YOGYAKARTA—– Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS) menolak rencana pembangunan Jalan Tol Dalam Kota Bandung atau Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR). “Pembangunan jalan tol dalam kota sudah tidak relevan dengan kebutuhan perkotaan dan bukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah kemacetan di wilayah metropolitan,” ujar Direktur Eksekutif PUKIS M. M. Gibran Sesunan, dalam keterangan di Yogyakarta, Jumat (8/3).
Sebagaimana diketahui, wacana pembangunan Jalan Tol Dalam Kota Bandung kembali mengemuka setelah pertemuan antara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dengan Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin pada Rabu, 28 Februari 2024 lalu. Pertemuan tersebut membahas lima agenda pembangunan infrastruktur prioritas di Jawa Barat, salah satunya Jalan Tol Dalam Kota Bandung yang sempat mangkrak selama 17 tahun.
Gibran menuturkan, terdapat empat alasan penolakan PUKIS terhadap rencana pembangunan Jalan Tol Dalam Kota Bandung.
Pertama, solusi untuk mengatasi masalah kemacetan perkotaan adalah penyediaan transportasi umum yang andal, bukan menambah ruas jalan baru, apalagi membangun jalan tol dalam kota. “Jalan tol dalam kota memang dapat membawa manfaat jangka pendek, tetapi disertai dengan mudarat jangka panjang yang jauh lebih besar karena orientasinya pada kendaraan pribadi. Artinya, keberadaan jalan tol dalam kota justru akan menambah parah kemacetan perkotaan. Pemerintah pusat dan daerah mestinya tetap fokus membenahi dan mengembangkan angkutan umum massal khususnya di wilayah Bandung Raya,” kata Gibran.
Kedua, rencana pembangunan Jalan Tol Dalam Kota Bandung bertentangan dengan semangat pembangunan Indonesia-sentris yang selalu digaungkan Presiden Jokowi. Mengacu rilis resmi dari Kementerian PUPR, Jalan Tol Dalam Kota Bandung akan menjadi proyek yang diprakarsai pemerintah (solicited). Artinya, terdapat konsekuensi anggaran yang muncul karena pemerintah harus mendanai pengadaan tanah melalui APBN. “APBN mestinya diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah lain yang lebih membutuhkan, terutama di luar Jawa. Ini sejalan dengan perintah Presiden Jokowi bahwa pembangunan tidak boleh Jawa-sentris tetapi harus Indonesia-sentris,” ujar Gibran.
Ketiga, Jalan Tol Dalam Kota Bandung dapat merusak estetika kota dan mengancam ruang hidup masyarakat perkotaan. Gibran menuturkan, ruang kota yang terbatas akan semakin terbebani oleh infrastruktur yang kurang memperhatikan aspek sosial-budaya dan tata ruang urban (urban space). “Jalan tol dalam kota dapat menimbulkan sekat fisik, sosial, dan kewilayahan yang justru dapat mengganggu kehidupan masyarakat perkotaan,” imbuh Gibran.
Keempat, pembangunan jalan tol dalam kota sudah tidak sesuai dengan perkembangan teori dan praktik infrastruktur, transportasi, dan perkotaan. Saat ini sudah banyak negara dan kota-kota besar di dunia yang menghentikan pembangunan jalan tol dalam kota, bahkan membongkar dan mengembalikannya menjadi ruang publik maupun ruang terbuka hijau. Sebagai contoh, Korea Selatan telah membongkar Jalan Tol Layang Cheonggye (Cheonggye Expressway) yang kini berubah menjadi pusat kegiatan masyarakat dan daya tarik pariwisata di Kota Seoul. Hal serupa telah dilakukan di Amerika Serikat, Kanada, Belanda, dan sejumlah negara lainnya.
Karena alasan-alasan tersebut, PUKIS mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembangunan jalan tol dalam kota di Bandung maupun di kota-kota lainnya di seluruh Indonesia. “Pembangunan jalan tol harus difokuskan untuk menghubungkan wilayah, bukan malah menghancurkan kota. Jalan tol antarkota memang penting dan perlu dilanjutkan, sedangkan jalan tol dalam kota sudah tidak relevan dengan kebutuhan dan perkembangan sehingga harus dihentikan”, tegas Gibran.
Selain itu, menurut PUKIS, Kementerian PUPR perlu melibatkan ahli perkotaan dalam perencanaan jalan tol di Indonesia. “Selain melibatkan pihak eksternal, Kementerian PUPR juga memiliki ahli-ahli perkotaan yang mumpuni pada Direktorat Jenderal Cipta Karya. Mereka dapat diberdayakan untuk mendukung perencanaan jalan tol ke depan,” pungkas Gibran. ***
Komentar