oleh

Strategi Perlindungan Ekonomi Domestik Indonesia Menghadapi Kebijakan Tarif Trump

By Green Berryl

CHATIB BASRI  anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), telah menyoroti pentingnya perlindungan ekonomi domestik untuk mempertahankan ketahanan Indonesia di tengah gejolak ekonomi global akibat kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Berdasarkan analisis komprehensif terhadap situasi terkini, Basri mengusulkan beberapa langkah strategis untuk memperkuat ekonomi dalam negeri, termasuk peningkatan belanja fiskal, perlindungan sosial, dan konsolidasi regional untuk menghadapi tantangan ekonomi global.

Latar Belakang Kebijakan Tarif Trump

Kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Trump pada April 2025 telah menciptakan guncangan dalam perekonomian global. Trump memberlakukan tarif minimum 10 persen untuk semua barang impor dari seluruh dunia, dengan Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen[8]. Negara-negara ASEAN lainnya juga terkena dampak dengan tingkat tarif yang bervariasi: Malaysia dan Brunei Darussalam dikenakan tarif 24 persen, Filipina 17 persen, Singapura 3 persen, Kamboja 49 persen, Laos 39 persen, Vietnam 33 persen, dan Thailand 44 persen[8].

Chatib Basri menjelaskan bahwa kebijakan tarif Trump ini sebenarnya merupakan alat tawar (bargaining) untuk memaksa negara-negara melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat[7]. Strategi ini terlihat cukup efektif karena “semua negara ASEAN mengirimkan delegasi atau berbicara dan bernegosiasi dengan Amerika,” meskipun China telah melakukan retaliasi dan Uni Eropa masih belum mengambil keputusan definitif[7].

*Dampak Global dan Potensi Resesi

Menurut Chatib Basri, kebijakan tarif Trump tidak hanya mempengaruhi hubungan perdagangan bilateral, tetapi berpotensi menyebabkan gangguan besar pada rantai pasok global, mendorong ketegangan dagang, dan bahkan berpotensi menyebabkan resesi global[5]. Situasi ini mengancam tidak hanya perekonomian Indonesia tetapi juga nasib jutaan tenaga kerja di tanah air[5].

Dampak pada Ekonomi Indonesia

*Sektor-Sektor Terdampak

Kebijakan tarif baru Trump akan berdampak pada beberapa sektor andalan ekspor Indonesia, termasuk:

  • 1. Tekstil dan produk tekstil (TPT)
  • 2. Alas kaki
  • 3. Udang dan produk perikanan
  • 4. Mesin dan perlengkapan elektronik
  • 5. Lemak dan minyak hewan nabati[4]

Meski demikian, Chatib menilai dampak pada Indonesia relatif terbatas dibandingkan negara-negara lain yang lebih terintegrasi dengan ekonomi global[4]. “Kita harus ingat bahwa rasio dari ekspor Indonesia terhadap GDP itu hanya sekitar 25%. Jadi Indonesia itu share dari ekspor terhadap GDP-nya masih lebih kecil dibandingkan dengan Singapura yang 180% atau misalnya Vietnam,” kata Chatib[4].

*Potensi Perlambatan Ekonomi dan PHK

Meskipun dampaknya relatif terbatas, Chatib memperingatkan bahwa sektor-sektor yang terpengaruh akan menghadapi risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi yang bisa berimplikasi pada pemutusan hubungan kerja (PHK)[4]. “Kalau ekspor Indonesia terkena, maka akan ada risiko untuk dua hal. Satu adalah perlambatan dari pertumbuhan ekonomi. Kalau perlambatan ekonomi terjadi, maka risiko yang bisa muncul adalah PHK. Itu adalah hal-hal yang perlu diantisipasi,” ujar Chatib[4].

Strategi Perlindungan Ekonomi Domestik

Untuk menghadapi tantangan ini, Chatib Basri mengusulkan beberapa strategi perlindungan ekonomi domestik:

* Mendorong Belanja Fiskal untuk Meningkatkan Permintaan

Chatib menekankan pentingnya dorongan belanja fiskal untuk meningkatkan permintaan dalam negeri. “Kalau waktu kecil diajarkan hemat pangkal kaya, dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang belanja, maka permintaan akan terjadi,” kata Chatib dalam kegiatan The Yudhoyono Institute (TYI) bertajuk “Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global” di Jakarta[1].

Dorongan permintaan ini akan memancing dunia usaha untuk merespons dengan meningkatkan produksi dan menyerap lebih banyak tenaga kerja[1]. Namun, mengingat ruang fiskal negara yang terbatas, Chatib menyarankan penyusunan skala prioritas dalam pemberian insentif[1][2][3].

*Prioritaskan Sektor dengan Efek Berganda Tinggi

“Menurut saya, berikan prioritas pada sektor yang efek bergandanya tinggi, yang punya dampak kepada lapangan pekerjaan. Saya kasih contoh misalnya pariwisata, karena itu backward dengan forward linkage-nya sangat besar,” jelas Chatib[1][2][3][6]. Pendekatan ini akan memaksimalkan dampak dari alokasi anggaran yang terbatas.

* Penguatan Perlindungan Sosial

Di sisi lain, Chatib menekankan pentingnya perlindungan sosial untuk memperkuat daya beli masyarakat[1][2][3]. Daya beli masyarakat sudah disinyalir melemah sejak sebelum gejolak dinamika Trump, salah satu faktornya terkait dengan porsi pekerja informal yang lebih dominan dari pekerja formal dengan upah yang umumnya rendah[1][2][3].

“Jadi, dalam konteks ini, perlindungan sosial menjadi sangat penting. Apakah itu bantuan langsung tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), atau percepatan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kemudian akan memperkuat daya beli masyarakat,” tutur Chatib[1][2][3].

* Deregulasi Ekonomi untuk Menekan Biaya Produksi

Untuk memastikan produk Indonesia tetap kompetitif di pasar global, Chatib menyarankan strategi menurunkan harga jual produk Indonesia di luar negeri dengan cara memangkas biaya produksi[4][6]. “Jadi caranya adalah bagaimana membuat perusahaan bisa menjual barang relatif lebih murah dengan margin keuntungan yang masih tetap,” terangnya[4].

Untuk mencapai hal ini, pemerintah perlu mempercepat deregulasi ekonomi[4][6]. “Jadi jika pemerintah ingin menyelesaikan hal ini membuat produk ekspor Indonesia itu tetap kompetitif maka deregulasi ekonomi harus dipercepat,” ujar Chatib[4]. “Kalau ekonomi biaya tingginya dipangkas maka perusahaan itu tetap bisa menjual dengan barang murah dan marginnya itu bisa terjaga,” lanjutnya[4].

Konsolidasi Regional ASEAN

Chatib juga mengingatkan pentingnya konsolidasi dengan mitra regional, terutama ASEAN[1][2][3]. Di tengah situasi krisis, ada kecenderungan negara-negara lebih mementingkan diri sendiri, yang berisiko memicu terjadinya instabilitas[1][2][3]. “Maka, konsolidasi di dalam ASEAN menjadi sangat penting,” ujar Chatib[1][2][3].

Ketahanan Ekonomi Indonesia

Meskipun menghadapi tantangan global, Chatib menyatakan bahwa ekonomi Indonesia memiliki ketahanan yang cukup baik, terutama di pasar obligasi[8]. Hal ini terjadi karena proporsi kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah hanya sekitar 14 persen, sehingga dampaknya tidak akan terlalu signifikan meskipun semua investor asing meninggalkan pasar obligasi Indonesia[8].

Chatib menambahkan bahwa situasi krisis saat ini berbeda dari krisis keuangan 2008, di mana tantangan yang dihadapi pada waktu itu jauh lebih besar dibanding dengan kondisi saat ini, namun “Indonesia masih mampu tumbuh sebesar 4,6 persen”[8].

Kontribusi ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya mencapai 22 persen, dengan porsi ekspor ke AS sekitar 10 persen[8]. “Jadi, jika dilihat dari PDB, kontribusinya 10 persen dari 22 persen atau 2,2 persen. Dengan demikian, meskipun dalam skenario terburuk, dampak tarif (resiprokal) hanya 2,2 persen dari GDP,” tambah Chatib[8].

Kesimpulan

Kebijakan tarif Trump menciptakan tantangan bagi ekonomi global termasuk Indonesia. Namun, dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat meminimalisir dampak negatif dari kebijakan tersebut. Chatib Basri menekankan pentingnya perlindungan ekonomi domestik melalui dorongan belanja fiskal, prioritas pada sektor dengan efek berganda tinggi, penguatan perlindungan sosial, deregulasi ekonomi, dan konsolidasi regional ASEAN.

Dengan ketahanan ekonomi yang relatif baik dan kontribusi ekspor ke AS yang terbatas terhadap PDB, Indonesia memiliki posisi yang cukup kuat untuk menghadapi gejolak ekonomi global ini. Namun, pemerintah tetap perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk melindungi sektor-sektor yang rentan dan memperkuat daya beli masyarakat guna mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global.

CITATIONS:

Komentar