oleh

Syekh Imran Hosein: Narasi Eskatologi Islam dan Geopolitik Kontemporer dalam “Al-Quran dan Takdir Rusia” 

By Green Berryl & Pexai

Pendahuluan: Memadukan Wahyu dan Realitas Geopolitik 

Syekh Imran Nazar Hosein, cendekiawan Muslim Trinidad-Tobago yang dikenal dengan analisis eskatologisnya, kembali mencuat dalam wacana global melalui karyanya “Al-Quran dan Takdir Rusia”. Buku ini, yang diluncurkan di Malaysia pada Maret 2025 dan rencananya diluncurkan di Moskow Juli 2025, merupakan kristalisasi pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov di Moskow pada Februari 2024. Dalam pertemuan tersebut, Syekh Imran memaparkan korelasi antara narasi Al-Quran tentang Konstantinopel (Istanbul) dengan peran geopolitik Rusia kontemporer, yang membuat Lavrov “terdiam dan terkejut”[13]. 

Pertemuan dengan Lavrov: Dari Dialog ke Penulisan Buku 

Latar Belakang Pertemuan 

Undangan Syekh Imran ke Moskow berawal dari Konferensi Multipolaritas Internasional 2024, di mana ia menyampaikan makalah tentang eskatologi Islam dan implikasinya terhadap tatanan dunia baru. Dalam sesi tertutup dengan Lavrov, Syekh mengaitkan Surat Ar-Rum (30:1-4) yang menyebut kekalahan dan kemenangan Bizantium (Rum) dengan kebangkitan Rusia modern sebagai pewaris spiritual Kekaisaran Romawi Timur[8][13]. Analisis ini merujuk pada peran Rusia dalam membendung ekspansi NATO, khususnya di Suriah dan Ukraina, yang dianggap selaras dengan misi “pembebasan Konstantinopel” dari cengkeraman sekularisme Barat[5][14]. 

Respons Lavrov dan Implikasi Diplomatik 

Lavrov, yang dikenal sebagai arsitek kebijakan “Dunia Multipolar” Rusia, konon meminta Syekh Imran untuk merangkum gagasannya secara tertulis. Permintaan ini berujung pada penulisan buku selama lima bulan, menggabungkan tafsir Quranik, sejarah Romawi Timur, dan dinamika kekuatan Rusia-AS pasca-Perang Dingin[13]. Menariknya, undangan Lavrov kepada Menteri Luar Negeri Iran Ali Bagheri Kani untuk berkunjung ke Rusia pada Juli 2024[10] dapat dilihat sebagai bagian dari upaya Moskow membangun aliansi antikekuatan non-Barat yang selaras dengan visi Syekh Imran. 

Analisis Buku “Al-Quran dan Takdir Rusia” 

Kerangka Eskatologis: Konstantinopel dan Kebangkitan Rusia 

Syekh Imran menafsirkan kemenangan Bizantium dalam Surat Ar-Rum sebagai metafora kebangkitan Rusia modern. Ia menyatakan bahwa penaklukan Istanbul oleh Turki Utsmani tahun 1453 M justru mengaburkan misi spiritual Bizantium sebagai “Rum” yang diisyaratkan Al-Quran. Menurutnya, Rusia—dengan mayoritas penduduk Ortodoks dan kebijakan luar negeri yang menentang hegemoni AS—adalah entitas yang lebih dekat dengan karakter “Rum” dalam tafsir eskatologis[8][13]. 

Gog dan Magog (Ya’juj wa Ma’juj) dalam Bingkai Modern 

Buku ini juga mengelaborasi tesis Syekh Imran tentang Gog dan Magog sebagai kekuatan kapitalis global yang merusak. Dalam tulisannya, ia mengidentifikasi Gog dengan aliansi Anglo-Amerika-Israel dan Magog dengan Rusia modern. Namun, ia menegaskan bahwa Rusia—meski sekuler—berperan sebagai “penghalang alami” terhadap ekspansi Gog, mirip fungsi tempat Zulkarnain dalam Surah Al-Kahfi[2][9]. Analisis ini selaras dengan kebijakan Rusia yang membatasi pengaruh NATO di Eurasia, seperti intervensi di Suriah (2015) dan Ukraina (2022)[5][14]. 

Kritik terhadap Liberalisasi dan Peran BUMN 

Syekh Imran menyerukan revitalisasi peran negara dalam ekonomi, mengutip Pasal 33 UUD 1945 Indonesia sebagai model. Ia mengkritik liberalisasi BUMN di negara Muslim, termasuk privatisasi massal pasca-Reformasi 1998 di Indonesia, yang dianggapnya memperkuat cengkeraman korporasi global (Gog dan Magog)[9][14]. 

Peluncuran Buku dan Resonansi Global 

Peluncuran di Malaysia dan Rencana Moskow

Peluncuran perdana di Malaysia Maret 2025 dihadiri oleh tokoh-tokoh seperti mantan PM Tun Dr. Mahathir Mohamad, yang menyebut buku ini sebagai “panduan strategis untuk dunia multipolar”[9]. Rencana peluncuran di Moskow Juli 2025 akan bertepatan dengan KTT BRICS ke-17, di mana Rusia diperkirakan mengusulkan aliansi keagamaan antinegara anggota[10]. 

Tanggapan Akademik dan Politik 

Kalangan akademisi Barat mengkritik metode isnad-cum-matn yang digunakan Syekh Imran, menyebutnya “tidak ilmiah” karena menggabungkan tafsir tekstual dengan analisis geopolitik kontemporer[2][15]. Namun, think tank Rusia seperti Russian International Affairs Council (RIAC) justru merekomendasikan buku ini sebagai bahan studi tentang peran agama dalam kebijakan luar negeri[13]. 

Kunjungan ke Jember, Indonesia: Agenda dan Ekspektasi

Konteks Kunjungan 

Syekh Imran dijadwalkan mengunjungi Pondok Al-Wafa, Jember, pada awal Juni 2025 untuk serangkaian kajian eskatologi. Ini merupakan kunjungan ketiganya ke Indonesia setelah Desember 2024[4][11]. Panitia membatasi peserta hingga 200 orang melalui pendaftaran online, dengan materi fokus pada: 

  • 1. Peran Indonesia dalam skenario akhir zaman 
  • 2. Strategi menghadapi inflasi global melalui dinar-dirham 
  • 3. Analisis terkini tentang konflik Suriah dan Palestina[4][7]. 

Implikasi bagi Politik Dalam Negeri

Kedatangan Syekh Imran bertepatan dengan debat panas RUU Keuangan Syariah di DPR. Kelompok Islam konservatif berharap kunjungan ini dapat mendorong legislasi yang lebih berpihak pada ekonomi syariah, sementara kalangan sekular mengkhawatirkan narasi eskatologisnya akan mempolarisasi masyarakat[11]. 

Proyeksi Geopolitik dan Rekomendasi Kebijakan 

Prediksi Perang Besar dan Peran Umat Islam 

Berdasarkan Hadis tentang pengepungan Konstantinopel, Syekh Imran memprediksi perang besar antara aliansi NATO-Israel dengan blok Rusia-Iran-Turki pada 2026-2030. Ia menyerukan negara-negara Muslim membentuk pasukan gabungan model “Koalisi Saifullah” untuk mendukung Rusia dalam konflik ini[5][14]. 

Revisi Kurikulum Pendidikan Islam

Syekh merekomendasikan integrasi studi eskatologi dalam kurikulum pesantren dan universitas Islam, dengan fokus pada: 

  • 1. Pemahaman Surah Ar-Rum dan Al-Kahfi 
  • 2. Analisis kritis laporan ekonomi IMF dan Bank Dunia 
  • 3. Pelatihan diplomatik berbasis nilai Quranik[9][13]. 

Kritik dan Kontroversi

Tuduhan Penyederhanaan Sejarah

Sejarawan seperti Prof. Azyumardi Azra mengkritik tafsir Syekh Imran tentang Kesultanan Utsmani sebagai “pengkhianat misi Quranik”[8]. Mereka berargumen bahwa klaim tersebut mengabaikan kontribusi Utsmani dalam melindungi Palestina selama 400 tahun. 

Isu Instrumentalisasi Agama 

Aktivis HAM menuding analisis Syekh Imran berpotensi melegitimasi otoritarianisme negara atas nama eskatologi. Mereka merujuk pada kasus RUU Tanda Kehidupan Digital di Indonesia yang dianggap meniru model pengawasan Rusia[13]. 

Penutup: Antara Visi dan Realitas 

Syekh Imran Hosein menghadirkan narasi segar yang menantang dominasi wacana geopolitik Barat. Meski kontroversial, gagasannya tentang “Multipolaritas Berbasis Wahyu” mulai mendapat perhatian kalangan elite politik Global South. Keberhasilan kunjungannya ke Jember dan peluncuran buku di Moskow akan menjadi ujian apakah visi ini dapat diterjemahkan menjadi kebijakan nyata, atau tetap berada di ranah diskusi akademis.

CITATIONS:

Komentar