oleh

Strategi De-Dolarisasi dan Ketahanan Ekonomi China-Rusia dalam Menghadapi Sanksi Barat: Analisis Komparatif dengan Iran dan Korea Utara 

PERKEMBANGAN geopolitik global pasca-Perang Dingin menunjukkan transformasi radikal dalam tata kelola ekonomi internasional. China dan Rusia telah membangun ekosistem keuangan alternatif yang mengurangi ketergantungan pada sistem Barat, khususnya dalam menghadapi tekanan tarif dan sanksi ekonomi dari Amerika Serikat (AS). Mekanisme ini tidak hanya melibatkan penguatan mata uang domestik tetapi juga menciptakan jaringan perdagangan bilateral yang independen, seperti penggunaan yuan dalam transaksi energi Rusia-China[1][7]. Fenomena ini mengubah paradigma ketahanan ekonomi negara-negara yang kerap menjadi target sanksi Barat, termasuk Iran dan Korea Utara, yang tetap bertahan melalui strategi isolasi terukur dan aliansi geopolitik. 

Kebijakan Tarif AS dan Respons Strategis China-Rusia 

Kebijakan tarif impor AS, seperti yang diusung era Donald Trump, dirancang untuk memaksa negara mitra memberikan konsesi politik-ekonomi[5]. Namun, China dan Rusia merespons dengan membangun sistem pembayaran alternatif yang memangkas peran dolar AS. Data Moscow Exchange menunjukkan yuan menggantikan dolar sebagai mata uang dominan dalam perdagangan Rusia sejak Februari 2023, dengan porsi 40% transaksi valas[1][7]. Pergeseran ini dipercepat oleh sanksi Barat pasca-invasi Ukraina 2022, yang memblokir akses Rusia ke sistem SWIFT dan cadangan devisa Barat[8]. 

Kerja sama energi China-Rusia menjadi tulang punggung strategi de-dolarisasi. Pada 2024, 90% transaksi minyak Rusia ke China menggunakan yuan, sementara Gazprom menerima rubel untuk gas alam cair (LNG) yang diekspor ke Beijing[7]. Mekanisme ini menghindari risiko pembekuan aset oleh AS sekaligus memperkuat likuiditas yuan dan rubel di pasar global. Bank Sentral Rusia bahkan mengalokasikan 30% cadangan devisanya dalam yuan pada 2025, menyaingi porsi euro (25%) dan menggeser dolar AS (kurang dari 10%)[1]. 

Ketahanan Ekonomi melalui Jaringan Perdagangan Alternatif 

Kasus Rusia: Adaptasi di Bawah Sanksi Energi 

Sanksi Barat terhadap sektor energi Rusia pada 2022–2025 memicu defisit anggaran sebesar 2,3% PDB pada 2023[2]. Namun, Moskow berhasil mengalihkan 70% ekspor minyaknya ke China, India, dan Turki, dengan diskon 30% dari harga Brent[2][8]. Meskipun pendapatan energi turun 15%, diversifikasi pasar dan penggunaan yuan mengurangi dampak krisis. Produksi minyak Rusia hanya turun 5% pada 2024 berkat investasi teknologi pengeboran horizontal dari perusahaan China seperti Sinopec[10]. 

Kasus China: Dominasi Teknologi dan Rantai Pasok 

China memanfaatkan sanksi AS untuk memperdalaman kemandirian teknologi. Ekspor semikonduktor ke Rusia melonjak 142% pada 2023–2024, mencapai US$500 juta, meskipun termasuk dalam daftar sanksi Barat[10]. Perusahaan seperti SMIC dan Huawei menyuplai chip 14nm untuk industri militer Rusia, sementara drone CASC menjadi tulang punggung serangan udara di Ukraina[10]. Aliansi ini memperkuat posisi tawar China dalam negosiasi tarif AS, karena Washington kesulitan mengisolasi ekonomi Beijing tanpa merusak rantai pasok global. 

Studi Komparatif: Iran dan Korea Utara 

Iran: Surviving through Energy Diplomacy 

Sanksi AS-EU sejak 1979 memangkas 45% ekspor minyak Iran, tetapi Teheran merespons dengan skema barter minyak-gas dengan China dan Venezuela[3][9]. Pada 2024, 60% perdagangan luar negeri Iran menggunakan yuan dan rial, sementara kerja sama militer dengan Rusia meningkatkan kapasitas drone Shahed-136 yang digunakan di Ukraina[9]. Meski inflasi mencapai 50%, cadangan emas Iran tumbuh 20% melalui perdagangan lintas Laut Kaspia[9]. 

Korea Utara: Isolasi dan Militerisasi 

Sanksi PBB sejak 2006 gagal menghentikan program nuklir Pyongyang. Aliansi dengan Rusia memberikan akses ke teknologi peluncuran rudal hipersonik, seperti yang diujicobakan pada Maret 2025[4]. Perdagangan batubara Korea Utara-Rusia menggunakan rubel meningkat 300% pada 2024, mendanai 40% anggaran militer Korut[4]. 

Implikasi terhadap Hegemoni AS dan Tata Ekonomi Global 

Fragmentasi sistem keuangan global akibat de-dolarisasi China-Rusia mengancam dominasi AS. Yuan kini mencakup 6% cadangan devisa global (naik dari 2% pada 2020), sementara penggunaan rubel di CIS mencapai 25%[7][10]. Proyek Belt and Road Initiative (BRI) dan Eurasian Economic Union (EAEU) menciptakan koridor perdagangan yang mengitari kontrol Barat, dengan 135 negara bergabung dalam BRI pada 2025[10]. 

Namun, tantangan tetap ada. Volatilitas rubel (fluktuasi 20% terhadap yuan pada 2024) dan ketergantungan China pada ekspor ke AS (15% PDB) menunjukkan kerentanan[7][8]. Skenario terburuknya, perang tarif AS-China dapat memicu resesi global 1,5% pada 2026 menurut IMF[5]. 

Kesimpulan: Pelajaran bagi Negara Berkembang 

Strategi China-Rusia membuktikan bahwa de-dolarisasi dan aliansi bilateral dapat mengurangi kerentanan terhadap sanksi Barat. Namun, keberhasilan membutuhkan: 

1. *Diversifikasi Mitra Dagang*: 70% perdagangan Rusia-China pada 2024 melibatkan negara Global South[10]. 

2. *Inovasi Teknologi*: Investasi 7% PDB China dalam R&D semikonduktor menghasilkan kemandirian chip 7nm pada 2025[10]. 

3. *Diplomasi Energi*: Iran mengamankan 40% kebutuhan impor melalui barter minyak-gas[9]. 

Bagi Indonesia, kolaborasi dengan BRICS+ dan pemanfaatan mekanisme pembayaran lokal (Local Currency Settlement) dapat menjadi alternatif mengurangi ketergantungan pada dolar AS, sekaligus memperkuat posisi tawar di kancah global.

CITATIONS:

Komentar