Nana Suryana
(Dosen IAILM Suryalaya Tasikmalaya)
TULISAN di HU. Pikiran Rakyat (24/06) yang berjudul TPCK dan “E-Learning” menarik didiskusikan. Tulisan Asep Dudi S (wakil dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba) menyoroti pentingnya guru memahaminya TPCK ditengah pembelajaran daring (PJJ) karana pandemi covid-19.
TPCK adalah singkatan dari Technological Pedagogical Content Knowledge sebuah kerangka kerja proses atau kegiatan pembelajaran. “Ada tiga fondasi yang membangun kerangka pembelajaran yaitu TK (echnological knowledge), pengetahuan teknologi tentang bagaimana software, hardware, dan beragam aplikasi teknologi infromasi yang dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan; PK (pedagogical knowledge), pengetahuan didaktik metodik bagaimana melaksanakan pendidikan dan mengelola pembelajaran; dan CK (contens knowledge) yaitu beragam pengetahuan yang mengisi ruang kurikulum berbagai bidang disiplin keilmuan”, tulis Asep.
Selain judul yang menarik, pernyataan Asep “bahwa guru produk pendidikan masa lalu yang tentu akan berbeda pengetahuan tekologinya dibanding guru hasil pendidikan masa kini. Sehingga memungkinkan kombinasi antara PK, SC, dan TK setiap angkatan berbeda”. Sampai sini saya mencoba menangkap ide dan gagasan dari tulisan Asep tersebut. Ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi dari tulis itu yaitu pemahaman guru terhadap TPCK dan perbedaan produk guru.
TPCK sebagai pengetahuan belum banyak dipahami guru, apalagi bicara bagaimana implemetansinya. Kalaupun saat ini guru telah melaksanakan pembelajaran secara daring baru sebatas “Trial and Error”. Pelaksanan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) nampaknya belum didasarkan pada pengetahuan TPCK. Hal ini pula yang menimbulkan “kegalauan” para siswa dalam mengikuti PJJ. Guru baru sebatas memberikan tugas dan siswa mengerjakan. PJJ belum bisa dilaksanakan sebagai mana proses pembelajaran yang menarik, manantang, dan melahirkan pembelajaran yang bermakna (joy lerning full), baik bagi guru maupun siswa.
Terkait guru yang dihasilkan dari produk berbeda sudah bisa dipastikan memiliki kualitas serta kompetensi yang berbeda. Hal ini disebabkan kurikulum setiap angkatan berbeda pula, capaian pembelajaran, serta profil lulusan yang berbeda. Juga sangat bergantung pada visi misi masing-masing program studi. Pada sisi ini program studi di perguruan tingga harus mampu merancang kurikulum yang adaptif, visioner, serta mampu menjawab tantangan sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang. “Didikalah anakmu sesuai jamannya” demikian pepaptah para ahli pendidikan.
Covid-19 Tantangan Bagi Guru
Muculnya virus corona dan pandemi covid-19 dewasa ini menjadi tantangan baru bagi guru. Bukan hanya upaya memutus mata rantainya melainkan tantangan bagaimana guru mampu melaksankan pembelajaran. Nampaknya tantangan baru dalam proses pembelajaran pun akan berlangusung lama. Terlebih pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan telah mengeluarkan kebijakan bahwa tahun ajaran baru 2020/2021 masih akan merumahkan guru dan siswa serta belajar secara daring.
Pelaksanaan PJJ sejatinya harus menjadi pintu masuk bagi guru melahirkan ide-ide kreatif dan inovatif dalam merancang dan melaksankan pembelajaran bukan justru menjadi beban. Melalui pemahaman tentang TPCK pun guru diharapan mampu berinovasi. Dalam mengimplementasikan sebuah inovasi, ada dua tahapan yang harus dilalui yaitu tahapan permulaan (intiation stage) dan tahapan implemenatsi (implementation stage). Tahap permulaaan meliputi langkah pengetahuan dan kesadaran, langkah pembetukan sikap terhadap inovasi dan langkah pengambilan keputusan. Sedangkan tahapan implementasi meliputi langkah awal implementasi, langkah kelanjutan pembianaan penerapan inovasi dan faktor yang mempengaruhi proses inovasi tersebut. Dalam prakteknya tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Masih banyak guru yang belum mampu beradapatasi bahkan tidak menerima sebauah perubahan.
Secara teori ada katagorisasi guru dalam mensikapi sebuah inovasi. Pertama inovator, guru berani menerima, gesit, bergairah dalam mencoba ide-ide baru, Kedua pelopor, guru memiliki kemampuan bersosialisasi yang tinggi, tanggap, dan bertanggungjwab. Ketiga pengikut dini, guru lebih enjoy menjadi pendengar, suka bergaul, dan responsivf), Keempat pengikut kemudian, dia kadang ragu-ragu untuk menerima perubahan dan lebih banyak, menunggu kebanyakan orang) (Roger, 1993).
Maindset Guru Kata Kunci
Guru adalah orang yang langsung bersentuhan dengan pembelajaran. Guru pula yang mendesain perencanaan, pelaksanan dan penilaian hsail pembelajaran. Tanpa sosok guru mustahil proses pembelajaran berjalan efektif dan efesien. Sebagai manusia guru memiliki pola pikir dan cara pandang yang berbeda terhadap adanya inovasi dan perubahan dalam pendidikan. Untuk menyetuh pola pikir dan cara padang guru, maka sentuhan terhadap maidset menjadi sebuah keniscayaan. Perubahan mindset merupakan faktor pertama yang harus disentuh sebelum sebuah kebijakan diberlakukan. Carol Dweck (2012) menyatakan bahwa pola pikir merupakan sumber kekuatan kemampuan seseorang. Mengenai kekuatan dibedakan dalam dua pandangan. Pertama menyatakan bahwa pola pikir itu tetap “pixed mindset” atau karakteristiknya dibawa sejak lahir. Pandangan kedua pola pikir dipandang sebagai sesuatu yang tumbuh – “growth mindset”. Jadi yang dimaksud di sini adalah bahwa mindset itu bisa dibentuk sesuai dengan tujuan dan orientasi yang diharapkan.
Sudah saatnya guru merubah mainset terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Perubahan mainset pun akan terjadi ketika kesejahteraan para guru diperhatian oleh pemerintah. Mainset dan kesejahteraan bagi guru seperti dua sisi mata uang. Pendidikan dan guru akan berkualitas bergantung pada niat dan usaha seluruh elemen pendidikan.
Komentar