Oleh: Andre Vincent Wenas*, (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.)
RUMAH susun jadi rumah lapis. Normalisasi sungai jadi naturalisasi sungai. Gorong-gorong pengendali banjir diubah jadi sumur resapan yang ternyata hanya mampu menyerap anggaran ketimbang menyerap air. Korupsi yang keburu ketahuan disebut kelebihan bayar. Lokasi yang kebanjiran cuma dibilang sebagai tempat parkir air.
Ada lagi polusi udara Jakarta tak bisa diatur lantaran udara tak punya KTP. Sampai merepotkan semua dengan ganti-ganti nama jalan yang sama sekali tak jadi solusi kemacetan di Jakarta. Dan yang paling mutakhir adalah rumah sakit (yang mungkin sudah sembuh?) maka diubah jadi rumah sehat.
Absurd! Ya, ini contoh irrasionalitas dan absurditas yang sempurna dalam kebijakan publik. Politik ganti nama!
Sekedar bikin heboh. Wacana publik dipolusi untuk ngomongin soal konyol ini terus menerus, sementara realitas persoalan yang dialami warga sehari-hari tak kunjung dapat solusi yang riil.
Ruang publik dikotori dengan kebohongan yang satu diteruskan dengan kapalsuan yang lainnya lagi. Ruang publik simbolik itu jadi kumuh. Kalau semakin kumuh dan keruh maka semakin mudah untuk mengail ikannya bukan? Mengail di air yang keruh. Begitu pepatah tua yang bijak berpesan.
If you can not convince them, then confuse them! Kalo gak bisa meyakinkan mereka, bikin saja mereka bingung! Caranya? Lontarkan terus kata-kata. Ya cuma kata-kata, yang paradoksal, bikin bingung, yang konyol, yang penting kontroversial. Begitu terjadi kontroversi Anda mengail popularitas.
Iya sekedar popular, yang murahan juga tidak apa-apa, yang penting diomongin terus. Tak peduli asosiasinya positif atau negatif. Hajar terus. Semprot terus. Ini jurus ‘firehose of falsehood’.
Semburan dusta (firehose of falsehood) kita kenal sebagai suatu teknik propaganda. Siarkan berulang-ulang, non-stop lewat berbagai cara (konpers, bikin kebijakan atau pesan konyol). Tak jadi soal masuk akal atau tidak.
Anies sedang berselancar di atas irrasionalitas sosial (cara pikir mitis) yang de-facto masih cukup luas meregam paradigma sosial di Indonesia. Penjara dogma dijadikan arena bermain para politisi untuk menyetir perilaku publik.
Bukankah cara itu yang dulu sukses menghantar Anies-Sandi ke Balai Kota? Irrasionalitas dan absurditas. Jadikan surga-neraka, ayat-mayat sebagai komoditas sekaligus alat kekerasan simbolik yang bisa mencocok hidung publik ke kotak pencoblosan. Tak usah berpikir tapi percaya saja. Agama de-facto dijadikan semacam candu yang meninabobokan akal sehat.
Sekarang di penghujung tampuk kekuasaan yang bakal berakhir Oktober 2022, semburan dusta lewat simbolisasi kepalsuan (ganti-ganti nama) yang memang bikin bingung dan jadi kontroversi bakal semakin kencang. Waktu publik di ruang publik habis untuk ngomongin absurditas semacam ini.
Sia-sia sebetulnya. Tapi siapa yang peduli (who cares), bukankah yang penting dapat ‘promosi gratis’, jadi ‘top of mind’, walau asosiasi merek (brand-associationnya) negatif.
Bukankah nanti di penghujung waktu tinggal di-spin sedemikian rupa sehingga alam pikir publik yang masih ada di dalam arena penjara dogma bisa diputar-balik? Maka citra buruk itu bisa serta merta dioperasi plastik jadi: dia “pemimpin yang amanah”.
Jangan heran, politik ganti nama ala Anies Baswedan ini memang bentuk irrasionalitas serta absurditas par excellence (kegilaan sempurna). Kegilaan semacam ini hanya oportunisme yang memang memanfaatkan banyaknya jumlah orang yang masih terpenjara dalam dogma, alam mitis.
Sementara rasionalitas, akal sehat dan daya kritis masih disimpan di laci.
Jakarta, 05/08/2022