Oleh: Andre Vincent Wenas, pemerhati masalah ekonomi dan politik. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
MENGHERANKAN memang, kok gampang sekali menuduh ada parcok dam operasi bansos besar-besaran untuk memenangkan kandidat yang diusung atau didukung KIM.
Berfikir logis saja, andaikan Jenderal Listyo Sigit memerintahkan aparat kepolisian memihak paslon tertentu, niscaya lawan-lawannya sudah porak-poranda. Hancur lebur di seluruh Indonesia, merata.
Tapi Hasto bersama koleganya Dedy Sitorus, Adian Napitupulu, Djarot Syaiful Hidayat, Ahmad Basarah dan Ronny Talapessy menyampaikan dalam konperensi persnya baru-baru ini, Kamis 28 November 2024 bahwa kandidat yang diusung PDI Perjuangan berhasil menang di dua ratusan kabupaten/kota.
Termasuk yang “dibanggakan” Hasto dkk adalah pilkada Jakarta dan Bali. Walau pilkada Jakarta masih menunggu keputusan akhir nanti dari KPU. Tapi perhitungan cepat mengindikasikan paslon Pramono – Rano unggul 50 persenan, sementara Ridwan – Suswono 40 persenan, dan Darma Pongrekun – Kun Wardhana 10 persenan.
Lho kok bisa? Di daerah yang PDI Perjuangan diindikasikan “menang” (katanya ada dua ratusan wilayah lebih) bisa dibilang tidak ada operasi bansos dan campur tangan partai cokelat, tapi sisanya ada operasi massif bansos dan campur tangan parcok atau oknum-oknum kepolisian.
Aneh, menuduh terjadinya kecurangan massif merata di setiap daerah, tapi toh tebang pilih wilayah. Kok jadi “contradictio in terminis” begitu, ini khan sesat pikir, alias logika ngawur.
Mereka berenam (Hasto dkk) bicara di konpers itu dengan menggebu-gebu menuduh Parcok, Operasi Bansos. Jateng katanya bukan lagi kandang banteng, tapi kandang bansos dan parcok.
Dan tidak lupa mereka mendiskreditkan Jokowi. Katanya Jokowi masih saja dituduh membela kepentingan keluarganya, oligarki. Kayaknya ini sudah jadi “lagu wajib” yang mesti terus mereka dikumandangkan.
Gaya menggebu-gebu mereka berenam itu jadinya hanya retorika kosong dan berkesan penuh bualan. Jadi contoh pidato murahan berlandaskan asumsi dan kebencian belaka.
Konpers itu cuma jadi forum ngambek bergaya anak kecil yang kalah main kelereng. Sibuk menyalahkan cuaca, atau bunyi klakson truk yang mengganggu konsentrasi mereka, sehingga kalah dalam kontestasi. Bikin malu saja.
Ada 543 wilayah (provinsi, kabupaten/kota) yang menyelenggarakan pilkada. Sedari awal, pasca pilpres, pihak Prabowo Subianto sudah kasih signal pada PDI Perjuangan untuk bergabung dalam koalisi. Tapi rupanya “ajakan” tersebut diabaikan alias ditolak.
Katanya mereka masih “sakit hati” dengan Jokowi. Megawati mau bertemu dengan Presiden Prabowo asalkan tidak ada Jokowi di kubu Prabowo.
Ada lagi yang menambahkan katanya Gibran mesti dianulir kewapresannya. Sebuah kondisi yang sangat tidak mungkin. Lagi pula persyaratan macam begitu sangatlah kelihatan sekali sifat kekanak-kanakannya.
Tapi itu cuma katanya, hanya kabar burung yang diyakini kebenarannya oleh sementara pihak.
Yang jelas PDI Perjuangan memutuskan sendiri untuk tidak bergabung dengan KIM Plus, walau di beberapa daerah tetap saja berkoalisi dengan parpol anggota KIM Plus sesuai dengan kondisi unik di tiap daerah. Jadi tidak di semua daerah PDI Perjuangan sendirian.
Sebetulnya lebih elegan kalau mereka berenam (Hasto dkk) itu mau belajar dari Irma Chaniago, sesama politisi yang terlihat lebih matang dalam bersikap. Terhadap pilkada Jakarta misalnya, ia mengakui strategi Pramono yang tampil dengan warna orange (warnanya Persija) ketimbang merah banteng sebagai pilihan yang cerdas.
Memang pilkada Jakarta masih menunggu keputusan KPU apakah bakal satu atau dua putaran nantinya. Tapi kata Irma, bagi yang menang nanti mesti didukung, dan bagi yang kalah mesti menerima kekalahannya dengan legawa. Tak usah mencari kambing hitam.
Introspeksi diri lebih bermanfaat ketimbang ngambek kayak anak kecil di depan kamera TV atau podcast.
Sebagai penutup, kita dengar kata-kata dari Joko Widodo tentang pilkada kali ini, “Alhamdulillah seluruh tahapan pilkada berjalan dengan baik. Saya mendengar pilkada berjalan aman, lancar, baik yang kita harapkan menunjukkan kematangan kita dalam berpolitik, dalam berdemokrasi. Saya kira sangat bagus sekali.”
Dan ingat, kepada calon kepala daerah yang unggul dalam perolehan suara sementara agar tetap rendah hati, “Jangan jumawa, yang kalah nanti lima tahun mendatang masih ada kesempatan untuk ikut lagi. Saya kira itulah kematangan dalam demokrasi.”
Menang atau kalah dalam kontestasi politik itu hal yang lumrah, biar bagaimana pun kita tetap bersaudara.
Bandung, Senin 2 Desember 2024
Komentar