oleh

Politisasi yang Layu Sebelum Berkembang

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA., pemerhati soal ekonomi dan politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

KASUS “Pembredelan” Pameran Lukisan dan Pencalonan Jokowi oleh OCCRP Sebagai Pemimpin Terkorup. Dua peristiwa teranyar yang ingin memojokkan Jokowi tapi jadi layu sebelum berkembang.

Kedua peristiwa ini dipolitisasi habis-habisan oleh pihak yang ingin mencomot keuntungan politis sebesar-besarnya. Pihak oportunis ini harus menjilat ludahnya sendiri yang sudah berceceran di jalan.

Jadi singkat saja.

Pertama soal pameran lukisan Yos Suprapto yang katanya dibredel, padahal cuma lantaran tidak adanya kesepakatan antara sang kurator Dr. Suwarno Wisetrotomo dengan sang seniman, sehingga pihak Galeri Nasional tidak bisa melanjutkan program pameran.

Ketiga pihak itu, Seniman-Kurator-Galeri, punya kedudukan yang setara. Ketiganya harus sepakat dan konsekwen dengan kesepakatannya agar pameran bisa berjalan lancar.

Tidak ada pembredelan. Ini hanya istilah yang dihembus-hembuskan pihak tertentu untuk membuat suasananya jadi lebih panas, makin hot untuk bergoyang dangdut. Tarriiiikkk maaangg…

Dr. Suwarno Wisetrotomo sudah memaparkan kronologi dan alasan-alasaa mundurnya beliau sebagai kurator pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional lewat pemaparannya di podcast Mojokdotco lewat kanal YouTube. Keterangannya disampaikan  dengan jernih dan tidak emosional. Silahkan disimak dengan tenang.

Peristiwa kedua adalah pencalonan Jokowi sebagai kandidat pemimpin terkorup versi jajak pendapat – lewat google-form – oleh OCCRP, singkatan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project. OCCRP ini sebuah Lembaga nirlaba yang independen. Independen artinya tidak bisa didikte oleh kekuasaan mana pun, mesti begini atau begitu, pendeknya mereka merdeka.

Tapi tak berselang, katanya nama Jokowi ini dihapus dari web-site OCCRP yang independen itu (https://video.tribunnews.com/view/789702/unggahan-situs-occrp-yang-masukkan-jokowi-di-daftar-pemimpin-terkorup-dunia-hilang-dihapus).

Mengapa hilang atau dihapus dari websitenya OCCRP? Ya hanya lembaga nirlaba yang independen itu yang tahu. Kita hanya bisa mengira-ira, berspekulasi bahkan berfantasi. Tak bisa mendikte lembaga itu harus begini atau begitu.

Mungkin nanti ahli intelijen yang bisa mengurai lebih sistematis siapa dan apa kira-kira motif pencalonan Jokowi sebagai pemimpin terkorup. Semestinya mereka punya fakta-fakta keras (hard-facts) yang mendukung pencalonan tersebut. Tapi yang jelas saat ini OCCRP sendiri yang faktanya telah menghilangkan (menghapus) nama Jokowi dari website-nya.

Mungkin nanti para penyinyir Jokowi yang bisa “membantu” OCCRP melakukan “investigative-reporting” yang juga berdasarkan fakta-fakta keras (bukan berdasar kebencian yang mengeras) tentang dugaan korupsinya Jokowi (kalau ada).

Mungkin dokumen-dokumen Hasto yang sudah “diamankan” Connie Rahakundini ke Rusia segala itu bisa jadi bukti yang dengan dahsyat bakal membongkar banyak skandal yang selama ini disembunyikan.

Misalnya skandal korupsi BTS yang sudah memvonis penjara dirut perusahaan milik suami Puan, sudah inkracht katanya. Juga korupsi e-KTP yang belum tuntas sampai sekarang. Katanya banyak tokoh-tokoh yang belum terungkap (diungkap) mengenai keterlibatannya.

Kalau soal pencalonan Jokowi sebagai salah satu pemimpin terkorup versi jajak-pendapat (melalui google-form) itu khan cuma berbentuk opini saja. Jelas bukan “investigative-reporting”, bukan suatu laporan berdasarkan investigasi jurnalistik yang serius dan mendalam.

Kalau menurut Andy Budiman, Wakil Ketua Umum DPP PSI, “Itu suara barisan sakit hati, mereka yang belum bisa move-on dari kekalahan di Pilpres. Ada jejak digital bahwa OCCRP membuka ke publik untuk menominasikan ke publik Corrupt Person of The Year sampai 5 Desember lalu. Jadi ada polling. Nah, barisan sakit hati itu yang memobilisasi suara.”

Siapa pun memang bisa bikin google-form tentang tingkat kepercayaan publik. Misalnya dengan pertanyaan, dalam kasus “pembredelan” pameran lukisan, “Lebih percaya mana cerita versi Kuratornya dibanding Pelukisnya?”.

Atau dalam kasus pemimpin koruptor oleh OCCRP, “Lebih percaya mana cerita versi Jokowi atau celotehan versi para penyinyir?”.

Jadi ya rileks saja. Kita nikmati pertunjukan para badut politik dan gelandangan politik yang sedang cari panggung.

Jakarta, Kamis 2 Januari 2025

Komentar