DALAM tradisi Nusantara, tempat pemusaran raja sering kali menjadi saksi sejarah panjang yang menyimpan misteri, kekayaan budaya, dan kebesaran masa lalu. Salah satu tempat bersejarah itu adalah Winduraja, sebuah desa yang kini berada di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Berdasarkan naskah kuno Carita Parahyangan, Winduraja menjadi lokasi yang dipilih sebagai tempat pasarean atau peristirahatan terakhir bagi raja-raja besar Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, hingga Kerajaan Galunggung.
Makna Pasarean dalam Tradisi Sunda dan Jawa
Istilah pasarean berasal dari kata “sare,” yang dalam bahasa Sunda berarti “tidur,” meskipun dianggap sebagai bahasa kasar. Dalam tingkatan bahasa Sunda halus atau undak-usuk basa, kata ini digantikan dengan kulem. Menariknya, dalam bahasa Jawa, kata “sare” justru memiliki makna yang sangat halus atau krama inggil. Perbedaan ini menunjukkan pengaruh kebudayaan dan sejarah, khususnya dari masa kekuasaan Mataram Islam di wilayah Tatar Sunda.
Kata kulem sendiri memiliki akar dari istilah tilem, yang berarti “menghilang” atau “tak terlihat,” serupa dengan konsep ngahiyang dalam tradisi Sunda. Istilah tilem juga sering dikaitkan dengan fenomena bulan gelap, sebagai lawan dari purnama. Dalam konteks raja-raja Sunda, istilah ini kerap digunakan untuk menggambarkan moksa atau hilangnya fisik seseorang ke alam spiritual, seperti yang terjadi pada Prabu Siliwangi.
Winduraja dalam Naskah Carita Parahyangan
Naskah Carita Parahyangan mencatat tiga raja besar Sunda-Galuh yang dimakamkan di Winduraja:
1. Rakeyan Gendang Prabu Brajawisesa
Memerintah dari tahun 989 hingga 1012 Masehi, ia dikenal sebagai Sang Lumahing Winduraja. Rakeyan Gendang adalah putra dari Prabu Wulung Gadung Sang Lumahing Jayagiri.
2. Prabu Darmaraja Jaya Manahen Wisnumurti Salaka Sunda Buana
Memimpin dari tahun 1042 hingga 1065 M, ia dikenal dengan gelar Sang Mokteng Winduraja. Prabu Darmaraja adalah putra Sri Jayabhupati yang terkenal, dan ia menikah dengan Dewi Surastri, putri Ratu Galuh Dewi Sumbadra. Sepeninggalnya, nama Desa Darmaraja diabadikan untuk mengenang kebesarannya.
3. Prabu Darmakusumah
Dikenal sebagai Maha Prabu, ia memerintah pada tahun 1157–1175 M dan merupakan cucu Batari Hyang Janapati dari Kerajaan Galunggung. Pasareannya di Winduraja turut mengukuhkan desa ini sebagai pusat sejarah yang penting.
Jejak Sejarah di Winduraja
Desa Winduraja menyimpan beragam peninggalan kuno yang masih dapat ditemukan hingga kini. Makam-makam kuno seperti makam Sang Hyang Lingga Teuas dan Eyang Maharaja Sakti menjadi saksi bisu masa keemasan Kerajaan Sunda dan Galuh. Bahkan, di situs ini terdapat batu-batu berundak, yang menyerupai dolmen, salah satunya berada di makam Argadinata.
Selain itu, terdapat juga gugunungan, yang diyakini sebagai lokasi bekas istana kerajaan, serta bumi alit, yang disebut sebagai tempat penyimpanan persenjataan. Lingkungan geografis Winduraja yang dikelilingi Gunung Syawal dan aliran Sungai Cimuntur semakin memperkuat keyakinan masyarakat akan jejak kerajaan yang pernah berjaya di tempat ini.
Bahkan, keberadaan bendungan Gajah Dauan, yang dibangun dari batu bertumpuk, diyakini sebagai salah satu warisan teknologi dari masa lalu. Menurut Atus Gusmara, Ketua Komunitas Galuh Etnik Winduraja, masih banyak jejak sejarah yang berserakan di setiap sudut desa ini dan perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan lembaga arkeologi.
Hubungan Winduraja dengan Sejarah Jawa Barat
Buku Sejarah Jawa Barat Jilid 3 (1983-1984) mencatat bahwa keturunan raja-raja yang dimakamkan di Winduraja memiliki peran penting dalam sejarah Sunda dan Jawa. Salah satunya adalah Prabu Darmasiksa (1171–1297 M), cucu Prabu Darmakusuma, yang terkenal dengan Amanat Galunggung, sebuah naskah penting tentang moral dan kepemimpinan.
Situs-situs lain seperti Prasasti Geger Hanjuang atau Prasasti Galunggung yang ditemukan di lereng Gunung Galunggung juga menunjukkan keterkaitan antara Winduraja dan pusat-pusat kekuasaan lainnya di Jawa Barat. Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional dengan nomor registrasi D-26.
Menjaga Warisan Leluhur
Selain Winduraja, pasarean lain dari raja-raja Sunda-Galuh juga tersebar di berbagai lokasi seperti Taman, Kreta, Bubat, Hujungcariang, dan Rancamaya. Sayangnya, beberapa di antaranya telah hilang atau rusak, seperti situs Rancamaya di Bogor yang dipercaya sebagai tempat pasarean Prabu Siliwangi.
Keberadaan situs-situs bersejarah ini harus dijaga agar tidak hanya menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga sebagai bukti nyata kejayaan Kerajaan Sunda-Galuh yang dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
#SejarahSundaGaluh
#WindurajaHeritage
#PasareanRajaSunda
#WarisanBudayaNusantara
#JejakKerajaanPajajaran
Komentar