Oleh: Andre Vincent Wenas, (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategs (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta)
LAZIMNYA dalam bisnis kalau perusahan sudah untung baru bersedekah. Entah itu lewat program Corporate Social Rerponsibiliy (CSR) atau dengan pola-pola kemitraan dengan berbagai UMKM.
Atau sang pemilik perusahan, CEO atau direksi lainnya bisa saja punya program filantropis atau melalui Yayasan yang dibentuknya.
Tapi kalau minta sedekah untuk membangun bisnis, atau apalagi minta sedekah hanya demi “menyelamatkan” bisnisnya yang terancam bangkrut, itu rada aneh, alias tidak lazim.
Baru-baru ini viral video Yusuf Mansur pemilik Paytren mencak-mencak. Nampaknya ia lagi kerepotan, katanya untuk mengumpulkan dana sebesar Rp 1 triliun.
Paytren adalah platform aplikasi transaksi keuangan. Tahun 2018 paytren punya 3 juta pengguna, nilai transaksinya sekitar Rp 7 miliar s/d Rp 8 miliar/hari. Yusuf Mansur pernah berharap di akhir tahun itu juga bisa mencapai 10 Juta pengguna dengan dana kelolaan umatnya mencapai Rp 20 Triliun. Wow… visi bisnis yang besar!
Anda bisa ikut bertransaksi di platform aplikasi Paytren ini dengan uang setoran awal Rp 300 ribu. Kabarnya, puncak tertinggi asset under management (AUM) milik Paytren ini dicapai pada tahun 2019, yaitu sebesar Rp 33,9 miliar. Namun per Februari 2022 dilaporkan aset Paytren cuma tersisa Rp 1,6 Miliar.
Makanya Paytren dikabarkan bangkrut, dan Yusuf Mansur pun dituding penipu sampai-sampai dilaporkan oleh beberapa pihak.
Bisnis ya bisnis, bersedekah ya bersedekah, amal ya amal. Urusan agama dalam bisnis adalah urusan pribadi setiap individu dalam membangun kualitas moral (etika)nya masing-masing dalam menjalankan roda bisnis.
Tapi kalau soal agama dijadikan semacam “komoditas” dagang ya bisa kisruh nantinya. Umat cuma dijadikan pasar, target-market, diperlakukan sebagai segmen yang captive. Ditambah mereka mesti bersikap sebagai loyal-customer yang siap “bersedekah” manakala manajemen perusahaannya berantakan. Ya, memang repot.
Urusan profit, serta pembagian keuntungan usaha dikacaukan dengan janji-janji surga yang bakal dibagikannya nanti kelak di akhirat (entah di swargaloka atawa nerakaloka).
Kapan sih kita bisa sadar dan menjadi masyarakat yang semakin matang dalam tatanan sosial-ekonomi-politik manakala masih mau terus menerus “dikelabui” oleh para opinion-leaders (terutama di sektor agama) yang modelnya beginian?
Kapan kita berani berpikir mandiri? Sapere aude! Beranilah berpikir mandiri lagi bijaksana!
Sapere aude, adalah semboyan masyarakat abad pencerahan (renaissance, aufklarung) di Eropa sana tatkala mulai berani “berontak” terhadap hegemoni penguasa, termasuk hegemoni ideologis kaum klerus. Kisah perjalanan sejarah yang panjang dan mahal harganya.
Untuk kita di Indonesia, tidak cukupkah rentetan babak-belurnya kasus bisnis yang berlatar-belakang maupun berlatar-depan jualan jargon agama itu menjadi pelajaran?
Siapa masih mau “bersedekah” untuk menyelamatkan bisnisnya Yusuf Mansur?
09/04/2022
Komentar