oleh

Perguruan Tinggi Berbasis Kearifan Lokal

Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, MS.

Seiring perkembangan zaman, teknologi dan ilmu pengetahuanpun semakin canggih.

Di era kasajagatan ‘globalisasi’ saat ini, visi dan misi di berbagai bidang, terkesan lebih kepada kemancanagaraan’, dalam arti bahwa masyarakat cenderung lebih menghargai segala sesuatu yang berasal dari ‘luar’. Nonoman ‘generasi muda’ kita menganggap bahwa budaya  pituin ‘asli, seperti aksara, bahasa, wastuwidya ‘arsitektur’, kuliner, seni, pandangan hidup, dan naskah, yang dianggap sebagai dokumen budaya masa silam, yang berisi data, informasi, gagasan, dan ide-ide cemerlang dari karuhun kita di masa silam,  adalah kuno, dan ditinggalkan, bahkan dibiarkan punah. Padahal, kalau kita cerna dan simak secara saksama, tinggalan budaya masa lampau itu sangat berharga dan tidak bisa dinilai dengan materi.

Andai kita melirik ke bidang pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Jawa Barat, hanya sedikit yang ‘sangat’ peduli dan berbasis kearifan lokal budaya daerah setempat. Ini terlihat dari mata kuliah yang ditawarkan selama kurun waktu masa pendidikan mahasiswanya. Pengenalan budaya, seperti mata kuliah yang berkaitan dengan etika, bahasa,  seni, sastra, sejarah, maupun pendidikan karakter, hanya ada di universitas atau fakultas yang memang ada program studinya. Salah satunya, misalnya di Universitas Padjadjaran, khususnya di Fakultas Ilmu Budaya Unpad, ada mata kuliah wajib fakultas yakni mata kuliah Kebudayaan Sunda, yang harus diikuti oleh semua Mahasiswa FIB, tapi tidak diajarkan di semua fakultas. Universitas lainnya, di antaranya Universitas Pendidikan Indonesia dan Universitas Pasundan.

Perguruan Tinggi yang berbasis kearifan lokal budaya serta mewajibkan semua mahasiswanya untuk lebih mengenal dan mempelajari seni budaya serta kearifan lokal budaya Sunda adalah Universitas Perjuangan Tasikmalaya. Di Unper, semua mahasiswa yang di usianya sekarang baru empat tahun, namun jumlah mahasiswanya kurang lebih sudah hampir sepuluh ribu mahasiswa ini, selain harus mengikuti mata kuliah Seni Budaya dan Kearifan Lokal, yang materinya disesuaikan, diselaraskan, dan diharmonisasikan, serta dikaitkan dengan program studinya masing-masing, agar mampu diimplementasikan di masyarakat kelak sesuai dengan profesinya, diwajibkan memiliki SKPI untuk lulus menjadi Sarjana. Kebijakan ini  memang tidak mudah untuk dilakukan, namun di bawah kepemimpinan Rektor Unper, yakni Prof. Dr. H. Yus Darusman, M.Si. dan berkat dukungan Yayasan Siliwangi, Dekan, Prodi, serta para Dosen se Unper, maka setiap semester, pada saat UAS, para mahasiswa mampu menampilkan beraneka ragam seni budaya dan kearifan lokal serta kreativitas lainnya yang sangat  mengagumkan juga membanggakan bagi Universitas Perjuangan Tasikmalaya. Semoga, banyak lagi perguruan tinggi di Jawa Barat bahkan di Indonesia yang berbasis kearifan lokal budaya.

Saha nu baris ngaraksa, ngariksa, tur ngamumulé budaya Sunda sangkan leuwih nanjeur tur nanjung  komarana, lamun lain ku urang Sundana sorangan? Pertanyaan dan pernyataan semacam itu sering kita dengar bahkan digunemcaturkeun ‘didiskusikan’ dalam beragam pertemuan kesundaan. Bagaimana realisasi dan implementasinya di masyarakat? Tanyalah hati nurani masing-masing. Apakah kita orang yang berperan serta ngaraksa, ngariksa, tur ngamumulé titilar karuhun nenek moyang kita, atau sebaliknya? Semoga tulisan ini menjadi pemantik, agar masyarakat peduli terhadap budaya pituinna sorangan, jangan sampai jati kasilih ku junti.(**)

 

Komentar