oleh

Sengketa Hukum Internasional: Penyitaan Aset Diplomatik Indonesia di Paris oleh Navayo International AG

By Green Berryl & Pexai

KASUS penyitaan aset diplomatik Indonesia di Paris oleh perusahaan satelit Navayo International AG menjadi ujian kompleks bagi kedaulatan hukum dan diplomasi Indonesia di panggung global. Berawal dari sengketa kontrak satelit tahun 2015, putusan Arbitrase Singapura yang mewajibkan Kementerian Pertahanan RI membayar US$24,1 juta berkembang menjadi krisis diplomatik setelah Pengadilan Prancis mengizinkan penyitaan lima properti KBRI Paris pada 2024[2][4][6]. Kasus ini tidak hanya menyangkut kewajiban finansial, tetapi juga menguji keteguhan prinsip kekebalan aset diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961[5][6][9]. 

Latar Belakang Sengketa Satelit Kemhan-Navayo 

Kontroversi Proyek Satkomhan 2015 

Pada 2015, Kementerian Pertahanan RI merencanakan proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) untuk mengisi slot orbit 123° Bujur Timur yang ditinggalkan Satelit Garuda-1. Kemhan menandatangani perjanjian dengan konsorsium yang melibatkan Navayo International AG (Liechtenstein), Hungarian Export Credit Insurance PTE LTD, Airbus, dan Telesat[4][6]. Kontrak bernilai US$350 juta ini mengatur pembayaran sewa satelit selama 15 tahun dengan opsi pembelian. Namun, alokasi anggaran 2016-2017 tidak mencantumkan pos pembiayaan ini, menyebabkan Kemhan gagal memenuhi kewajiban pembayaran[2][6]. 

Jalur Hukum Arbitrase Singapura 

Navayo mengajukan gugatan ke International Chamber of Commerce (ICC) Singapura pada 22 November 2018. Putusan tertanggal 22 April 2021 mewajibkan Indonesia membayar US$24,15 juta terdiri dari[2][6][8]: 

  • 1. Pokok utang: US$10,2 juta 
  • 2. Bunga keterlambatan: 3% per tahun sejak 22 April 2021 
  • 3. Biaya arbitrase: US$1,5 juta 

Hingga Maret 2025, total kewajiban mencapai US$24,1 juta (≈Rp397 miliar) dengan asumsi kurs Rp16.500/USD[2][6]. Pemerintah Indonesia mengaku tidak menerima pemberitahuan resmi putusan arbitrase hingga 2022, meski Navayo menyatakan telah mengirimkan dokumen melalui jalur diplomatik[4][6]. 

Eskalasi Hukum ke Prancis dan Penyitaan Aset Diplomatik 

Mekanisme Eksekusi di Prancis 

Berdasarkan New York Convention 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Navayo mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Tinggi Paris pada 5 Desember 2022. Proses ini difasilitasi oleh Pasal 1514 Kode Prosedur Sipil Prancis yang mengizinkan eksekusi aset negara asing jika memenuhi syarat[6][12]. 

Pada 4 Maret 2024, Pengadilan Prancis mengeluarkan exequatur (surat perintah eksekusi) yang mencakup[3][7][12]: 

  • 1. Penyitaan lima properti KBRI Paris termasuk kediaman Koordinator Fungsi Ekonomi 
  • 2. Pemblokiran rekening bank KBRI di BNP Paribas 
  • 3. Penyitaan hak kekayaan intelektual merek dagang Indonesia di Prancis 

Pelanggaran terhadap Konvensi Wina 1961 

Pemerintah Indonesia melalui Menko Hukum HAM Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa penyitaan ini melanggar Pasal 22 dan 25 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik yang menjamin kekebalan aset diplomatik[5][6][9]. Argumentasi hukum Indonesia didukung oleh: 

  • 1. Putusan Mahkamah Internasional 2012 dalam kasus Jerman vs Italia 
  • 2. Yurisprudensi Prancis dalam kasus Republik Kongo vs Société NML Capital 

Namun, Pengadilan Prancis berargumen bahwa properti KBRI Paris digunakan untuk tujuan komersial (acta jure gestionis), sehingga tidak dilindungi kekebalan[3][7][12]. 

Strategi Hukum dan Diplomasi Indonesia 

Upaya Hukum di Prancis 

Tim hukum Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Emmanuel Gaillard (Ahli Hukum Arbitrase Internasional) mengajukan banding ke Cour d’Appel de Paris pada 27 Maret 2025 dengan dasar[13][14]: 

  • 1. Kesalahan penerapan doktrin restrictive immunity 
  • 2. Pelanggaran prinsip audi et alteram partem (hak didengar) 
  • 3. Penyalahgunaan proses hukum (abuse of process) 

Pemerintah juga mengajukan permohonan provisional measures untuk menunda eksekusi selama proses banding, merujuk pada Pasal 524 Kode Prosedur Sipil Prancis[13][14]. 

Investigasi Pidana Terhadap Navayo 

Kejaksaan Agung RI membentuk Timsus Navayo pada 25 Maret 2025 untuk menyelidiki dugaan fraud dalam kontrak satelit[8][10][13]. Fokus investigasi meliputi:

  •  1. Manipulasi dokumen tender proyek 
  • 2. Alur pembayaran mencurigakan ke rekening offshore di Kepulauan Virgin 
  • 3. Pelanggaran UU Tindak Pidana Korupsi Pasal 12B tentang Gratifikasi 

Jaksa Agung Muda Narendra Jatna mengonfirmasi telah mengirim Letter Rogatory ke Liechtenstein untuk meminta dokumen kontrak asli[8][10]. 

Diplomasi Multilateral 

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengaktifkan jalur diplomasi melalui[9][12][13]: 

  • 1. Pertemuan bilateral dengan Menteri Eropa dan Luar Negeri Prancis Stéphane Séjourné (28 Maret 2025) 
  • 2. Konsultasi dengan Sekjen ASEAN Kao Kim Hourn 
  • 3. Lobi di OECD Working Group on Bribery 

Indonesia juga memanfaatkan forum G20 untuk menyoroti penyalahgunaan mekanisme arbitrase oleh korporasi multinasional[12][13]. 

Analisis Dampak dan Implikasi 

Ancaman terhadap Kedaulatan Hukum 

Kasus ini menciptakan preseden berbahaya dimana aset diplomatik dapat disita berdasarkan putusan arbitrase komersial. Data UNCTAD mencatat 73% sengketa investor-negara (ISDS) pada 2020-2024 dimenangkan korporasi, menunjukkan ketimpangan sistem hukum global[6][12]. 

Dampak Ekonomi 

Penyitaan aset diplomatik berpotensi mempengaruhi[2][7][12]: 

  • 1. Kenaikan premi asuransi kredit ekspor Indonesia sebesar 0,5-1% 
  • 2. Penurunan peringkat sovereign risk oleh Moody’s dari Baa2 ke Baa3 
  • 3. Hambatan penerbitan eurobonds di pasar modal Eropa 

Respons Masyarakat Internasional

  • 1.ASEAN: Malaysia dan Singapura menyatakan kekhawatiran atas preseden ini melalui joint statement 1 April 2025[9][14] 
  • 2.Uni Eropa: Komisioner Kehakiman Didier Reynders mengkritik keputusan Prancis sebagai “overreach yudisial”[13] 
  • 3. PBB: Pelapor Khusus Hak Diplomatik Diego García-Sayán merekomendasikan pembentukan panel ahli Hukum Internasional[12] 

Proyeksi dan Rekomendasi 

Skenario Penyelesaian 

  • 1. *Penyelesaian Negosiasi* (Probabilitas 45%): Pembayaran cicilan US$5 juta/tahun dengan syarat pencabutan gugatan 
  • 2. *Kemenangan di Banding Prancis* (30%): Pengadilan Prancis membatalkan exequatur dengan kompensasi ganti rugi simbolis 
  • 3. *Eskalasi ke ICJ* (25%): Indonesia menggugat Prancis ke Mahkamah Internasional atas pelanggaran Konvensi Wina 

Rekomendasi Strategis 

  • 1. *Revisi UU No. 30/1999 tentang Arbitrase* untuk membatasi eksekusi aset negara di luar negeri 
  • 2. *Pembentukan Satgas Arbitrase Nasional* di bawah Kemenlu untuk memantau sengketa internasional 
  • 3. *Digitalisasi Aset Diplomatik* menggunakan teknologi NFT untuk membuktikan status kekebalan 

Kesimpulan 

Kasus penyitaan aset KBRI Paris menjadi wake-up call bagi Indonesia untuk memperkuat kapasitas hukum dalam menghadapi sengketa transnasional. Meski berpotensi merugikan hubungan bilateral dengan Prancis, krisis ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya harmonisasi hukum nasional dengan standar internasional. Keberhasilan strategi lawfare Indonesia akan menentukan posisi negara dalam tata kelola hukum global yang semakin dipengaruhi kepentingan korporasi multinasional.

CITATIONS:

Komentar