oleh

Waspada Penyadapan  (WhatsApp)  Bisa Dipidanakan Hukum

Oleh : KRH Aryo Gus Ripno Waluyo, SE, SP.d, S.H, C.NSP, C.CL, C.MP, C.MTh (Budayawan. Penulis, Advokat, Spiritualis, Ketua DPD Jatim PERADI Perjuangan)

PENYADAPAN dilarang dilakukan oleh warga sipil. Apabila ada yang melakukan penyadapan dengan memasang alat atau perangkat lainnya terhadap alat komunikasi seseorang guna memperoleh informasi dengan cara yang tidak sah, maka hal itu telah melanggar hak privasi seseorang tersebut.

Penyadapan merupakan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“UU Telekomunikasi”) yang berbunyi: Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

“Pelanggaran tersebut dikenakan pidana penjara maksimal 15 tahun. Sedangkan pelanggaran penyadapan menurut UU ITE maksimal 10 tahun penjara, pasal 31 UU ITE melarang penyadapan. hukumnya menyadap WhatsApp dapat dijerat dengan Pasal 40 jo. Pasal 56 UU Telekomunikasi, Pasal 31 ayat (1) dan (2) jo.

Selain itu, sebagai pemenuhan atas Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang atas hak privasi warga negara yang dijamin dalam UUD 1945. Mahkamah juga menegaskan penyadapan bisa dijadikan alat bukti yang sah.

Menyadap menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Sedangkan arti merekam adalah memindahkan suara (gambar, tulisan) ke dalam pita kaset, piringan, dan sebagainya.

Merekam orang lain tanpa izin dianggap sebagai pelanggaran terhadap UU ITE di Indonesia. Ini dapat terjadi dalam berbagai konteks, seperti merekam video tanpa izin selama percakapan pribadi atau mengabadikan gambar seseorang di lingkungan pribadi mereka.

Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.

Pasal 83 ayat (3) mengatur penyadapan hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapatkan surat izin dari hakim pemeriksa pendahulu. Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyidik POLRI diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan tetapi bukan penyadapan secara langsung melainkan penyadapan secara tidak langsung.

Pasal 310 dan 311 KUHP tentang apa?

Pencemaran tertulis (Pasal 310 ayat (2)): Tindakan menulis dan/atau menyebarkan tulisan yang merugikan dan merusak reputasi seseorang atau suatu lembaga. Fitnah (Pasal 311): Tindakan menyebarkan kabar bohong atau tuduhan tidak benar terhadap seseorang dengan tujuan merugikan dan merusak citranya.

10 Perbuatan apa saja yg dilarang dan dapat di jerat UU ITE?

UU ITE: Fungsi, Perbuatan yang Dilarang, dan Contoh Kasusnya [Update 2023]

Pencemaran Nama Baik.

Menyebarkan Hoax atau Berita Bohong.

Ujaran Kebencian.

Pengancaman dan Pemerasan.

Teror Online.

Menyebarkan Video Asusila.

Meretas Akun Media Sosial Orang lain.

Judi Online.

Pencemaran nama baik secara umum akan diberi hukuman maksimal 9 bulan penjara. Sementara itu, pencemaran nama baik dengan penistaan yang terbukti fitnah maksimal 3 tahun penjara. Apabila menggunakan media elektronik dan tersebar secara digital, maksimal akan mendapat hukuman penjara 4 tahun.

Apakah perbuatan tidak menyenangkan bisa dipidana?

Seseorang dapat dikenai tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan seperti yang tercantum dalam Pasal 335 ayat (1) KUHAP sesuai dengan pertimbangan subjektif penyidik.

Berikut adalah beberapa contoh nyata kasus pencemaran nama baik yang terjadi:

Pernyataan Tuduhan Tidak Berdasar di Media Sosial. …

Artikel Palsu yang Merugikan.

Akun Palsu di Media Sosial.

Penyebaran Rumor Palsu di Tempat Kerja.

Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat dikemukakan bahwa pencemaran nama baik bisa dituntut dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP, apabila perbuatan tersebut harus dilakukan dengan cara sedemikian rupa, sehingga dalam perbuatannya terselip tuduhan, seolah-olah orang yang dicemarkan (dihina) itu telah melakukan perbuatan dll.(****

Komentar