Oleh: Dr Kharisul Wathoni, M.Pd.I (Dosen IAIN Ponorogo – Jawa Timur)*
PROFESI guru di kalangan kita masih menempati strata sosial yang relatif terhormat di kalangan masyarakat. Banyak hal yang menjadi alasan mengapa masyarakat “memosisikan” seperti itu. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan masyarakat mengapresiasi sosok seorang guru. Pertama, ada yang menghargai karena ketinggian moralnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya. Pada aspek ini masyarakat memandang secara obyektif sisi-sisi profesionalitas (aspek kepribadian, aspek profesionalitas, aspek paedagogik ). Kedua, masyarakat menghargai karena mereka dianggap lebih mampu dibanding mereka secara kepemilikan harta, hal ini karena sudah menjadi rahasia umum di era sekarang para guru relatif sejahtera dibanding masa “Umar Bakri” seiring dengan tunjangan sertifikasi maupun tunjangan yang lain yang mereka peroleh.
Pada aspek ini perspektif yang mereka pergunakan adalah sudut pandang non-teknis guru sebagai sebuah profesi. Banyak guru kini menjelma menjadi OKB, hal ini bisa dilihat di sekolah-sekolah maupun kampus di halaman parkir berjejer-jejer mobil dengan berbagai merek bahkan keluaran terbaru sekalipun. Belum lagi tempat tinggal mereka relatif lebih mentereng dibanding yang lain, tentu saja ini penggambaran guru yang bekerja di lembaga-lembaga pendidikan negeri maupun lembaga pendidikan swasta elit dan berpenghasilan lebih-. Di samping itu seiring era sertifikasi jumlah CHJ semakin meningkat.
Belum lagi profesi-profesi lain yang menjadi “sampingan” guru di luar aktifitas mengajar turut menyumbang “gemerlap” profesi guru sebagai sebagai sebuah pekerjaan idaman. Ketiga, masyarakat menghargai lebih karena peranan mereka yang sangat menonjol di tengah-tengah masyarakat. Entah mereka yang berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, sosial keagamaan, kepemudaan bahkan olahraga. Pada aspek ini masyarakat lebih melihat peranan seorang guru dalam berinteraksi dan bersosialiasi dengan masyarakat di luar rutinitas mengajar sehari-hari.
Dari ketiga aspek di atas, yang dominan adalah sosok pada poin kedua. Bagaimana kita lihat banyak oknum yang kini berlomba-lomba menghias diri dengan materi maupun pola hidup yang cenderung materialistis dan hedonistis. Upaya untuk meningkatkan kapasitas diri entah melanjutkan pendidikan maupun pelatihan tidak lebih sekadar hanya untuk meningkatkan pundi-pundi poin maupun koin. Tidak jarang menjelma menjadi sosok asing di tengah-tengah masyarakat, karena ia nyaris menghabiskan waktu di sekolah dan saat libur mereka pergi mencari hiburan ke luar. Sehingga nyaris mereka tidak punya waktu “menjadi’ bagian dari masyarakat. Mereka sibuk sendiri dan untuk diri sendiri.
Adapun sosok guru pada poin pertama dan poin ketiga dari ke hari semakin sulit dijumpai. Jika dahulu begitu disegani karena ketinggian moralnya, kini kita lihat banyak orang menjadi guru namun bukan sosok pendidik, ia hanya sekedar mentransfer pengetahuan dan ketrampilan namun minus nilai dan moralitas. Tingkah laku dan moralitasnya dari hari ke hari semakin memrihatinkan. Sehingga tidak heran kini banyak yang terlibat dalam pusaran immoralitas bahkan kriminalitas!. Di sisi lain jika seseorang mengajarkan materi yang sama dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi tanpa mau melakukan evaluasi, pembaharuan maupun pengembangan, maka hakekatnya ia mengajarkan kegagalan dan kemunduran.
Walaupun demikian mari kita bangun kesadaran bahwa profesi guru adalah profesi yang suci, terhormat dan layak untuk dicintai. Kita harus menyadari banyak kelebihan yang dimiliki profesi guru dibandingkan profesi lainnya. Sekadara contoh jika orang berharta lalu bersedekah maka yang ia peroleh hanyalah pahala dari sejumlah harta yang ia keluarkan. Hal ini berbeda jika mereka mengajarkan ilmu dan kebaikan maka pahalanya akan terus mengalir kepadanya sejauh mana ilmu itu dimanfaatkan dan berapa banyak orang yang memanfaatkan.
Coba kita perhatikan para aulia maupun para Sunan yang telah meninggal, berapa ribu bahkan berapa juta orang yang menziarahinya dan mendoakannya, hal ini lebih karena mereka adalah para “guru” yang mendarma baktikan ilmunya demi umat. Sehingga saat mereka sudah wafatpun, mereka masih menikmati pundi-pundi pahala maupun doa dari keberkahan ilmu yang mereka pernah ajarkan.(****
Komentar