,seorang nabi yang dimuliakan  Alloh  melebihi para Nabi yang lain “

Ø  Kehujjahan Mafhum Mukhalafah

Mafhum mukhalafah adalah suatu istilah yang popular dalam pembahasan ushul fiqh. Namun tentang penetapan hukum melalui cara mafhum mukhalafah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan mafhum mukhalafah. Jumhur ulama menerimanya sebagai hujjah, kecuali mafhum laqab. Dan sebaliknya ulama Hanafiyah menolak kehujjahan dengan mafhum mukhalafah.

Semua ulama sepakat untuk tidak berhujjah dengan mafhum laqab karena dalam bentuk mafhum laqab itu tidak mungkin kita menghasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya; sebab dengan berlakunya suatu ketentuan pada nama tertentu, maka tidak lazim untuk tidak memberlakukannya di luar nama itu.

Jumhur ulama sepakat tentang bolehnya berhujjah dengan mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum al-ghayah  dan mafhum al-‘adaddi luar lingkungan nash-nash syari’ah (teks hukum), umpamanya di dalam akad perjanjian dan ucapan-ucapan. Artinya pada perjanjian-perjanjian yang diadakan antara dua belah pihak dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Misalnya, seseorang yang akan berwakaf berkata, “Setelah aku meninggal, aku jadikan seperempat dari wakafku ini untuk karib kerabatku yang miskin”.

 Manthuq adalah harta wakaf itu tetap diberikan kepada karib kerabat, namun secara mafhum mukhalafah, wakaf itu ditiadakan bagi karib kerabatnya yang tidak miskin. Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi petunjuk tentang hukum atas suatu kejadian bila dikaitkan kepada suatu sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menerapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktunya sudah berlalu. Di antara argumentasi jumhur ulama tersebut adalah :

  1. Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut, juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam suatu keadaan. Maka berlaku mafhum mukhalafah.
  2.  Kaitan yang terdapat dalam nash hukum baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu untuk menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam hal ini memang tidak berlaku mafhum mukhalafah.Berbeda dengan jumhur ulama di atas, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa keempat mafhum di atas tidak dapat dijadikan hujjah apabila berlawanan dengan manthuq. Untuk menetapkan hukum kebalikan dari nash-nash tersebut, menurutnya harus dikembalikan kepada :
    اﻷﺻﻞ ﻓﻰ اﻟﻸﺷﻴﺎء اﻹﺑﺎﺣ

 “Asal segala sesuatu itu adalah mubah”.

  • Mafhum Mukhalafah dalam Pemikiran Ulama Syafi’iyah dan Jumhur Ulama
    Ulama Syafi’iyah dan jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah.  Syarat tersebut adalah :

Ø  Syarat Menggunakan Mafhum Mukhalafah

Menurut jumhur ulama (ulama syafi‟iyah) ada beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai dalil atau hujjah, diantaranya:

  1. Bahwa mafhum mukhalafah tidak boleh bertentangan dengan dalil mantuq karena dalil mantuq lebih kuat darinya. Misalnya, firman Allah dalam al qur’an [26]:
    1. اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Dan ayat lainnya

Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Berdasarkan ayat ini hukum qisahsh berlaku umum bagi siapa saja yang membunuh laki-laki atau perempun secara sengaja. Dengan demikian, dalam kasus ini tidak berlaku mafhuum mukhalafah.

  • Bahwa kaitan yang disebutkan dalam nash atau mantuq bukan menjelaskan sesuatu yang biasa berlaku Apabila mantuq menjelaskan hukum yang biasa berlaku. Apabila mantuq menjelaskan hukum yang biasa berlaku, maka mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan terhadap nash tersebut. Misalnya, firman Allah surat al-Nisa‟, 4: 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Dalam ayat ini dijelaskan haram bagi seorang laki-laki menikahi anak tiri yang berada di bawah asuhannya dari isteri yang telah digaulinya. Secara mafhum mukhalafah, anak tiri yang tidak berada di bawah asuhan dari isteri yang telah digauli laki-laki tersebut boleh dinikahinya. Namun, penggunaan mafhum mukhalafah tidak boleh karena umumnya berdasarkan kebiasaan anak tiri pasti berada di bawah asuhan ayah tirinya.

  • Bahwa mafhum mukhalafah baru berfungsi apabila menyebutkan kaitan syarat, sifat, batasan waktu atau jumlah bilangan itu bertujuan untuk tasyri‟. Sebab, kenyataannya banyak penyebutan kaitan-kaitan tersebut bukan dimaksudkan untuk tasyri‟, tetapi ada diantaranya untuk al-targhib (agar orang menyenanginya), bayan al-waqi‟ (menjelaskan yang banyak terjadi) dan al-tanfir (membuat orang tidak suka mendekatinya). Misalnya, kaitan yang dimaksudkan untuk altanfir yang terdapat pada firman Allah surat Ali Imran ayat 130 yang dijadikan alasan oleh kalangan Hanafiyyah menolak mafhum mukhalafah. Menurut mayoritas ulama mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan pada ayat ini karena penyebutannya berlipat ganda bukan dimaksudkan untuk tasyri‟, tetapi untuk membuat orang membenci dan menjauhinya karena riba seperti ini yang banyak terjadi pada masa jahiliyah.

Adanya beberapa syarat ini merupakan pembatasan yang dibuat jumhur ulama dalam menggunakan mafhum mukhalafah Dengan demikian dapat menghindarkan terjadi kesalahan dalam memahami nash. mafhum mukhalafah yang terdapat dua versi baik itu yang menerima jumhur ushuliyyin (termasuk ulama syafi‟iah)  maupun yang menolak (ulama hanafiah) dengan alasannya masing-masing. Akan tetapi berdasarkan alasan-alasan yang sudah dipaparkan oleh kedua versi tersebut, dapat ditarik benang merah di sini bahwa mafhum mukhalafah boleh dijadikan sebagai hujjah. Tetapi harus dengan syarat-syarat tertentu (menurut jumhur ulama), yang mana syarat-syarat tersebutlah yang di jadikan sebab sebagai penolakan terhadap mafhum mukhalafah itu. Sehingga jika kita gabungkan kedua pendapat tersebut akan menuju ketitik temu satu satu yaitu boleh berhujjah dengan mafhum mukhalafah tetapi dengan syarat-syarat tersebut di atas.  [27]

5. Kegunaan Mafhum Bagi Para Ilmuan Adapun kegunaan mafhum  (cara memahami nash al-Qur‟an) bagi para ilmuan adalah;  dalam menafsirkan/berijtihad menetapkan hukum yang diatur dalam al-Qur‟an Bisa membatu para ilmuan dalam menetapkan hukum yang belum terkandung dalam nash, dan Bisa mempermudah para ilmuan dalam memahami lafaz-lafaz yang ada dalam al-Qur‟an.

Ø  Landasan Hukum Ulama Hanafiyah Menolak Berdalil dengan Mafhum Mukhalafah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq (tersurat). Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka tidak dapat diketahui hukumnya hanya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil yang lain. Hal ini berarti kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui mafhum mukhalafah.Diantara argumentasi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah adalah  Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa Arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum itu tidak berlaku bila kaitannya itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa Arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu tetapi tidak mengandung daya mafhum. Umpamanya firman Allah SWT.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ

Yang artinya “Janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda”[28]. Larangan riba dalam ayat ini diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba tersebut tetap saja haram meskipun dilakukan tidak secara berlipat ganda. Banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan tersebut tidak ada. Shalat kalau takut akan mendapat serangan , sebagaimana firman Allah SWT :

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (QS. An Nisa : 101)

Bila kita mengamalkan mafhum mukhalafah dari ayat tersebut, tentu tidak boleh mengqashar shalat di waktu tidak ada peperangan. Masih berlakunya qashar shalat meskipun tidak lagi dalam perang berarti mafhum mukhalafah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat tersebut.

Ø  Alasan Ulama Hanafiyah menolak mafhum mukhalafah untuk berhujjah adalah

  • Menggunakan keempat macam mafhum (mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum al-ghayah, dan mafhum al-‘adad) tidak dapat dibenarkan, sebab tidak termasuk dalam cara-cara mengetahui dalalah al-alfaz yang empat : dalalah al-ibarah, isyarah, dalalah al-dalalah dan dalalah al-iqtida’ yang semuanya itu ditentukan oleh bahasa dengan menukil dari sumber-sumber yang mutawatir.
  • Menyebutkan nash yang mengandung hukum kebalikan sesudah nash mengandung hukum yang tetap tidak ada faedahnya,
  • Syari’ sendiri sering tidak menghiraukan mafhum mukhalafah dari suatu ibarat nash beserta adanya kemungkinan untuk diamalkan. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fiqih menyebutkan bahwa menurut pandangan ulama Hanafiyah, mafhum mukhalafah tidak dapat dimasukkan dalam kategori metodologi penafsiran nash al Qur`an dan hadis. Bahkan mereka tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai metodologi dalam memahami hukum-hukum Islam, karena faktor-faktor sebagai berikut  :
  • Nash-nash syara’ telah menunjukkan adanya kesalahan (fasad) dengan digunakannya mafhum mukhalafah. Maksudnya, dengan banyaknya nash-nash al Qur`an dan hadis bila dipahami dengan menggunakan mafhum mukhalafah, justru bertentangan dengan ketetapan-ketetapan syara’, maka hal tersebut menunjukkan bahwa uslub al Qur`an dan hadis tidak memberikan peluang bagi mafhum mukhalafah untuk memahami hukum-hukum syara’ dari kedua sumber tersebut. Dengan demikian mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan metode dalam menggali hukum-hukum syara’ dari al Qur`an dan hadis.
  • Kebanyakan sifat-sifat yang membatasi dalam nash al Qur`an dan hadis bukanlah untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan (targhib) atau peringatan (tarhib).
  • Menurut jumhur ulama, bahwa suatu hukum itu pada umumnya membunyai sebab (‘illat) dan ‘illat tersebut melampaui pada apa yang tidak terkandung dalam suatu nash. Dengan demikian, tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan (qayd) itu sunyi dari hukum yang dijelaskan dalam nash, sehingga secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Hal itu disebabkan terkadang hukum yang tidak disebutkan itu mempunyai ‘illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafhum mukhalafah. Demikianlah pandangan ulama Hanafiyah. Dari pandangan tersebut, dalam menetapkan hukum dari nash al Qur`an dan hadis mereka tidak mau menggunakan mafhum mukhalafah, tapi hanya menggunakan dilalah yang berorientasi pada manthuq atau yang berhubungan dengannya. Pandangan ulama Hanafiyah tersebut menandakan adanya sikap berhati-hati dalam menetapkan hukum yang bersumber dari nash al Qur`an dan hadis.

Bentuk mafhum mukhalafah yang diperdebatkan oleh para ulama ilmu fiqih terkait penggunaannya sebagai hujjah, antara lain mafhum mukhalafah pada sifat, atau syarat, atau batas maksimal ataupun perhitungan pada nash syar’iyahnya secara khusus. Mayoritas ulama ushul fiqih mengatakan, tentang nash syar’i yang memperlihatkan hukum atas kasus. Jika ada batasan dengan sifat atau pensyaratan dengan memberikan syarat,  atau dibatasi batas maksimal atau hitungan, maka nash tersebut ditetapkan menjadi hujjah untuk kasus

Dengan sifat, syarat, atau batasan maksimal atau hitungan yang disebutkan. Ia pula akan menjadi hujjah untuk penetapan sebuah hukum pada kasus yang serupa. Jika nantinya berlainan sifat, syaratnya, batas maksimalnya atau jumlah yang telah disebutkan. Pertama dihukumi manthuq, sedangkan yang kedua hukumnya disebut mafhum mukholifnya. Kesimpulannya darah yang mengalir dihukumi haram dan sebaliknya darah yang tidak mengalir menjadi halal. Kedua hukum tersebut dijelaskan oleh firman Allah SWT, “au daman masfuukhan”….yang berarti darah yang mengalir. Sejumlah ‘ulama melakukan istidlal tentang pendapat mereka terhadap beberapa dalil. Dengan syarat harus ada dua hal, yaitu:

 a. Memahami cara atau gaya atau uslub dalam bahasa arab dan adat ketika memakai susunan kalimatnya, tentang pembatasan hukum tentang suatu sifat, atau syarat, atau dengan batasan maksimal atau hitungan, memperlihatkan akan ketetapan sebuah hukum jika ada batasan dan mengesampingkan hukun jika tidak ada batasasnya. Seperti, susunan kalimat berikut; barangsiapa yang menyatakan menunda membayar hutang oleh orang kaya adalah dzalim.

Pernyataan ini bisa dipahami, bahwa hukum ini tidak berlaku dengan orang fakir.  Barangsiapa yang mengatakan berikan hadiah kepada anakmu jika ia lulus, maka dari perkataan ini bisa dipahami, janganlah engkau member hadiah, jika ia tidak lulus. Dalam hal berhubungan dengan tindakan mengqashar sholat, Umar ra berpendapat bahwa mengqashar shalat dalam perjalanan, padahal disitu tidak ada kekawatiran ada fitnah dari orang kafir. Umar pun heran dan bertanya kepada nabi SAW,  “Mengapa kita mengqashar shalat dalam keadaan aman? Rasulullah saw. Menjawab: suatu sedekah yang disedekahkan oleh Allah kepadamu, maka terimalah sedekahnya”. Konteks tersebut dilatarbelakangi atas firman Allah: “ dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”[29].

Ayat di atas mafhum mukhalafah adalah jika merasa berani atas serangan orang kafir, maka tidak wajib untuk mengqashar sholar. Dalam hal ini, nabi SAW tidak menyalahkan pemahaman ini. mengajarkan bahwa Allah SWT melapangkan dan member keringanan saat mereka aman.  b. Batasan-batasan yang ada pada nash, pasti terdapat hikmah, sebab hukum syara’ tidak memberi batasan dengan sebuah batasan atau syarat, atau maksimal, atau hitungan yang sia-sia. Hikmahnya adalah pengkhususan sebuah hukum sesuai batasan yang ada. Dengan adanya pengkhususan (takhsis), dikehendaki ialah tidak adanya batasan. Dalam hal ini tidak ada perselisihan baik dalam nash syar’i maupun susunan kalimat yang tidak syar’i, kecuali jika ada qarinah memperlihatkan bahwa sifat atau syarat lainnya bukan untuk pembatasan, melainkan untuk tujuan lain, seperti untuk tafkhim (pengagungan), madh (pujian), damn (celaan) atau berjalan sesuai dengan kebiasaan. Dengan demikian tidak dijadikan sebagai hujjah dengan mafhum mukhalafah-nya. Berikut penjelasan secara rinci berkaitan kaidah ushul, yang berkaitan dengan macam-macam mafhum mukhalafah:  contoh dalam Mafhum Sifat 

“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;  saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat di atas Mafhum mukhalafah adalah isteri-isteri anak yang tidak sekandung seperti anaknya anak sepenyusuan. Sebagaimana Sabda nabi SAW,  “Fiil ghommi zakatun” artinya: pada binatang ternak yang digembalakan ada zakat. Mafhum mukhalafahnya adalah binatang ternak yang makanannya dicarikan dan tidak digembalakan maka tidak wajib bayar zakat. Sabda rasulullah SAW, “Man Baa’a mu’abbaratan fatsamrotuhaa lil baa’ii” yang artinya barang siapa menjual pohon kurma yang telah dikawinkan maka buahnya adalah bagi si penjual.  2. Mafhum Ghayah (batasan maksimal) Mafhum  yang menetapkan hukum yang berada di luar tujuan nash, bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan. Misalnya firman Allah dalam QS al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi: 

فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ ۗ فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يَّتَرَاجَعَآ اِنْ ظَنَّآ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

.” [30]

Kalimat di atas  dikatakan sebagai mafhum ghayah, namun mafhum mukhalafah-nya adalah adalah nakahat ghoiruhu, yakni menikah dengan orang lain sehingga menjadi halal. Maksudnya jika wanita yang telah diceraikan tiga kali dengan laki-laki selain yang telah menceraikan. Secara faktual dijumpai di masyarakat adanya rujuk pasca talak tiga yang dilakukan dengan menikah yang bertujuan untuk siasat belaka. Artinya menikah untuk yang kedua kali dilakukan, bercerai dan kembali rujuk dengan mantan suaminya. Berdasarkan kompilasi hukum Islam, maka syarat dan rukun pernikahan dilewati. Dan memenuhi syarat iddah setelah perceraian kedua.

Kalimat tersebut dimaknai sebagi mafhum ghayah, sedangkan mafhum mukhalafahnya adalah nakahat ghoiruhu, menikah dengan orang lain sehingga menjadi halal. Artinya apabila wanita yang telah diceraikan tiga kali menikah dengan laki-laki selain yang menceraikan. Realitas menunjukkan adanya rujuk setelah talak tiga yang dilakukan dengan menikah dengan siasat. Artinya menikah kedua dilakukan, cerai, dan mantan suami menikahi kembali (rujuk). Sesuai kompilasi Hukum Islam, maka harus dilalui dengan syarat dan rukun pernikahan. Selain itu memenuhi syarat iddah pasca perceraian kedua.

1.   Mafhum mukhalafah harus mendukung atau selaras dengan nash yang rajah (benar) dari manthuq/mafhum muwafaqoh (yang disepakati)[31];

2.  Mafhum mukhalafah tidak boleh untuk tujuan imtinan (anugerah);  Firman Allah SWT dalam surah an-Nahl ayat 130

 “dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)[32]

”  Anugerah yang dimaksud sebagaimana dalam lafadh Manthuq dilarang menetapkan sebuah hukum khusus dan bukan sebuah fenomena khusus yang disebut dalam al-Qur’an. Seperti larangan Allah SWT tentang memakan riba.

  1. Mafhum mukhalafah dilarang menyebutkan sebagai tafkhim (penekanan terhadap sebuah kondisi). Seperti hadits nabi SAW: “”Laa Yahilu li imroatii tu’minu billaahi wal yaumil akhiri an tahida ala mayyiti fauqa tsalatsin illa ala zaujin fa innaha tahidu alaihi arba ‘ata asyhurin wa ‘asyro ” Artinya: Tidak dihalalkan bagi perempuan yang beriman pada Allah dan hari akhir berduka atas kematian seseorang selama 3 hari kecuali atas seorang suaminya, maka sesungguhnya perempuan tersebut masa berduka selama 4 bulan 10 hari. Kata iman tidak ada kaitan dengan mafhum mukhalafah, karena yang disebutkan ditujukan sebagai penguat atau penekanan suatu hal.
  2.  Mafhum mukhalafah harus independen, apabila ada yang mengikuti dalam penyebutannya oleh yang lain, maka mafhum mukhalfah tidak ada. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 187

 “janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya”[33].  Kata masjid, mafhum mukhalafah-nya tidak ada. Hal ini dikarenakan orang yang sedang i’tikaf tidak boleh menggauli istrinya sama sekali.   

                                                                                                                                     PENUTUP

Kesimpulan

  1. Mafhum Muhalafah menurut istilah Ushul Fiqh adalah “penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan” atau secara lebih sederhana mafhum Muholafah adalah “ Penunjukan lafal atas tetapnya hukum yang tidak disebutkan kebalikan dari yang disebutkan karena tidak adanya suatu persaratan pada hukum  Jenis-jenis mafhum mukhalafah yaitu mafhum sifat, syarath, ghayah, ‘adad  dan laqab.
  2. ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan mafhum mukhalafah. Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Namun, diantara semua bentuk mafhum mukhalafah, ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Sedangkan ulama Hanafiyah menolak berhujjah dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
    Makalah ini tentu tidak cukup untuk mengungkap banyak tentang mafhum mukhalafah secara keseluruhan. Dan Menurut jumhur ushuliyyin, mafhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara‟. Alasannya antara lain : Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sikap Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam memahami mafhum mukhalafah. Adapun kegunaan mafhum  bagi para ilmuan adalah;  Bisa membatu para ilmuan dalam menetapkan hukum yang belum terkandung dalam nash, Bisa mempermudah para ilmuan dalam memahami lafaz-lafaz yang ada dalam al-Qur‟an.

DAFTAR PUSTAKA

 Firdaus , Ushul Fiqh ,Depok ,Rajagrapindo persada , 2017 hal 182 

Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta ; Amzah, 2014, Cet. 3

Djazuli, dkk, Ishul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000, Cet. 1

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2012, Cet. Ke-4

Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Amzah, 2005, Cet. 1

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Rineka Cipta, 2005, Cet. 5

Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013, Cet. 1

Munawwir, Achmad Warson, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progressif, 2007

Sanusi, Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta : Rajawali Press, Cet. Ke-1, 2015

Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Setia, Cet. Ke-4, 2010

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta : Kencana, Cet. Ke-6, 2011

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, Cet. Ke-17, 2013

Referensi  ‘Atha bin Khalil. Ushul Fiqih: Kajian Mudah Dan Praktis. Edited by Yasin as-Siba’i. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010.

Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, 2012.

H.A. Khisni. Epistemologi Hukum Islam (Sumber Dan Dalil Hukum Islam,Metode Istimbath Dan Ijtihad Dalam Kajian Epistemologi Usul Fikih). Semarang: Unnisula Press, 2012.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. III. Kairo: Maktabah al-dakwah alIslamiyah, 1990.

———. Ilmu Ushul Fiqh. Edited by Moh Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Dina Utama, 1994.

Musa bin Musthofa al Abiidan. Dalalatu Tarki Bil Jumal Indal Ushuliyin. Damaskus, Siria: awanil unnasri wat tauzi wal hidmat attibaiyah, 2002.

Amir Syarifuddin Prof. Dr., Ushul Fiqh, Zikrul Hakim, Jakarta.

Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah (Beirut: Dar al-Qalam, 1966).

Muchsin Nyak Umar, Prof. Dr. MA. Ushul Fiqh. Ar-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh. Oktober 2008, Cetakan Pertama

Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum alQuran, juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1995)

Referensi  ‘Atha bin Khalil. Ushul Fiqih: Kajian Mudah Dan Praktis. Edited by Yasin as-Siba’i. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010.

Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, 2012.

H.A. Khisni. Epistemologi Hukum Islam (Sumber Dan Dalil Hukum Islam,Metode Istimbath Dan Ijtihad Dalam Kajian Epistemologi Usul Fikih). Semarang: Unnisula Press, 2012.

Internet

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/view/1478.

ejurnal.stainwatampone.ac.id/index.php/Al-Bayyinah/article/…/13.


[1] Mustafa Sa‟id al-Khin, Atsaru al-Khilaf fi al-Qowaid al-Ushuliyah fi alikhtilafi al-Fuqoha (Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet 7, 1998) hal 128

[2] Firdaus , Ushul Fiqh ,Depok ,Rajagrapindo persada , 2017 hal 182 

[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu….,h. 13.

[4] Romli, Studi Perbandingan …, h. 324.

[5] Konsep Mafhum Mukhalafah dalam Pemikiran Ulama Syafi’iyah dan Landasan Hukum Ulama Hanafiyah untuk Menolak Berdalil dengan Mafhum Mukhalafah

 yahdi dinul haq    May 13, 2018

[6] Kementerian  Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan……, h. 213

[7] ( H.R Ibnu Hibban,1993,(4):48/1242)

[8] ( Ibnu Arabi,2006, {8}:199)

[9] (QS. An-Nisa : 25

[10]  Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajizfi, Ushu al-Fiqh, Baghdad: Dar alArabiayah Littiba‟ah, 1971, Cet. ke-6 Hal. 366

[11] (QS. An-Nisa : 25

[12] (QS. An Nisa : 24

[13] ( Al-Furqon: 63 )

[14] Al-Ghazali ,tt, (1/2);203-205 )

[15] Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan….., h. 78.

[16] Romli, Studi Perbandingan …., h. 326

[17] Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan …..,h.  351.

[18] (QS. At Thalaq : 6)

[19] QS. At Thalaq : 7

[20] ….(Ibnu Arabi,2006,(3):390 )

[21] (QS. Al Baqarah : 230

[22] (QS. An Nur : 2)

[23] (QS. Yusuf : 4

[24] Kementerian  Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan…..,h. 82.

[25] 25Musa bin Musthofa al Abiidan, Dalalatu Tarki Bil Jumal Indal Ushuliyin, (Damaskus, Siria: awanil unnasri wat tauzi wal hidmat attibaiyah, 2002), h. 313

[26] al-Baqarah, 2;178

[27] Jurnal Syarah, Vol. 7, No. 1 Januari – Juni 2018

[28] QS. Ali Imran : 130)

[29] Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan ……, h.137.

[30] QS al-Baqarah ayat 230

[31] Ahmad Atabik, “Manthuq Dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Alqur’an Dan Sunnah,” Yudisia Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islami 6, no. 1 (2015): 98–118, http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/view/1478

[32] Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an ….,h. 269

[33] Kementerian  Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan….., h. 30.

Komentar