Oleh: Taufiqur Rahman, (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang,Fakultas Ekonomi & Bisnis, Jurusan Ekonomi Pembangunan.)
COVID-19 adalah sebuah penyakit yang menular yang disebabkan oleh virus dari golongan coronavirus, yaitu SARS-Cov-02 yang sering disebut dengan virus corona. Kasus pertama muncul di kota Wuhan (China) pada akhir Desember 2019. Setelah itu virus tersebut sangat cepat menular dari manusia ke manusia lainnya. Tidak hanya di China saja tetapi virus tersebut menular hingga ke beberapa negara di dunia salah satunya yaitu Indonesia. Dengan munculnya virus corona diberbagai negara, maka tak sedikit negara yang terpapar virus corona melakukan kebijakan yaitu lockdown untuk mencegah penyebaran virus corona semakin besar. Mereka memberlakukan lockdown hingga beberapa pekan.
Virus corona mengancam ekonomi Indonesia. Salah satunya yang mengenai dampaknya adalah di bidang pariwisata karena banyak tempat wisata yang harus atau wajib ditutup, alat transportasi umum seperti bus,kereta api,pesawat dan kapal laut pun harus mengurangi penumpangnya karena harus melakukan social distancing. Kebijakan moneter pun muncul yaitu mempertahankan suku bunga yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan untuk menekan nilai inflasi agar tetap selalu rendah pada setiap tahunnya. Dan juga menjaga nilai tukar rupiah agar tetap stabilitas. Instrumen kebijakan moneter juga muncul yaitu kebijakan kredit ketat yaitu kredit tetap diberikan oleh bank umum, tetapi pemberian tersebut harus benar-benar didasarkan pada syarat 5C yaitu Character, Capability, Collateral, Capital dan Condition of Economy. Dengan adanya kebijakan tersebut maka jumlah uang yang beredar dapat selalu diawasi. Dengan beberapa kebijakan yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menjaga perekonomian di Indonesia tetap stabil, nilai tukar rupiah tetap stabil dan menekan nilai inflasi tetap rendah.
Setiap negara sudah melakukan beberapa upaya dalam mencegah penyebaran virus corona tersebut dan menjaga perekonomian negaranya tetap stabil. Indonesia juga melakukan beberapa cara untuk menjaga perekonomian di Indonesia tetap stabil. Harapannya dari beberapa kebijakan tersebut bisa menghasilkan hasil yang positif yang berdampak pada perekonomian Indonesia tidak buruk, nilai tukar rupiah tidak tinggi dan tidak terjadinya inflasi.
Pandemi masih menjadi ancaman nyata bagi Indonesia hingga saat ini sehingga perbankan memprediksikan akan menghadapi beberapa persoalan seperti peningkatan kredit macet. Meski demikian, suku bunga rendah dan peraturan yang lebih fleksibel kemungkinan akan menekan adanya resiko tersebut. Agustin Carstens, General Manager di BIS, menyerukan pentingnya peran bank ntuk mengatasi ancaman resesi yang telah terjadi di depan mata. “Sekaranglah waktunya untuk memanfaatkan akumulasi penyangga neraca yang telah ditingkatkan saat masa keemasan sebelumnya,” ujar Carstens seperti dikutip dari Financial Times.
Dalam laporan Bank DBS Indonesia, sektor perbankan diprediksikan siap untuk mendukung penyelesaian krisis yang sedang berlangsung, meskipun bukan berarti tanpa risiko sama sekali. Oleh karena itu, meskipun industri perbankan akan tetap siap mengawal pemulihan perekonomian nasional, tapi akan tetap memperhatikan beberapa kondisi. Adapun tantangan lain yang saat ini menjadi kekhawatiran sektor perbankan di antaranya rasio kredit di kawasan ini yang cukup tinggi, serta rasio pembayaran utang juga cukup tinggi meskipun tier 1 capital buffers telah meningkat hampir di semua wilayah. Ketika dukungan kebijakan stimulus berakhir, beberapa bisnis dan rumah tangga diprediksi akan menghadapi kesulitan yang pada gilirannya bisa mengganggu kualitas aset bank di level regional.
Pada laporan Bank DBS lainnya yang berjudul “Regional Market Focus: Regional Strategy”, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia dilaporkan akan terus membaik dengan permintaan domestik dan belanja pemerintah yang akan menjadi kunci bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Total belanja Pemerintah Indonesia dalam APBN 2021 sebesar Rp2.750 triliun atau 15,6 persen dari Produk Domestik Bruto dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5 persen. Defisit anggaran dalam APBN 2021 direncanakan 5,7 persen, sedikit lebih kecil dari defisit anggaran pada 2020 yakni 6,34 persen. Sementara itu, BI kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuan yang rendah dan fokus pada dukungan kebijakan non-konvensional. Obligasi Rupiah diprediksi akan menjadi daya tarik baru jika disertai dengan rasio penawaran yang lebih tinggi dalam lelang, sehingga investor dapat memperoleh keuntungan dengan dukungan bank sentral.(****
Komentar