oleh

Salik Thoriqoh Jangan Cemas Soal Rejeki

Oleh: Alfaqier G.E.Diponegoro.Jatman .(Pengurus Idarah Wustho Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah Prov.Lampung)

MARI kita untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dengan semaksimal mungkin, takwa dalam artian menjauhi segala larangan yang ditetapkan Allah swt dan menjalankan perintah-Nya.

Karena dengan ketakwaan, setiap persoalan hidup yang kita alami akan ada jalan keluarnya dan tidak perlu cemas akan rezeki.Karena ada pula rezeki yang datang kepada kita tanpa disangka-sangka, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran surah At-Talaq Ayat 2-3:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ

 “Siapa pun yg bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”

Berkaitan dengan rezeki, sungguh Al-Quran telah menjelaskan konsep rezeki bagi manusia dengan begitu rinci dan sangat detail.

Dalam Al-Quran digambarkan bahwa rezeki manusia dan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini telah ditanggung oleh Allah swt.

Allah berfirman dalam surah Hud ayat 6:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

 “Tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”

Salik thoriqoh dianjurkan untuk mencari penghidupan duniawi untuk mencukupi kebutuhan hariannya sesuai ajaran Islam yg memerintahkan manusia untuk bergerak mencari rezekinya yg halal.

Bekerja mencari penghidupan duniawi itu merupakan pekerjaan yang mulia di sisi Allah.

Justru sebaliknya, berdiam diri, tidak mau bergerak, menyengaja diri untuk menganggur bahkan meminta-meminta sedekah padahal fisiknya masih kuat untuk bekerja, yang demikian itu dipandang kurang baik oleh agama Islam.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ (رواه البخاري)

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ‘Salah seorang dari kalian memikul kayu bakar dipunggungnya itu lebih baik daripada ia mengemis kepada seseorang, baik diberi atau ditolak.’” (HR. Bukhari).

 Hadits ini menyebutkan secara tegas berisi anjuran untuk kita agar mau bergerak untuk mencari rezeki, kendati pekerjaan yang kita jalani saat ini ‘remeh’ menurut pandangan masyarakat pada umumnya, atau pekerjaan kita biasa saja, namun selama itu halal maka tidak mengapa, dibanding kita bergantung pada aktivitas meminta-meminta kepada orang lain tanpa ada usaha, maka lebih baik bekerja. Berkaitan dengan hal ini, para nabi dapat menjadi teladan bagi kita.

Mereka adalah orang yang kesalehannya tidak diragukan lagi, akan tetapi mereka juga tidak lupa terhadap pencarian akan kehidupan dunia supaya kebutuhan hariannya terpenuhi.

Nabi Daud yang makanannya berasal dari hasil usaha yang dikerjakannya sendiri juga Nabi Musa yang untuk mendapatkan makanan yang halal.

Begitu pun Nabi Muhammad saw yg terkenal sebagai pedagang di masa mudanya.

Apabila motivasi duniawi yang membuat kita semangat dalam bekerja tidak cukup bagi kita, ingatlah terhadap motivasi ukhrawi, bahwa Nabi pernah bersabda:

 مَنْ اَمْسَى كَالًّا مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ اَمْسَى

 مَغْفُوْرًا لَهُ

“Siapa pun yang di waktu sore merasa lelah karena mencari nafkah, maka di saat itu dosanya diampuni.” (HR. Thabrani).

Rezeki dan hasil usaha adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Segala yang kita usahakan dari pekerjaan kita, terkadang menghasilkan sesuatu dan terkadang tidak. Apabila menghasilkan sesuatu, adakalanya hasil itu bisa dimanfaatkan oleh kita, atau tidak bisa dengan semisal hasil usaha tersebut hilang, dicuri orang, atau diberikan kepada orang lain karena satu atau dua hal.

Sdapun hasil usaha yg bermanfaat bagi kita, dapat kita pakai, bisa kita makan, itulah yang dinamakan rezeki kita.

Boleh jadi seseorang yg kaya, yang hartanya berlimpah ruah, namun selama masa hidupnya ia hanya menghabiskan beberapa saja hartanya, adapun sisa hartanya yang masih banyak menjadi hak ahli warisnya.

Maka itu adalah rezeki ahli warisnya.

Yang terpenting lagi soal rezeki adalah, rezeki tidak selalu berbentuk harta. Rezeki bisa berbentuk materi, bisa juga berbentuk non-materi. Rezeki bisa juga berbentuk spiritual.

Kita setiap hari bisa melaksanakan shalat, melaksanakan puasa dan menunaikan zakat di bulan Ramadan, bahkan hingga melaksanakan ibadah haji. Itu merupakan rezeki.

Rezeki ketaatan dan hidayah yang diturunkan kepada para hamba yang dikehendaki oleh-Nya. Bukankah ibadah yang kita lakukan memiliki sisi kemanfaatan bagi diri kita sendiri, baik di dunia maupun di akhirat?

Itulah yang dinamakan rezeki.

Selain ibadah, rezeki itu juga dapat berupa teman yang baik, yang mengarahkan kita kepada jalan-jalan kebaikan. Lebih-lebih teman kita mengerti dan paham ilmu agama, sehingga menjadi wasilah kedekatan kita kepada Allah swt.

Selain itu, jodoh yang baik adalah rezeki juga. Pasangan yang baik akan menjadikan diri kita tenang dan damai dalam menjalankan bahtera rumah tangga hingga akhir hayat nanti, bahkan hingga kembali dipertemukan di surga. Kemudian, pendidikan yang sekarang kita dapatkan, baik di sekolah, di kampus, di majelis taklim, atau di tempat mana pun, itu merupakan rezeki dari Allah swt yang perlu kita syukuri, sebab pendidikan yang kita dapatkan saat ini, akan bermanfaat bagi kehidupan kita.

Yang paling sering kita abaikan untuk disyukuri adalah rezeki yang berupa oksigen yang kita hirup tiap detiknya.

Tak dapat dibayangkan apabila satu menit saja kita tidak dapat menghirupnya, tentu sesaklah nafas kita.

Menyangkut soal rezeki memang manusia adalah makhluk yang sering merasa riskan dan risau soal penghidupan duniawinya.

Hal itu merupakan sifat manusiawi bagi kita, sebab tanpa naluri kecemasan akan rezeki, tubuh kita tidak akan merespons untuk bergerak mencari nafkah. Akan tetapi, rasa cemas yang berlebihan terhadap rezeki pun tidaklah baik. Apalagi rasa cemas tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran bahwa rezeki tidak hanya yang bersifat materi saja, akan tetapi jika kita mau merenung dan berpikir, betapa baiknya Allah kepada kita dengan segala hal yang saat ini bisa kita nikmati dan ambil manfaat darinya. Itulah rezeki.Tidak perlu cemas dgn rezeki.(*****

Komentar