Oleh: Rangga Saptya Mohamad Permana, S.I.Kom., M.I.Kom.
MAKASSAR merupakan barometer film di Indonesia Timur. Mengapa demikian? Hal ini dapat dijustifikasi melalui produktivitas para sineasnya dalam memproduksi film, terutama film-film komersil. Film-film produksi Makassar menguasai layar-layar bioskop di Indonesia Timur. Bukan hanya di Makassar saja, tatapi di wilayah Indonesia Timur lain, sebut saja di kabupaten/kota di seluruh Sulawesi Selatan, Kalimantan, Halmahera, hingga Papua.
Kebangkitan dunia film Makassar dimulai dengan meledaknya film Bombe’ karya Syahrir Arsyad Dini (lebih dikenal dengan nama Rere) di Makassar dan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Bombe’ awalnya dibuat sebagai hadiah bagi anak-anak tim produksi di PH Paramedia Pictures. Film ini adalah film Makassar pertama di era digital sehingga mendapatkan animo yang cukup tinggi, terutama bagi orang Makassar. Film ini dipromosikan via media sosial dan media massa lokal (surat kabar, TV lokal dan radio), serta roadshow ke 23 kabupaten di Sulawesi Selatan. Tujuan film ini adalah untuk mengubah persepsi masyarakat tentang orang Makassar yang dikenal “hobi” tawuran. Setelah film ini laku di pasar dan berhasil menjaring banyak penonton, nyatanya angka tawuran di Makassar menurun drastis. Bombe’ juga masuk ke dalam salah satu nominee Maya Award dalam kategori Best Regional Film.
Setelah Bombe’ rilis di bioskop-bioskop kenamaan di Indonesia, film-film Makassar menggeliat dan cukup berhasil di pasaran. Klimaksnya adalah ketika film Uang Panai’ Maha(R)L yang berhasil menjaring sekitar setengah juta penonton. Film ini adalah film yang menjadi “klimaks” bagi dunia perfilman di Makassar. Film ini juga membangkitkan lagi hasrat dan semangat para sineas Makassar untuk memproduksi film. Salah satu strategi menarik yang dilakukan dalam produksi film ini adalah mengajak para pimpinan media lokal Makassar untuk bermain di film tersebut, sehingga para pimpinan media ini menjadi agen promosi untuk film tersebut. Strategi promosi lainnya adalah bekerjasama dengan para vlogger.
Film-film dengan nuansa lokal Makassar bisa diterima dengan baik oleh masyarakatnya. Hal ini terjadi karena faktor sosial-budaya masyarakat Bugis/Makassar. Orang-orang Makassar memiliki jiwa primordialisme yang tinggi, dengan kata lain, sangat bangga dengan “ke-Makassaran-nya”. Hal ini muncul karena didasari oleh slogan “Makassar Bisa Tonji” atau “Makassar Juga Bisa”. Orang Makassar memiliki karakter “senang bercerita”, karena masyarakat Makassar tidak lepas dari tradisi lisan; selain itu, masyarakat Makassar punya rasa kesukuan yang kuat. Hal-hal inilah yang menunjang mentalitas para sineas dan penikmat film di Makassar. Selain faktor sosial-budaya dan kebanggaan akan daerah, para sineas Makassar ini juga bisa berhasil mendistribusikan dan mempromosikan film-film mereka berkat strategi-strategi komunikasi pemasaran yang tepat. Promosi biasanya dilakukan via media massa konvensional dan new media/media digital.
Untuk promosi di media konvensional, Ichwan Persada (produser film Silariang The Movie) menggunakan program talkshow di TV dan lewat media cetak/online via artikel segmen hiburan. Untuk promosi di TV, ditekankan pada pemilihan program yang sesuai dengan konten film/segmen film. Promosi juga dilakukan via media sosial, terutama Facebook (karena sifatnya yang lebih heterogen). Promosi dilakukan juga via roadshow ke kota-kota besar, merilis novel dan merchandise yang berhubungan dengan film yang sedang dipromosikan. Hal ini dilakukan untuk mengunggah kesadaran khalayak tentang film tersebut. Dalam tim produksi film juga ada publicist (orang yang mempublikasikan film jika dilangsungkan press release) dan media social strategist (orang-orang yang ahli dalam strategi promosi di media sosial) dengan tujuan efektivitas promosi.
Sementara itu, Amril Nuryan (produser film Uang Panai’ Maha(L)R) lebih menyoroti pada konsep distribusi film di era digital. Menurutnya, distribusi film akan bergeser; dari bioskop konvensional ke bioskop-bioskop yang lebih privat/personal, atau melalui platform-platform lain yang tersedia di TV kabel/berbayar berbasis digital (seperti iflix, HOOQ, atau Catchplay). Dengan kata lain, film-film sekarang masuk pada era web series. Amril juga menyoroti fenomena baru dalam industri film di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar mempekerjakan para sineas/PH untuk membuat semacam film seri yang ditayangkan di platform YouTube. Film tersebut dibuat dengan tema yang berhubungan dengan produk yang mereka hasilkan. Hal ini dilakukan dengan tujuan “soft selling”. Jadi, para sineas/PH ini dikontrak untuk membuat sebuah film pendek/film seri, sehingga uang yang mereka dapatkan bersifat “beli-putus” dan tidak perlu memikirkan lagi film mereka laku atau tidak. Dengan kata lain, para sineas ini mendapatkan uang full dari sponsor, dalam hal ini, perusahaan yang mempekerjakan mereka. Contohnya adalah film seri berjudul Jalan Sore yang diprakarsai oleh salah satu perusahaan gula rendah lemak di Indonesia.
Rata-rata sineas Makassar memiliki tujuan untuk langsung terjun ke dunia film komersil, karena melihat kesuksesan film-film Makassar di dunia industri film Indonesia. Karena film-film komersil Makassar menutupi geliat film indie di Makassar, para sineas Makassar banyak yang langsung terjun ke jalur film industri. Salah satu keunggulan sineas Makassar adala SDM film di Makassar memiliki keterampilan yang lengkap. Menurut Arman (produser film Suhu Beku), mereka bisa mengambil gambar, mengedit, membuat script, menata suara dan artistik, hingga menjadi pekerja manajemen film. Karena keterampilan tersebut, para sineas Makassar memiliki bekal dan kepercayaan diri yang tinggi ketika mereka memutuskan untuk langung terjun ke jalur industri; tidak mengawalinya dari jalur indie terlebih dahulu. Meditatif Films, PH yang menaungi Arman, sedikit banyak membantu para sineas muda Makassar yang baru akan memulai menapaki dunia perfilman.
Meditatif Films memiliki program tahunan yang disebut proyek “Makassar in Cinema”, yaitu sebuah workshop/pelatihan produksi film. Melalui pelatihan ini, masyarakat Makassar bisa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi sineas andal. Selain workshop dan pelatihan, dalam Makassar in Cinema juga diadakan screening film hasil karya para sineas indie Makassar yang mengikuti pelatihan.
Selain Makassar in Cinema yang digagas oleh meditatif Films, di Makassar rutin diadakan “Pekan Film Makassar” (PFM), sebuah festival film tahunan yang pertama kali digagas oleh Riri Riza. PFM adalah sebuah program untuk mempertemukan para aktivis film Makassar, baik itu pencipta film maupun pencinta film. Festival film tahunan ini juga menjadi ajang saling berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang perkembangan film, baik itu dalam lingkup daerah, nasional, maupun internasional. Masyarakat Makassar disuguhkan karya-karya film pilihan dalam dua tahun terakhir. Festival ini juga merupakan penanda bagi Kota Makassar sebagai “Kota Dunia” seperti layaknya kota-kota lain di dunia yang memiliki Pesta Film tersohor, sebut saja Berlin, Seoul, Toronto, atau Cannes.
Pada intinya, para sineas film indie di Indonesia, khususnya di Makassar, menjadikan media massa konvensional dan new media/media digital sebagai media distribusi dan promosi utama bagi karya-karya mereka. Pemanfaatan program talkshow di TV dan lewat media cetak/online via artikel segmen hiburan dipilih sebagai media promosi. Promosi juga dilakukan via media sosial, terutama Facebook dan YouTube (karena sifatnya yang lebih heterogen). Promosi dilakukan juga via roadshow ke kota-kota besar, serta merilis novel dan merchandise yang berhubungan dengan film yang sedang dipromosikan.
Penggunaan ruang putar yang lebih personal atau platform-platform digital juga dipilih sebagai media distribusi film, misalnya yang tersedia di TV kabel/berbayar berbasis digital (seperti iflix, HOOQ, atau Catchplay). Tidak lupa, festival film yang bersifat lokal (Pekan Film Makassar/PFM) juga digunakan oleh para sineas Makassar untuk mendistribusikan dan mempromosikan film-film mereka, selain juga sebagai salah satu ajang temu kangen dan bertukar pendapat antar sineas Makassar.(***
BIODATA PENULIS:
Rangga Saptya Mohamad Permana adalah dosen tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Program S-3 Film, Media, Communications and Journalism Monash University, Australia. Penulis biasa berkorespondensi melalui alamat email ranggasaptyamp@gmail.com.
Komentar