Oleh: Andre Vincent Wenas ,MM,MBA., pemerhati ekonomi dan politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Gibran pasca dipecat dari PDI Perjuangan (Senin, 16 Desember 2024) memberikan pidato di acara pelantikan pengurus Pemuda Katolik (Selasa, 17 Desember 2024). Pidato yang sangat elegan. Nampaknya kejadian sehari sebelumnya tak berarti apa-apa.
Tenang dan jernih pikirannya. Tidak frustrasi sama sekali, bahkan dia bercanda dengan serius, ya bercanda dengan serius. Tidak tendensius dan menyalahkan siapa-siapa, tidak mencari kambing hitam atau menghitamkan kambing tetangga yang sedang tenang merumput.
Gibran bilang, “Assalamualikum… (dan seterusnya…)”, menyapa tamu-tamu terhormat, terutama Ketua KWI Monsignor Antonius Subianto Bunjamin, sambil mesem-mesem serius (khas Gibran), “…jadi sebenarnya Mas Gusma ini senasib dengan saya, baru saja dikeluarkan dari partai (terdengar tawa hadirin yang berderai keras, namun Gibran tetap mesem-mesem serius), tapi bapak ibu, saya ingatkan juga Pak Ketua, sekali lagi, yang namanya perbedaan itu hal yang biasa.”
Sementara itu Ketua Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma memang sejak kampanye Prabowo-Gibran sudah mengundurkan diri dari PDI Perjuangan. Gusma pernah bilang, “Saya berkeyakinan dan mengikuti kata hati saya soal sikap politik ini. Pak Jokowi sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya. Approval ratingnya sangat tinggi. Pilihan politik saya saat ini senafas dengan mayoritas rakyat yang puas terhadap pemerintahan Jokowi.” (CNBC Indonesia, 27 Januari 2024).
Lanjut Gibran dalam pidatonya, “Perbedaan itu yang mewarnai demokrasi kita. Jadi saya tadi senang sekali Pak Ketua ber-statement akan merangkul, akan mengajak semua pemuda-pemuda yang ada di Indonesia ini apa pun background-nya, apa pun afiliasi politiknya. Dan yang namanya pemuda itu memang harus berani merangkul semua.”
Dan ini pesan pentingnya, “Saya senang sekali karena teman-teman Pemuda Katolik ini berkomitmen untuk menjaga, mengawal dan juga bersinergi dengan visi misi dan program dari bapak presiden kita Bapak Presiden Prabowo Subianto.” (KompasTV, 17 Desember 2024).
Pembawaan Gibran yang rileks dan santai memang terlihat kontras dengan para politisi (yang katanya kawakan) dari partai yang memecatnya. Bermuka tegang dan berwajah masam sambil terus berseru-seru soal parcok, bansos, pengkhianat dan perusak demokrasi.
Sekarang mereka sedang sibuk mem-framing publik bahwa Hasto-lah yang sedang dikriminalisasi dan sebagainya. Padahal Ketua KPK sudah menyampaikan dalam keterangan persnya bahwa Hasto ditersangkakan karena diduga terlibat dalam penyuapan (dalam definisi KPK ini termasuk tindak pidana korupsi) dan terlibat juga dalam upaya perintangan penyidikan. Bahkan oleh beberapa media disebut sebagai master-mind alias otak dari tindak kaburnya Harun Masiku.
Sehingga kalau para sekondannya Hasto mau berargumentasi di depan publik ya fokus saja terhadap dua hal ini. Kasus penyuapan dan soal perintangan penyidikan, tidak usah repot-repot bersilat lidah kesana-kemari. Apa sanggahannya yang rasional soal penyuapan (katanya duitnya dari Hasto) dan perintangan penyidikan (Hasto yang suruh kabur).
Tambah lagi Hasto bikin video pasca jadi tersangka. Isi video itu benar-benar menggelikan. Betapa tidak, Hasto berusaha manyandingkan peristiwa pemenjaraan Bung Karno adalah sama dengan dirinya yang sedang ditersangkakan oleh KPK.
Seolah-olah sama-sama jadi korban. Padahal Hasto jadi tersangka kasus korupsi (penyuapan) dan perintangan penyidikan (obstruction of justice). Sedangkan Bung Karno dipenjarakan oleh penjajah kolonialisme lantaran memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Dua motif yang berbeda.
Beda jauh, jaraknya seperti bumi dan langit. Seperti membandingkan rajawali yang gagah terbang di angkasa menyongsong angin yang bertiup kencang, dibandingkan dengan tikus got yang sedang gemetaran di comberan korupsi dan konspirasi perintangan penyidikan.
Bukankah Hasto sedang diminta pertanggungjawabannya di muka hukum gegara kasus Harun Masiku. Ini kasus malpraktek politik di pemilu 2019 lalu.
Hasto telah mengkhianati demokrasi karena merampas hak dari kadernya sendiri (Riezky Aprilia) untuk dihibahkan kepada Harun Masiku. Ada praktek suap disitu dan juga tindakan perintangan penyidikan. Sama sekali tidak ada kesan heroiknya, yang ada nuansa hipokrit tingkat sempurna.
Kenapa mesti dihibahkan buat Harun Masiku? Tidak pernah jelas alasannya. Apa salah Riezky Aprilia sehingga mesti di PAW-kan? Juga tidak pernah dijelaskan. Hanya yang selalu terdengar adalah: ini urusan internal partai dan ini sudah sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung.
Suara dari ribuan rakyat pemilih di Sumatera Selatan yang diberikan secara langsung, umum, bebas dan rahasia dimana hasilnya telah diumumkan secara terbuka kepada publik hendak dialihkan kepada pihak yang jadi pilihan petinggi partai. Ini jelas favoritisme, dan pengkhianatan pada demokrasi dan etika politik itu sendiri.
Riwayat Bung Karno ditulis oleh Cindy Adams, dan buku biografi itu dibawa-bawa oleh Hasto saat memberikan keterangan lewat rekaman video. Ia ingin nasibnya diasosiasikan dengan yang tertulis di buku itu.
Bung Karno jelas berdiri di pihak rakyat, membela kehendak rakyat Indonesia yang ingin merdeka, terbebas dari penjajahan dan penindasan. Sedangkan Hasto, apa yang sedang diperjuangkannya? Bukankah cuma kepentingan Harun Masiku untuk jadi anggota DPR? Atau ada kepentingan lain?
Ia mengaku telah mengritisi tentang bagaimana demokrasi harus ditegakkan, bagaimana suara rakyat tidak bisa dikebiri, bagaimana negara hukum tidak bisa dimatikan, dan bagaimana watak kekuasaan yang otoriter, yang menindas rakyatnya sendiri harus dihentikan. Dan Hasto sudah memahami risiko-risikonya dari kelakukannya.
Maksudnya mungkin ingin menyasar Jokowi. Padahal Jokowi sedang menikmati masa pensiunnya dengan damai dan berbahagia bersama cucu-cucu tercintanya. Ini pelampiasan dendam kesumat yang salah sasaran, jadi ngawur gegara gelap mata serta buta hati.
Karena sesungguhnya Hasto sedang memaparkan kelakuannya sendiri terhadap kader-kader partainya. Disadari atau tidak disadari. Ia justru memaparkan tentang bagaimana demokrasi harus ditegakkan, bagaimana suara rakyat tidak bisa dikebiri, bagaimana negara hukum tidak bisa dimatikan, dan bagaimana watak kekuasaan yang otoriter dan menindas kadernya sendiri harus dihentikan.
Bukankah itu semua hal yang dilakukan Hasto terhadap kadernya (salah satunya Riezky Aprilia, kabarnya ada banyak lainnya) hanya saja mereka memilih untuk pasrah dan tutup mulut. Ngeri, takut diseruduk kekuatan otoriter partai.
Jakarta, Sabtu 28 Desember 2024