oleh

Pertambangan: Antara Kebutuhan vs Dampak Kerusakan Lingkungan

-Umum-40 views

Oleh: Atep Dadi Sumardi (Alumni Magister Rekayasa Pertambangan ITB)***

Beberapa hari yang lalu, beberapa media cetak mengangkat pemberitaan tentang

penertiban kegiatan usaha pertambangan bahan galian batuan (bukan bahan

galian golongan C) di wilayah Kota Tasikmalaya, sehingga menimbulkan pihak

yang pro dan kontra terhadap kegiatan usaha pertambangan.

Bagi pihak yang pro terhadap kegiatan usaha pertambangan, tentu bagi mereka yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan usaha pertambangan ataupun masyarakat yang membutuhkan bahan galian tersebut sebagai material untuk pembangunan. Bagi pihak yang kontra, tentu yang merasa dirugikan baik langsung maupun secara tidak langsung dengan adanyakegiatan usaha pertambangan tersebut, terutama dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Kegiatan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sudah barang tentu membutuhkan material seperti: batu, pasir, semen, dll. Hal ini tentunya dapat disimpulkan  sepanjang manusia hidup dan melakukan kegiatan pembangunan sudah barang tentu akan terjadikegiatan usaha pertambangan untuk memenuhi pasokan material untuk menunjang pembangunan tersebut atau yang disebut dengan Demand dan Supply.

Kegiatan usaha pertambangan selama ini dipandang selalu memberikan dampak pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan, merubah landscapemuka bumi, merusak daerah resapan air, penurunan daya dukung lingkungan, dampak sosial dan dampak negatif lainnya. Kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan Undang-UndangNomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memiliki mekanisme dan prosedur yang mengatur dari kegiatan pra penambangan, penambangan, reklamasi dan paska tambang sampai dengan penutupan tambang (mining closure).

Selain itu kegiatan usaha pertambangan pun harus sesuai dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya dalam pelaksanaannya. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu kegiatan usaha pertambangan. Kenapa masih terjadi dampak negatif? Hal inilah yang harus dilakukan evaluasi baik oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Karena paska diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Bupati/Walikota sudah tidak memiliki kewenangan urusan pemerintahan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara terhitung mulai tanggal 2 Oktober 2014, sedikit besarnya memberikan dampak terhadap pengelolaan pertambangan, dimana wilayahnya berada di wilayah Kabupaten/Kota, kewenangan perizinan usaha pertambangan ada di Pemerintah Provinsi sedangkan fungsi pembinaan, pengawasan dan pengendalian kewenangan Pemerintah Pusat melalui Inspektur Tambang (IT).

Permasalahan yang selama ini timbul dari suatu kegiatan usaha pertambangan

diantaranya :

  1. Maraknya penambangan tanpa izin yang salah satunya diakibatkan mekanisme dan prosedur perizinan yang belum jelas dan difahami oleh masyarakat/para pelaku

usaha;

  1. Belum adanya sinergitas kebijakan antara Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat;
  2. Masih banyaknya penambangan yang dilakukan di zona tidak layak tambang ataupun kawasan konservasi/kawasan lindung sesuai dengan RTRW Kabupaten/Kota;
  3. Kegiatan Binwasdal yang belum optimal dengan alasan luasnya wilayah dan terbatasnya personil;
  4. Dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan, karena penambangan tidak

dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah penambangan yang baik dan benar (Good

Mining Practice)

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam rangka pembenahan tata kelola

pertambangan diantaranya :

  1. Melakukan pemetaan dan inventarisasi berbagai permasalahan dari suatu kegiatan

usaha pertambangan, sehingga dapat merumuskan kebijakan yang diambil terkait tata kelola kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dari mulai kesesuaian TataRuang, pembagian zona tambang dan zona tidak layak tambang (Kawasan Konservasi / Kawasan Lindung) sesuai RTRW Kabupaten/Kota, sehingga ada suatu ketegasan bagi wilayah zona tidak layak

tambang untuk tidak diproses lebih lanjut terkait perizinannya;

  1. Memberikan kepastian hukum dan kepastian investasi dalam pemberian perizinan

usaha pertambangan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan

Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang salah satunya mengacu pada UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

  1. Melakukan sinkronisasi dan harmonisasikebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait pengelolaan kegiatan usaha pertambangan;
  2. Melakukan penertiban kegiatanusaha pertambangan tanpa izin (ilegal mining) sesuai dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009;
  3. Meningkatkan fungsi Binwasdal terhadap para pelakuusaha pertambangan yang

memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) sehingga dapat meminimalisir dampak

kerusakan dan pencemaran lingkungan dan dalamrangka mewujudkan tata kelola

kegiatan usaha pertambangan yang baik dan benar (Good Mining Practice).

Kegiatan usaha pertambangan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari sepanjang demand kebutuhan hasil tambang diperlukan terutama untuk kegiatan pembangunan. Namun bagi para pelaku usaha pertambangan pun untuk memenuhi supply kebutuhan tersebut, tetap harus memperhatikan berbagai mekanisme dan prosedur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlakuuntuk menghindari terjadinya berbagai dampak negatif yang ditimbulkan.

Peranan pemerintah lah sebagairegulator yang harus merumuskan terkait kebijakan tata kelola kegiatan usaha pertambangan yang mampu mengakomodir kedua hal tersebut, dimana kebutuhan bahan galian untuk pembangunan agar tetap dipenuhi, namun dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan pun dapat diminimalisir, sehingga mampu mewujudkan kegiatan usaha pertambangan yang mendukung terhadap pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development).

—–00000—–

Komentar