oleh

Regulasi Pencatatan Perkawinan Ditinjau Dari Maqhasid Syari’ah

Oleh: Dian Rahmat N,SHI,M.Sy (Pasca Sarjana UIN  Sunan Gunung Djati Bandung)

A. Latar Belakang Penelitian

Lahirnya UU Perkawinan adalah merupakan wujud nyata pembangunan hukum nasional sebagai realisasi politik hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, walaupun kelahiran Undang-undang ini dilatar belakangi dengan kontroversi yang muncul karena adanya dua pandangan yang saling bertolak belakang. Pandangan pertama dipengaruhi oleh pemikiran sekuler yang menghendaki UU perkawinan tidak perlu memuat unsur agama sedangkan paham kedua yang sebagaian besar umat Islam menghendaki perkawinan memuat materi hukum agama, pandangan kedua ini yang akhirnya diterima karena dipandang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga terbentuklah UU Perkawinan yang berlaku secara univikasi seperti yang sekarang ini.

Akad perkawinan dalam pandangan Islam bertujuan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah yang darinya akan terbangun hubungan baik antara suami isteri yang akan berdampak luas terhadap hubungan keperdataan bagi kedua belah pihak (suami isteri), bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, bagi keluarga besar dari kedua belah pihak, dan masyarakat secara umum, termasuk juga kepentingan pemerintah dalam menciptakan tatanan masyarakat yang stabil.[1]

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2] Perkawinan merupakan sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi di masyarakat, bangsa dan negara. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kehormatan yang tidak mengutamakan norma-norma perkawinan. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan terwujudnya perkawinan sesuai dengan aturan syari‟at dan aturan negara adalah tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.[3]

Penjelasan Umum UU No 1. Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sehingga suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing pihak dapat mengembangkan kepribadiannya dalam membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material. Oleh karena demikian, Undang-undang ini menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan yang dibenarkan serta harus dilaksanakan di hadapan sidang pengadilan.[4]

Perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Hal ini berbeda dengan konsepsi perkawinan menurut hukum perdata barat yang memandang perkawinan hanya sebagai perbuatan keperdataan belaka sebagaimana terlihat dalam Pasal 26 Burgerlijk Wetboek yang menyatakan: Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdatanya.

Adanya masyarakat yang hidup di perkotaan dan pedesaan, berbagai macam agama, suku bangsa dan etnis, sistem pemerintahan yang otoriter, demokrasi, sosialis/komunis sampai pada hukum sekuler dan hukum agama adalah merupakanfakta sosial yang keberadaannya tidak terbantahkan.[5] Perbedaan inilah yang menjadikan pluralisme hukum sebagai suatu paham memperoleh akar yang kuat dalam khasanah pemikiran dan ilmu pengetahuan karena ontologinya berpijak pada fakta dan realitas sosial yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, bila dihubungkan dengan pasal-pasal dalam UUP dan KHI tentang sah tidaknya perkawinan dan sah tidaknya anak-anak yang lahir dari perkawinan secara agama menurut penulis pasal tersebut sudah harus ditinjau ulang atau direformasi atau diperbaharui karena pasal yang ada saat ini bersifat monoisme yang bersumber dari produk hukum negara yang mengabaikan hukum yang hidup di masyarakat khususnya hukum Perkawinan Islam.

Pencatatan perkawinan penting tapi tidak dengan semena-mena menghilangkan satu hukum dan meninggikan hukum yang lain. Sebagai contoh posisi wali dalam perkawinan Islam tidak bisa direndahkan statusnya, dan meninggikan posisi penghulu KUA sebagai orang yang harus hadir di majelis  ijab  kabul karena bila ia tidak hadir mengawasi maka sebuah perkawinan menjadi tidak berkekuatan hukum {Pasal 6 ayat (1) dan (2)}. Ini merupakan ironi hukum.

Indonesia sebagai negara hukum memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hukum perkawinan, termasuk di dalamnya aturan mengenai pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu prinsip hukum perkawinan nasional yang yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Urgensi dari pencatatan perkawinan tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa regulasi yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, yaitu: UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang awal mulanya hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. Kemudian UU ini berdasarkan UU No. 32 Tahun 1954 diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia.   UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 2 Ayat 2), sedangkan tata cara pelaksanaannya berpedoman pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (Pasal 10 Ayat 3), dan KHI Pasal 5 Ayat 2.[6]

Pasal 2 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dari ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 jelas bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, pada ayat sebelumnya juga disebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Artinya setelah melangsungkan perkawinan menurut kepercayaan masing-masing agama, perkawinan tersebut juga harus diikuti dengan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Apabila kedua ayat (ayat 1 dan 2) dalam Pasal 2 UU 1 tahun 1974 dihubungkan satu sama lainnya, maka dapat dianggap bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang dapat menentukan pula kesahan suatu perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan setiap individu, maupun menurut hukum negara. Sehingga perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang dapat dilindungi oleh negara.[7] Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa kedua ayat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dilaksanakan secara komulatif, bukan alternatif untuk memilih salah satu dari kedua aturan tersebut.

Faktanya, praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak sepenuhnya mengacu kepada Undang-undang. Sebagian masyarakat melangsungkan praktik perkawinan mengacu pada norma hukum Islam yang mnegizinkan perkawinan sirri dan bukan hukum positif negara sebagai acuan otoritatif. Konsekuensinya, pilihan hukum dalam bidang keluarga cenderung diserahkan sebagai kewenangan pribadi. Sehingga menimbulkan kerentanan, baik dari sisi nafkah, kepemilihan harta hingga perlindungan terhadap anak, meski belakangan keputusan Mahkamah Konstitusi telah mengakomodasi anak dari perkawinan sirri, namun karena prosesnya tidak mudah dalam hal pembuktian, maka, norma hukum baru tersebut dalam banyak kasus tidak dijadikan acuan oleh masyarakat.[8]

Sejatinya, pernikahan merupakan suatu proses hukum, sehingga hal-hal atau tindakan yang muncul akibat pernikahan adalah tindakan hukum yang mendapat perlindungan secara hukum. Bila perkawinan tidak dicatatkan secara hukum, maka hal-hal yang berhubungan dengan akibat pernikahan tidak bisa diselesaikan secara hukum. Sebagai contoh, hak isteri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin, akte kelahiran anak seringkali terkendala, hak pengasuhan anak, hak pendidikan anak, hak waris isteri, hak perwalian bagi anak perempuan yang akan menikah dan masih banyak problem-problem lain.

Kompleksitas masalah tersebut berdampak negatif bagi kaum perempuan sebagai pihak yang dinikahi, sementara pihak laki-laki tidak terbebani oleh tanggungjawab formal. Bahkan bila pihak laki-laki melakukan pengingkaran telah terjadinya pernikahan, ia tidak akan mendapat sanksi apapun secara hukum, karena memang tidak ada bukti autentik bahwa pernikahan telah terjadi secara hukum. Kondisi ini membuat kerentanan bahkan penelantaran terhadap perempuan.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum. Sebaliknya dengan tidak dicatatnya perkawinan, maka perkawinan yang dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti sebagai suatu perkawinan yang sah di hadapan hukum.[9]

Meskipun aturan megenai pencatatan perkawinan telah terisolasi dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, akan tetapi aturan mengenai pencatatan perkawinan tersebut tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam al-Qur‟an maupun hadits. Ada beberapa analisis lain yang mengidentifikasikan bahwa faktor penyebab pencatatan perkawinan luput dari perhatian para ulama pada masa awal Islam adalah karena: Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain al-Qur‟an. Tujuannya untuk mencegah tercampurnya al-Qur‟an dari yang lain. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral). Kedua, sebagai kelanjutan dari yang pertama, mereka sangat mengandalkan ingatan (hafalan). Agaknya mengingat suatu peristiwa perkawinan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimah al-urs yang dianggap telah menjadi saksi disamping saksi syar‟i dalam suatu perkawinan. Keempat ada kesan perkawinan yang berlangsung pada awal Islam belum terjadi antar wilayah yang berbeda.[10]

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu fenomena yang baru muncul di dunia Islam pada abad 20 sebagai upaya pembaruan hukum keluarga yang dilaukan oleh negara-negara yang berpendudukan mayoritas muslim. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Di dunia Barat seperti Belanda, telah lebih dahulu menetapkan aturan perkawinan bagi masyarakatnya, baik mengenai syarat, tata cara maupun akibat perkawinan. Burgerlijk Wetboek (BW)/Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai unifikasi hukum perdata Belanda telah mengatur hukum perkawinan dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 102. Bab perkawinan dibagi dalam satu ketentuan umum dan tujuh sub bagian. Ketentuan umum hanya terdiri atas satu pasal saja, yaitu pasal 26 BW/KUH Perdata yang dalam terjemahannya berbunyi “Undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja.” Adapun aturan mengenai pencatatan perkawinan dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 50 yang berbunyi “Semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memberitahukan hal itu kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu pihak.”

Sauqi Noer Firdaus dalam tesisnya menjelaskan bahwa nikah siri dalam pandangan masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi hal yang biasa dan sedang gencar dilakukan oleh pasangan muda-mudi maupun orang tua, kaya maupun miskin dan orang berpengetahuan maupun pendidikan. Maraknya kasus nikah siri tersebut dapat dilihat dari banyaknya data yang dipaparkan oleh piha berwenang seperti Kantor Urusan Agama dengan banyaknya permintaan dari masyarakat untuk mengajukan itsbat nikah. Seperti kasus yang terjadi di kabupaten Jember. Di Jember terdapat banyak kasus nikah siri sehingga pemerintah setempat berinisiatif untuk melaksanakan program itsbat nikah gratis untuk 1000 pasangan di berbagai titik kecamatan masyarakat setempat.[11]

Perkawinan sirri atau perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang tidak tercatat oleh pegawai pencatat nikah. Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah dianggap sah secara agama, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum Karen tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[12]


[1] Muhammad Nasir, Maqashid Al-Syari‟ah dalam Pencatatan Perkawinan di Indonesia. Jurnal At-Tafkir Vol. IX No. 1 Juni 2016, h. 38

[2] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1

[3] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2006),   h. 2

[4] Atikah Rahmi, Sakdul. Fungsi Pencatatan Perkawinan dikaitkan dengan Upaya Perlindungan Hukum terhadap Anak setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010.

[5] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia , h. 3

[6] M. Ahshary, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Kursial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 19

[7] Rachmadi Usman, Makna  Pencatatan  Perkawinan  dalam Peraturan  Perundang-undangan  di

[8] Hamka Ishak, Putusan MK tentang Anak Hasil Perkawinan Sirri, (Bandung: Edukasia Press, 2014), h. 3

[9] Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan, h.256.

[10] Fadil, SJ dan Nor Salam. Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia . (Malang: UIN Maliki Press, 2013), h 58.

[11] Sauqi Noer Firdaus , Dampak Nikah Siri terhadap Istri dan Anak Perspektif MaqashidAL- Syari‟ah al-Syatibi (Studi di Desa Bangsalsari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember). Tesis Program Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. NIM 19780007, h. 2

[12] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Prespektif Fikih dan Hukum Positif, UII Press, Yogyakarta, 2011, h. 210

Komentar