Oleh: Josef Herman Wenas
Apa yang kembali dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto soal “Jokowi dan keluarga bukan lagi menjadi bagian dari PDIP” adalah narasi ulangan yang terus dimainkan sejak akhir 2023. Itu dalam konteks kisruh Pilpres akibat beda posisi politik antara PDIP dan Jokowi, yang saat itu juga sebagai Presiden RI.
Faktanya, Hasto sebagai Sekretaris Jenderal juga tidak pernah menandatangani SK Pemecatan sebagaimana dimaksud dalam AD/ART PDIP, seperti yang ditujukan kepada Budiman Soedjatmiko dan Effendi Simbolon.
Kalau soal pemecatan Jokowi ini sepenuhnya tergantung Hasto, pasti sudah lama terbit SK Pemecatan terhadap Jokowi (dan Gibran). Berarti ada pihak di DPP PDIP yang tidak ingin ada SK Pemecatan terhadap Jokowi-Gibran, sementara Hasto sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, selain bermain dengan narasi kaset rusak tadi. Siapakah pihak “ordal” di DPP PDIP ini?
Sebaliknya, Jokowi (dan Gibran) juga belum mengembalikan KTA, untuk dua alasan. Yang pertama, prosedural legalistik , sebab AD/ART PDIP adalah hukum positif yang merupakan derivatif dari UU 2/2011 tentang Partai Politik. Yang kedua, politik rekonsiliasi .
Alasan kedua ini yang akan saya bahas pada AI kali ini.
****
Dari sudut prosedural-legalistik, sudah terang benderang bahwa status Jokowi-Gibran di PDIP saat ini interlocking (saling-mengunci). Seperti perdebatan mana lebih dulu, ayam atau telur?
Bila DPP PDIP akhirnya mengeluarkan SK Pemecatan, pasti Jokowi-Gibran akan mengembalikan KTA mereka. Ini soal ketaatan pada hukum yang berlaku di negeri ini. Tetapi, kita tahu, mereka yang berada di garis Sekjen Hasto terus saja memprovokasi agar Jokowi-Gibran mengembalikan KTA mereka lebih dulu, baru SK Pemecatannya dikeluarkan.
Antara “dipecat” (yaitu SK Pemecatan duluan) dan “mengundurkan diri” (pengembalian KTA duluan) adalah dua urusan yang sangat berbeda!
Kalau Jokowi-Gibran memang sejak awal sudah punya rencana keluar dari PDIP, pasti sudah lama mereka mengembalikan KTA-nya. Faktanya tidak demikian, kan?
Ada sesuatu dalam pikiran Jokowi, yang tidak dilihat oleh banyak pengamat politik. Yang umumnya looking out the window bahwa solusi bagi Jokowi berada di luar PDIP, entah gabung parpol lain, entah bikin parpol baru.
Tetapi saya melihat sebaliknya. Dengan fakta saling-mengunci antara Jokowi dan PDIP, bagi saya Jokowi justru sedang looking in the window , dari posisinya yang sedang berdiri di luar PDIP (namun masih resmi sebagai kader)
“Kalau begitu partainya perorangan,” itu komentar terakhir Jokowi soal ini. Banyak pengamat mencoba menafsirkannya kesana-kemari. Bagi saya, pernyataan Jokowi itu menjelaskan posisinya yang secara formal masih sebagai kader PDIP, tetapi sedang berjalan sendirian.
Kecuali Jokowi sudah memutuskan untuk meninggalkan PDIP, maka tidak mungkin sebagai pemegang KTA PDIP, Jokowi bergabung dengan parpol lain. Atau mendirikan parpol baru.
Maka “KTA Jokowi” ini menjadi point of analysis penting.
****
Di Harian Kompas edisi 30 September 2023 Guntur Soekarno Putra menulis artikel berjudul “Indonesia, Jokowi, dan Megawati Pasca-2024.” Guntur memandang bahwa pemikiran dan pengalaman Jokowi dalam menghadapi tantangan geostrategis masih diperlukan oleh bangsa dan negara.
Karena itu, Guntur memandang Jokowi harus tetap berada dalam lingkar kekuasaan dan pemerintahan dengan jabatan sebagai Ketua Umum PDI-P. Jederrrr!
Pandangan dari trah Soekarno senior ini sangat menarik. Bagi saya, yang revolusioner adalah pandangan Guntur bahwa posisi Ketua Umum di PDIP tidak boleh dibatasi oleh mantra “anak biologis Soekarno”— ini paradigma “PDIP lama.”
Maka paradigma “PDIP baru” perlu dilahirkan. Yang terbuka bagi potensi begitu banyaknya “anak ideologis Soekarno.” Guntur gamblang menyebutkan Jokowi adalah “anak ideologis Soekarno,” dan sosok yang tepat untuk menjadi Ketua Umum PDIP. Sekaligus memimpin transisi dari era “PDIP lama” masuk ke era “PDIP baru.”
Politik selalu berubah mengikuti berbagai macam tantangan kehidupan, dengan beragam panggung sandiwaranya. Itu sebabnya politics is never written in stone .
Mantra bahwa kepemimpinan di PDIP adalah prerogatif “anak biologis Soekarno” adalah sandiwara yang membawa PDIP terseret kedalam berbagai kisruh. Inti masalahnya adalah Megawati Soekarnoputri sendiri, yang saat ini berusia 77 tahun, dan tengah bingung menghadapi transisi kepemimpinan di partai ini lantaran perebutan warisan kekuasaan siapa jadi Ketum PDIP diantara kedua anaknya.
Kedua ahli waris PDIP ini bersaudara tiri (beda ayah). Perseteruan diantara mereka sekarang telah menimbulkan keterpecahan diantara elit PDIP sendiri. Ada yang pro Puan Maharani, ada yang pro Prananda Prabowo.
Tetapi realitas politik pasca Pemilu 2024 (Pilpres, Pileg dan Pilkada) membuat Megawati bingung atas rencana besarnya sejak lama untuk membesarkan Puan di jalur pemerintahan, dan membesarkan Prananda di jalur partai. Ini soal eksistensi trah Soekarno di PDIP. Sekarang jadi berantakan.
Kepentingan Sekjen Hasto Kristiyanto ada dalam konteks perseteruan dua saudara tiri ini. Itu sebabnya Hasto menolak gagasan Guntur Soekarno Putra melalui justifikasi “arus bawah masih menginginkan Ibu Mega sebagai pengikat.”
Bagi Hasto, mendukung Prananda menjadi besar di jalur partai itu penting demi habitatnya di posisi Sekjen (terlama dalam sejarah PDIP). Tetapi Puan yang bermain di jalur pemerintahan membutuhkan dukungan partai yang sejalan dengan langkah-langkah politiknya sendiri.
Terjadi konflik. Tetapi PDIP tidak bisa bermain dua kaki. Karena pasti terlempar keluar dari arus besar koalisi politik nasional yang sekarang menguasi istana dan parlemen.
****
Itulah keadaan interior PDIP yang sekarang dilihat Jokowi dari luar, looking in the window . Persis seperti yang dilihat oleh Guntur Soekarno Putra.
Maka perlu dimulai transisi kepemimpinan di PDIP. Caranya dengan menggeser Megawati ke posisi terhormat sebagai Dewan Pembina. Dan membiarkan Jokowi seratus persen pegang kendali di posisi Ketua Umum.
Memang, tidak pernah ada yang namanya Dewan Pembina di PDIP. Tetapi Kongres sebagai forum tertinggi partai punya kewenangan memutuskan hal strategis. Tentu perlu ada kesepakatan antara Megawati dan Jokowi apa yang dimaksud sebagai “petugas partai” dalam “sistem komandante PDIP.” Tidak bisa dengan pengertian dan cara-cara lama. “PDIP baru” perlu diwujudkan.
Jokowi harus diberi kepercayaan penuh sebagai Ketum, sementara Megawati di Dewan Pembina mengawasi. Ini bentuk konkrit rencana rekonsiliasi Jokowi.
Bagi Guntur, figur Ketum Jokowi yang bisa mewujudkan “PDIP baru,” juga menjadi jalan tengah konflik internal antara Puan dan Prananda.
Kalau Kongres PDIP di 2025 nanti bisa mengakomodasi rencana rekonsiliasi ini, itu artinya Wakil Presiden Gibran Rakabuming adalah kader PDIP. Sedangkan Puan Maharani— yang didukung oleh Ketum PDIP Jokowi— akan tetap menjadi Ketua DPR, sekalipun revisi UU MD3 dilanjutkan. Artinya, ada dua kader PDIP menduduki posisi puncak di eksekutif dan legislatif.
Tetapi, bagi saya, yang lebih utama adalah pembangunan bangsa dibalik VIE 2045 bisa terjamin dengan masuknya PDIP sebagai “anchor” koalisi besar bersama-sama Gerindra dan Golkar. Modal politik ketiga partai ini saja di parlemen sudah 51%. Itu artinya jaminan bagi stabilitas koalisi besar pemerintahan Prabowo-Gibran. Yang barangkali malah bisa menjadi koalisi permanen beyond 2029.
Tidak sulit menduga, partai-partai papan tengah pasti akan Jump into the bandwagon .
Melihat manuver Jokowi memang perlu menggunakan kacamata kenegarawanan (statesmanship) Lensa yang melulu politicking — yang mengutamakan menang-kalah, tipu-menipu, jegal-menjegal— akan sulit memahaminya.
****
Bahwa Jokowi adalah seorang rekonsiliator, hal itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Sudah sejak tahun 2019, rekonsiliasi Jokowi-Prabowo mewarnai panggung politik nasional.
Jokowi yang sekarang “partai perorangan” sedang mengupayakan rekonsiliasi dengan Megawati. Ini memang pilihan jalan terjal yang tidak mudah. Tantangannya ada pada kualitas kenegarawanan Megawati, bukan Jokowi.
Kalau toh upaya rekonsiliasi Jokowi ini gagal, kenegarawanannya tetap akan dicatat dengan tinta emas sejarah. So,nothing to lose for him .
-JHW
Komentar