Oleh: Nana Suryana
(Dosen IAILM Suryalaya Tasikmalaya)
KUALITAS pendidikan di Indonesia masih mengkhawatirkan. Kompetensi bidang akademik peserta didik misalnya masih di bawah kemampuan negara-negara lain. Studi kemampuan budaya literasi pelajar Indonesia yang dilakukan oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), Program for International Student Assessment (PISA) dan The Thord Internasional Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukan masih rendahnya kemampuan membaca (Literacy Standard). Temuan Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 mayoritas peserta didik usia 15 tahun belum memiliki literasi dasar (membaca, matematika, sains). Kemampuan matematika 75% peserta didik di bawah kompetensi minimum dan kemampuan membaca 56% peserta didik di bawah kompetensi minimum.
Melalui persoalan kualitas ini munculnya program meningatkan kualitas pendidikan yang digagas pemerintah yaitu program peningkatan kualifkasi dan kompetensi guru. Peningkatan kualifikasi dilakukan melalui pemberian beapeserta didik kepada guru-guru yang belum memenuhi kualifiaksi (S1). Sedangkan program peningkatan kompetensi dilakukan dengan beberapa kegiatan yaitu sertifiaksi guru dalam jabatan, pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi, supervisi pendidikan, pemberdayaan MGMP, dan simposium guru (Dirjen Dikdasmen Depdiknas, 2005),
Secara individu guru pun bisa berikhtiar meningkatkan kualitas dengan cara rajin membaca dan menulis jurnal/karya ilmiah, berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah, melakukan penelitian tindakan kelas, magang, mengikuti berita aktual dari media terkait dengan pendidikan, berpartisipasi dan aktif dalam organisasi profesi, dan menggalang kerjasama dengan teman sejawat.
Pertanyaan kemudian apakah program tersebut mampu mendongkrak kualitas pendidikan? Jawabnya belum. Prestasi peserta didik kita dalam bidang membaca, matematik, dan sains dibanding peserta didik dari negara-negara lain yang tergabung dalam OECD selalu berada dalam kelompok bawah, atau rata-rata skornya berada di bawah rata-rata kali skor peserta didik. Dalam bidang minat membaca data tahun 2012 menurut laporan statistik, indeks minat membaca di Indonesia baru mencapai 0,001% . Artinya dalam setiap 1000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca.
Tentu ada banyak faktor penyebabnya. Faktor utama masih lemahnya kualitas guru. Dalam kontes pembelajaran misalanya masih ada guru yang belum memiliki kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berkualitas. Kita tidak menutup mata masih ditemukan guru hanya mengunakan pendekatan pembelajaran teacher center. Guru banyak menempatkan peserta didik sebagai obyek dan bukan sebagai subyek didik. Guru kurang memberikan kesempatan pada peserta didik dalam berbagai mata pelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik (menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis. Guru belum memanfaatkan quantum learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan ketuntasan belajar secara individual.
Sejatinya belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Belajar menunjukkan kepada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai penerima pelajaran (peserta didik), sedangkan mengajar menunjukkan kepada apa yang harus dilakukan oleh seorang guru yang menjadi pengajar. Belajar mengajar merupakan proses interaksi antara guru dan peserta didik pada saat proses pengajaran. Proses pembelajaran akan berhasil ketika ditunjang kemampuan guru yang maksimal dalam menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran.
Pendekatan Mastery Learning
Tujuan proses belajar mengajar secara ideal adalah agar bahan yang dipelajari dikuasai sepenuhnya oleh peserta didik. Guna mencapai tujuan tersebut perlu sebuah pendekatan. Pendekatan belajar tuntas (mastery learning) adalah pendekatan pencapaian setiap unit bahan pelajaran baik secara perseorangan maupun kelompok atau dengan kata lain penguasaan penuh (Suryobroto, 2002). Tujuan utama dari belajar tuntas adalah memungkinkan 75% sampai 90% peserta didik usntuk mencapai belajar yang sama tingginya dengan kelompok terpandai dalam pengajaran klasikal.
Tujuan lain mastery learning adalah meningkatkan efisiensi belajar, minat belajar, dan sikap peserta didik yang positif terhadap materi pelajaran yang sedang dipelajarinya. Oleh karena itu taraf penguasaan minimal memiliki kriteria yaitu pencapaian 75% dari materi setiap pokok bahasan dengan melalui penilaian formatif, mencapai 60% dari nilai ideal yang diperolehnya melalui perhitungan hasil tes sub-sumatif, dan kokurikuler atau peserta didik memperoleh nilai enam dalam raport untuk mata pelajaran tersebut. Usaha mencapai penguasaan penuh perlu diselidiki prasyarat bagi penguasaan itu. Salah satu prasyaratnya adalah merumuskan secara khusus bahan yang harus dikuasai dan tujuan itu harus dituangkan dalam suatu alat evaluasi yang bersifat sumatif agar dapat diketahui tingkat keberhasilan peserta didik.
Ciri sebuah belajar menggunakan pendekatan belajar tuntas yaitu, Pertama pengajaran didasarkan atas tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kedua evaluasi dilakukan secara kontinyu dan didasarkan atas kriteria dilakukan secara kontinyu (continuous evaluation) agar guru dapat menerima umpan balik yang cepat, sering dan sistematis,. Ketiga menggunakan program perbaikan dan program pengayaan. Program perbaikan dan program pengayaan adalah sebagai akibat dari penggunaan evaluasi yang kontinyu dan berdasarkan kriteria serta pandangan terhadap perbedaan kecepatan belajar mengajar peserta didik dan administrasi sekolah.
Menilik konsep pendekatan mastery learning ketika Ujian Nasional (UN) ditiadakan matery learning menjadi sebuah alternatif. Karena dalam praktek pendekatan mastery learning, guru, peserta didik, dan sekolah/madarsah secara kontinyu telah melakukan penilaian setelah menyelesaikan satu kompetensi dasar. Inilah penilaian outentik dan komprehensif. Waallahu alam.