oleh

Sanghyang Siksakandang Karesian dan Parigeuing

Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S.(Dosen Filologi pada Departemen Sejarah dan Filologi ,Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)

TEKS Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) mengandung pesan moral, tentang  kesejahteraan hidup manusia di dunia, dengan cara memahami darmanya masing-masing. Jika tuntutan darma terpenuhi dengan sempurna, akan mencapai  kreta kesejahteraan’ dunia. Keberhasilan  menjalankan darma, menurut SSK, membuka kesempatan  mencapai moksa, bagi siapapun juga,  tanpa terkecuali, dan tanpa harus menjadi ‘pendeta’ atau pemuka agama terlebih dahulu. Dalam arti, untuk mencapai moksa, siapapun bisa mencapainya, lewat ‘darmanya’.   

Pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidak harus berasal dari kalangan bangsawan, resi/agamawan, kaum intelektual,  atau jika diindentikkan saat ini, tidak harus memiliki gelar, kedudukan, atau jabatan tinggi, yang penting mampu melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Pemimpin yang dianggap berhasil adalah pemimpin yang mampu ngretakeun janma réya dan ngretakeun bumi lamba ‘memerdayaan dan menyejahterakan orang banyak serta alam dunia’. Pekerjaan apapun yang dilakukan harus  diiringi ketulusan hati, karena tanpa keikhlasan, akan mengarah kepada ‘keserakahan’. Itu sebabnya, menurut SSK keserakahan harus dihindari oleh seorang pemimpin.

Parigeuing ‘kepemimpinan’ ala Sunda dalam SSK, menyiratkan ‘konsep’ yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang pemimpin. Sifat dan sikap baik  yang harus dilakukan seorang pemimpin, sebagaimana terungkap dalam  pangimbuhning twah, yakni émét  ‘tidak konsumtif’,  imeut  ‘teliti, cermat’, rajeun  ‘rajin’, leukeun  ‘tekun’,  paka pradana ‘beretika’. Morogol-rogol  ‘bersemangat, beretos kerja tinggi’, purusa ning sa   ‘berjiwa pahlawan, jujur, berani’, widagda  ‘bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa’, gapitan  ‘berani berkorban’, karawaléya  dermawan’,  cangcingan  ‘terampil, cekatan’, dan  langsitan  rapekan’.

Sikap dan sifat  dasa prasanta yang harus melekat dalam jiwa seorang pemimpin menurut SSK, yaitu sepuluh cara memberi perintah yang baik,  yakni:  guna ‘ bijaksana’, ramah  ‘ramah atau bestari’, hook  ‘sayangatau kagum’, pésok  ‘memikat hati atau reueus/bangga’, asih  ‘sayang, cinta kasih’, karunya ‘iba/belas kasih’, mupreruk ‘membujuk dan menentramkan hati’, ngulas  ‘memuji di samping   mengoreksi’, nyecep ‘membesarkan dan menyejukkan hati’,  ngala angen ‘mengambil hati’, mampu menarik hati dan simpati, sehingga tersambung ikatan silaturahim yang kental dan harmonis berdasar asas silih asih, silih asah, dan silih asuh.

SSK juga menyiratkan bahwa seorang pemimpin yang ideal harus mampu menjauhi empat karakter negatif, seperti babarian ‘mudah tersinggung.  Pemimpin yang demikian  arogan, ingin menang sendiri dan mudah dipengaruhi orang lain, dan tidak panceg haté. Pundungan ‘mudah merajuk’, tidak bisa bekerja sama, Humandeuar  ‘berkeluh kesah’,  akan kehilangan etos kerja,  dan Kukulutus ‘menggerutu’, tidak bertanggungjawab, dan ‘munafik’,  selalu berfikir negatif, tidak bertanggungjawab.  yang dalam SSK sikap tersebut harus dijauhi.

Seorang pemimpin menurut SSK harus menjauhi empat watak manusia yang salah, yang disebut Catur Buta, yaitu burangkak, mariris, maréndé, dan wirang. Burangkak dikenal sebagai mahlukyang sangat mengerikan, sering membentak, berkelakuan kasar, berhati panas, tidak tahu tatakrama dan sering melanggar aturan. Mariris, orang yang menjijikan; manusia yang suka mengambil hak orang lain, korup, menipu, berdusta, dan kriminal. Maréndé adalah sebangsa raksasa bermuka api, sadis dan berhati dingin. Tampak menyejukkan, namun setelah ‘bertakhta’ malah  menimbulkan bencana. Sementara itu, Wirang, orang yang curang dan licik, tidak mau jujur, tidak mau berterus terang, serta selalu menyalahkan orang lain.

Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian mengungkapkan bahwa pemimpin itu adalah abdi negara sekaligus abdi masyarakat. Jangan berharap menjadi pemimpin yang baik sebelum merasakan menjadi abdi yang baik. Sikap pemimpin sebagai abdi  terungkap dalam  SSK VI, yakni:  mulah luhya ‘jangan mudah mengeluh’, segala masalah dihadapi dengan tenang, didiskusikan bersama, tanpa berkeluh kesah, agar didapatkan jalan keluar yang baik,  mulah kuciwa ‘jangan mudah kecewa’, ulangi, berusaha, dan terus mencoba hingga mencapai tujuan yang diharapkan, mulah ngontong dipiwarang ‘jangan sulit diperintah, segala perintah atau tugas harus dikerjakan sebaik mungkin, mulah hiri ‘jangan iri’, dan mulah dengki ‘jangan dengki’, tidak berpikiran negatif terhadap orang lain, serta fokus terhadap tujuan yang dianggap baik demi kepentingan bersama.  

Inti dari berbagai hal buruk yang harus dihindari oleh seorang pemimpin, diungkap SSK, bahwa pemimpin harus mampu menjaga dasakreta sebagai perwujudan dasaindra, yakni harus menjaga mata, telinga, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, badan, dan aurat sejalan dengan dengan QS Al-Araaf 179, agar terhindar dari berbagai keburukan. Konsep pemimpin dan kepemimpinan Sunda menurut SSK, harus mampu berperan sebagai leader (adanya kesepahaman dalam satu pikiran, perkataan, dan perbuatan dengan benar),  manajer (kemampuan dalam hal  manajerial),  entertainer (kaitannya dengan human relations/bernegosiasi), entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan), commander  (menjadi pendorong atau motivator),  designer (sebagai perancang ideal), father (bertindak kebapakan), teacher (guru, pendidik, dan pengajar serta menjadi ‘tauladan’ bagi masyarakat/bawahannya), dan servicer (pelayan yang baik & bertanggung jawab). Kesembilan kriteria tersebut akhirnya menuju kepada pemimpin ideal yang mampu bertindak sebagai  “master’, tokoh yang  dicintai, dikagumi, dan disegani masyarakatnya,  serta mampu memberdayakan dan menyejahterakan orang banyak. (***